Pencurian Ikan Sengsarakan Nelayan, Pemerintah Diminta Lebih Tegas
Nelayan di Natuna, Kepulauan Riau, menginginkan pemerintah lebih tegas menindak kapal pencuri ikan.
Oleh
PANDU WIYOGA
·3 menit baca
NATUNA, KOMPAS – Nelayan di Natuna, Kepulauan Riau, menginginkan pemerintah lebih tegas menindak kapal pencuri ikan. Jika terus dibiarkan, pencurian ikan oleh kapal asing menggunakan pukat harimau bukan saja menyebabkan kerugian ekonomi, tetapi juga menghabisi masa depan nelayan lokal.
Adri (41), salah satu nelayan di Kecamatan Bunguran Timur, Kamis (9/1/2020), mengatakan, mereka seperti terusir di laut sendiri sejak kapal pencuri ikan kembali marak masuk ke Laut Natuna Utara. Sering mereka harus potong tali jangkar untuk melarikan diri karena takut terseret pukat harimau kapal asing.
“Ya begitu, sekarang kami yang lari kaya pencuri. Kalau zaman Bu Susi ndak ada cerita. Yang namanya pencuri, ya, ditangkap terus ditenggelamkan sekalian biar mereka kapok,” kata Adri.
Ya begitu, sekarang kami yang lari kaya pencuri. Kalau zaman Bu Susi ndak ada cerita. Yang namanya pencuri, ya, ditangkap terus ditenggelamkan sekalian biar mereka kapok
Hampir semua nelayan di Natuna menggunakan cara tangkap tradisional menggunakan pancing untuk menangkap ikan karang. Dengan kapal berukuran 5 grosston (gt) hingga 7 (gt) mereka melaut hingga ke zona ekonomi eksklusif (ZEE) demi mendapat ikan bernilai tinggi; anguli, kakap merah, kerapu, dan sunu.
Menurut nelayan lain, Rudi (30), penggunaan pukat harimau oleh kapal asing pencuri ikan membuat tangkapan nelayan tradisional menurun drastis. Selama seminggu melaut di ZEE biasanya nelayan lokal bisa mendapat 1,5 ton ikan. Ketika pencurian ikan kembali marak, tangkapan itu turun jadi setengahnya.
Pukat harimau mengeruk semua isi laut yang dilewati dua kapal penariknya, termasuk anakan ikan yang masih kecil dan terumbu karang juga ikut terangkat. “Kalau karang hilang kami tak bisa dapat ikan. Sekitar 60 mil dari Pulau Laut, karang sudah habis, tinggal lumpur saja,” ujar Rudi.
Ironisnya, pencurian itu dilakukan secara terang-terangan di hadapan nelayan lokal hampir setiap hari sepanjang Desember 2019. Bahkan, kata Rudi, saat malam, kapal pukat asing itu terlihat seperti sebuah pulau di Laut Natuna Utara. Jumlanya bergerombol mencapai puluhan dan diterangi lampu benderang.
“Nelayan asing itu sangat terlalu. Kalau kami enggak minggir, ya, kami ditabrak. Sudah lari pun, masih juga kami diolok-olok sama mereka,” kata nelayan yang lain, Taufik (40).
Maraknya pencurian ikan di ZEE Indonesia juga dirasakan para nelayan dengan kapal di bawah 3 gt. Mereka yang melaut tidak lebih dari 40 mil. Setelah melaut sekitar tiga hari biasanya nelayan dengan kapal kecil bisa menangkap sekitar 150 kg ikan, tetapi saat ini tangkapan mereka selalu di bawah 100 kg.
“Waktu Bu Susi sering menenggelamkan kapal, tangkapan kami naik jadi di atas 100 kg. Kalau kapal asing tak ada masuk, hidup jadi nelayan itu sebenarnya enak,” ucap Bujang (65).
Jangka Panjang
Tokoh nelayan di Natuna Rodhial Huda meminta agar pemerintah menyiapkan rencana jangka panjang mengatasi masalah pencurian ikan yang kembali terulang. Menurut dia, cara yang paling efektih adalah membentuk satuan penjaga pantai yang memiliki semua unsur dari instansi terkait dalam satu komando.
“Pemerintah harus mengutamakan penjaga pantai dalam menindak pencurian ikan. Selain itu, patroli penjaga pantai harus ditingkatkan agar keselamatan dan keamanan nelayan bisa terjamin,” kata Rodhial.
Menurut dia, upaya pemerintah untuk mendorong nelayan dari daerah lain ke Laut Natuna Utara juga perlu dilakukan secara hati-hati. Jangan sampai hal itu membuat nelayan di Natuna yang mengandalkan alat tangkap tradisonal tersingkir atau malah membuat kelestarian laut yang selama ini dijaga jadi rusak.
“Asalkan jumlahnya banyak, kapal kecil juga bisa menangkal nelayan asing. Yang kini perlu dilakukan adalah memberdayakan nelayan tradisional agar bisa melaut hingga ke ZEE dengan aman,” ujar Rodhial.