Jauh dari Tanah Papua, puluhan mahasiswa Papua yang menimba ilmu di Kota Palangkaraya, Kalimantan Tengah, menghadirkan ”kampung halaman”. Mereka menggelar barapen atau memasak dengan cara tradisional, yakni bakar batu.
Oleh
DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
·5 menit baca
Jauh dari Tanah Papua, puluhan mahasiswa Papua yang menimba ilmu di Kota Palangkaraya, Kalimantan Tengah, menghadirkan ”kampung halaman”. Mereka menggelar barapen atau memasak dengan cara tradisional, yakni bakar batu. Selain bentuk obat rindu kepada kampung halaman saat Natal, bakar batu juga menjadi media mempertebal toleransi antarsuku dan persaudaraan.
Matahari belum terbit sempurna pada Senin (23/12/2019), tetapi belasan pemuda asal Papua mulai sibuk di depan Asrama Papua Kota Palangkaraya. Sebagian mengumpulkan kayu, sebagian lagi membuat dua lubang besar berdiameter sekitar satu meter.
Beberapa mahasiswi juga sibuk di bawah pohon rindang mengupas bawang atau menumbuk cabai merah. Sisanya di belakang gedung asrama memotong daging babi yang mereka beli dari peternak di Tangkiling, Kota Palangkaraya, secara patungan.
Membakar batu menjadi siasat mereka mempertebal toleransi antarsuku. Mereka cinta damai, tak mau repot dengan berbagai isu politik atau keamanan.
Lubang pertama langsung diisi pecahan batu kali sebesar kepalan tangan. Lalu, mereka mulai membakar kayu di atasnya. Dua jam lebih batu dibakar menggunakan kayu. ”Ada kayu besar yang dibakar di atas batu. Kalau kayu itu sudah terbakar habis, berarti batu sudah cukup panas,” kata Fernando Tenau, mahasiswa magister Universitas Palangka Raya (UPR).
Seusai dibakar, batu-batu itu dipindahkan ke lubang satunya menggunakan kayu, seperti capit. Batu-batu itu disusun rapi hingga menutup semua dinding bawah lubang sebagai lapisan pertama.
Lapisan kedua di atas batu yang masih panas memerah, daun-daun pisang digelar begitu saja di atas batu bersamaan dengan jagung, ubi manis, singkong, dan sayuran yang sudah dicampur bumbu. Tanpa ditumis atau direbus, sayuran dimasukkan begitu saja.
Di atas sayuran, daging yang sudah dibersihkan dan dipotong digeletakkan di atas sayuran. Asap mulai mengebul tipis, bunyi daging terpanggang terdengar mendesis, tipis-tipis.
Setelah daging babi, sayur-sayuran kembali dimasukkan diikuti daun-daun pisang, sebelum batu-batu panas ditaruh paling atas yang kemudian ditutup daun-daunan pisang.
Sembari menunggu, musik diputar dan kopi disajikan. Mereka menari, berteriak, menyerukan beragam kata-kata, sesekali menyeruput kopi.
Barapen kali ini bukan hanya karena momen Natal, melainkan juga bentuk ucapan syukur atas wisuda salah satu mahasiswa Papua di UPR, Fransiskus Bogapi Xaverius Douw. Si empunya pesta saat itu hanya sibuk memikul pelantang suara mencari sudut yang pas agar suara musik terdengar baik.
Tak sulit menemukan senyum merekah. Tak hanya senyum, tawa juga terus mengiringi sepanjang proses bakar batu.
”Upacara” itu menghadirkan ingatan akan tradisi di kampung halaman mereka. Natal juga menjadi momen penting sebagian besar masyarakat Papua. Namun, sebagian mahasiswa itu tidak bisa pulang kampung. Ongkos perjalanan mahal atau masih banyaknya kuliah tambahan.
Toleransi suku
Tiba saatnya. Batu-batu membara itu akhirnya diangkat setelah 1,5 jam memanggang daging dan segala rupa sayuran.
Yosafat Sani, salah satu mahasiswa, mulai tak sabar. Dengan tangan ia bongkar batu-batu yang masih cukup panas. ”Angkat sudah, pas waktu ini,” ujarnya.
Batu pada lapisan paling atas diangkat. Beberapa mahasiswi menyiapkan meja makan dengan daun-daun pisang. Sebagian di atas meja, sebagian lagi digelar di atas tanah.
Satu per satu mahasiswa mengangkat sayuran yang matang terpanggang batu panas. Lalu, daging yang jadi sajian utama di angkat menggunakan kayu. Kayu diikatkan ke tali-tali dari kulit batang pisang yang diikat dan dipanggang bersama batu.
Empat orang mengangkat daging yang masih berasap itu langsung di atas meja. Dengan sigap beberapa mahasiswi mulai memotong daging menjadi beberapa bagian.
Lapisan terakhir pun di angkat. Jagung berubah kuning pekat, sebagian menghitam, lalu ubi manis yang memerah, hingga singkong-singkong yang melepuh ditaruh di atas daun pisang yang digelar di atas tanah.
Acara makan-makan pun dimulai, setelah ibadah syukur. Sekitar 20 menit, ibadah selesai. Mereka tak langsung menyantap hidangan karena ada yang ditunggu.
Sekitar 15 menit menunggu, satu per satu kawan-kawan kampus mereka datang. Mereka adalah mahasiswa perantauan dari Sumatera, sebagian lagi merupakan mahasiswa asli Dayak yang datang dari beberapa kabupaten di Kalteng.
Hidangan disantap. Tak lupa, seperti kaum milenial lain, mereka mengabadikan momen itu dengan berswafoto bersama, vlog, lalu menyebarkan pesan lewat media daring masing-masing.
Seperti Santo Krismes Haloho yang mengunggah foto dengan teks, ”Kami bersatu dalam alunan budaya” ada juga akun @kian_mirb yang mengunggah foto dengan caption ”Kita bersaudara”.
Bakar batu menjadi media banyak hal, di antaranya bahwa perbedaan bukanlah penghalang untuk hidup bersama. Justru keberagaman itu saling memperkaya.
Seruan-seruan itu tidak muncul begitu saja. Mahasiswa yang bukan Papua selama proses menyantap makanan saling bertukar pikiran, bertanya-tanya, bagaimana barapen dibuat dan banyak hal lainnya.
Sejatinya, barapen memiliki makna kebersamaan. Barapen biasanya menjadi media perdamaian saat perang suku atau konflik yang terjadi di desa-desa di Papua.
Namun, kali ini mereka berkumpul bukan karena konflik. Apalagi perang saudara. Membakar batu menjadi siasat mereka mempertebal toleransi antarsuku. Mereka cinta damai, tak mau repot dengan berbagai isu politik atau keamanan seperti yang terjadi di Surabaya dan Malang, Agustus lalu.
Very Taku, mahasiswa asal Kabupaten Barito Timur, mengungkapkan, dirinya baru pertama kali melihat langsung proses bakar batu atau barapen. Tak hanya menarik, lidahnya memiliki pengalaman baru mencicipi masakan yang diolah dengan cara tradisional tersebut. Cara yang berkembang turun-temurun di Papua.
”Kami sudah sering bikin acara bersama. Kalau komunitas mahasiswa asal Barito Timur bikin acara, pasti kami juga mengundang mereka,” ungkap Very.
Sebenarnya, kebersamaan antara mahasiswa Papua dan Dayak sudah dibangun sejak lama. Itu juga karena sejarah panjang antara Suku Dayak dan Papua.
Sekitar tahun 1912-1913, menurut buku Race to The Snow yang ditulis Chris Ballard pada 2001, Belanda menggunakan jasa Suku Dayak untuk menaklukkan puncak Gunung Jaya Wijaya atau Puncak Cartenz, dalam ekspedisi ke-3 Papua Selatan.
Ekspedisi tersebut merupakan upaya ketiga di mana dua ekspedisi sebelumnya selalu gagal. Pada ekspedisi ke-3, tentara Belanda akhirnya mampu mencapai ke puncak gunung bersalju itu atas bantuan sekitar 150 orang Dayak yang mereka bawa dari Kalimantan. Bahkan, salah satu jalan yang baru mereka buka menuju ke puncak disebut sebagai Dayak Pass.
Selama perjalanan itu, Suku Dayak dan Papua sama-sama menjadi penuntun jalan. Sejak saat itulah kedua suku itu sampai saat ini seperti memiliki ikatan khusus.
Melalui bakar batu, mereka tidak hanya menunjukkan rasa syukur dan kerinduan pada kampung halaman. Tak kalah penting dari itu adalah jalinan toleransi.
Bakar batu menjadi media banyak hal, di antaranya bahwa perbedaan bukanlah penghalang untuk hidup bersama. Justru keberagaman itu saling memperkaya. Itulah Indonesia.