Nilai tambah sektor tambang melalui hilirisasi layak diupayakan. Sebab, pendapatan pajak dan royalti sektor ini tak bisa diandalkan. Oleh karena itu, hilirisasi mesti dipercepat dan dijamin agar terwujud.
Oleh
ARIS PRASETYO/KARINA ISNA IRAWAN
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS--Pemerintah tak bisa mengandalkan penerimaan sektor tambang hanya dari pajak dan royalti. Peningkatan nilai tambah di dalam negeri mesti didorong agar benar-benar terwujud.
Lantaran bersifat jangka panjang, perlu jaminan dalam undang-undang bahwa hilirisasi harus tetap terlaksana.
Hal itu mengemuka dalam diskusi refleksi akhir tahun sektor energi dan sumber daya mineral, Kamis (26/12/2019), di Jakarta. Direktur Centre for Indonesian Resources Strategic Studies Budi Santoso, Direktur Jenderal Pertambangan Mineral dan Batubara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) 2005-2008 Simon F Sembiring, dan Presidium Ikatan Alumni Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan (IAPWD) IPB University Hery Margono menjadi narasumber.
Tahun ini, penerimaan negara bukan pajak sektor ESDM ditargetkan Rp 214,2 triliun.
Dalam diskusi mengemuka, hilirisasi bahan tambang, khususnya batubara, masih jauh panggang dari api. Hal itu bisa dilihat dari angka ekspor batubara yang tinggi ketimbang pemanfaatannya di dalam negeri. Dari 557 juta ton produksi batubara pada 2018, pemanfaatan batubara di dalam negeri hanya 115 juta ton. Tahun ini, produksi batubara ditargetkan 489 juta ton dan pemanfaatan di dalam negeri 128 juta ton.
"Indonesia tidak akan bisa kaya dari pendapatan pajak atau royalti bahan tambang. Harus ada hilirisasi di dalam negeri demi penciptaan nilai tambah. Contoh nyata, batubara lebih banyak diekspor untuk memperkuat industri negara lain ketimbang diserap di dalam negeri," ujar Budi.
Sebagai contoh, nilai bijih nikel yang diolah menjadi feronikel meningkat hingga 10 kali lipat. Nilai nikel meroket hingga 19 kali lipat jika feronikel diolah menjadi stainless steel. Hal serupa terjadi pada bijih bauksit, yang jika diolah dan dimurnikan menjadi alumina bernilai 8 kali lipat. Adapun jika diolah menjadi aluminium bernilai hingga 30 kali lipat daripada masih berupa bijih bauksit.
Salah satu cara mempercepat hilirisasi di dalam negeri adalah pemegang izin usaha pertambangan (IUP) tak diwajibkan membangun smelter. Menurut dia, bisnis smelter, sebagai ranah industri, jauh berbeda dengan bisnis tambang. Apalagi, membangun smelter perlu biaya besar dengan marjin kecil.
"Smelter sebaiknya diintegrasikan dengan industri hilir agar secara investasi lebih menarik. Namun, pemegang IUP diwajibkan memasok bahan baku ke smelter," kata Budi.
Sementara, menurut Simon, pemerintah harus menjamin proses hilirisasi dijalankan secara konsisten. Kebijakan yang dibuat pemerintah sebaiknya tidak merelaksasi ekspor mineral mentah yang kontra produktif terhadap hilirisasi. Ia khawatir, setiap pergantian rezim pemerintahan berdampak pada perubahan kebijakan hilirisasi.
"Harus ada jaminan lewat undang-undang bahwa hilirisasi terus dilaksanakan secara konsisten," tegasnya.
Adapun soal pengelolaan sumber daya mineral, menurut Hery, pemerintah tak boleh melupakan sumber daya manusia di sekitar wilayah tambang. Industri ekstraktif tanpa membangun mutu sumber daya manusia hanya akan menyisakan alam yang rusak. Akibatnya, ketika sumber daya tersebut habis, tak ada manfaat yang bisa didapat lagi selanjutnya.
Penerimaan pajak
Secara terpisah, Direktur Jenderal Anggaran Kementerian Keuangan Askolani di Jakarta, Kamis, menyebutkan, realisasi penerimaan perpajakan per November 2019 sebesar Rp 1.312,4 triliun atau 73,5 persen dari target.
Menurut Askolani, belanja akan diefisienkan untuk mengendalikan pelebaran defisit APBN di tengah penerimaan perpajakan yang melambat. Pemerintah menjaga defisit APBN agar tidak lebih dari 2,2 persen produk domestik bruto (PDB). Sebelumnya, defisit APBN 2019 dipatok 1,84 persen PDB. (APO/KRN)