Satu Dekade Perubahan, Segudang Perubahan Menanti di Depan
Kemajuan yang dicapai dalam satu dekade terakhir wajib dihargai. Namun, segudang pekerjaan rumah masih menanti untuk diselesaikan oleh para pengelola kota di Jabodetabek agar terwujud kota yang humanis.
Oleh
Neli Triana
·6 menit baca
Perubahan terus-menerus terjadi di kawasan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi, atau Jabodetabek. Dulu, di pengujung 2010, harian ini melaporkan Jabodetabek masih terjebak masalah itu-itu saja, yaitu kemacetan akibat minimnya layanan transportasi publik dan membeludaknya kendaraan bermotor pribadi, proyek antisipasi banjir lamban bergerak hingga soal integrasi penataan kawasan yang tak kunjung tercapai.
Satu dekade kemudian, terhitung hingga akhir 2019, sebagian isu itu terjawab. Di Jakarta, tiga tahun terakhir sekitar 16 persen dari 2.600 kilometer trotoar direvitalisasi. Ada sekitar 300 ruang publik terbuka ramah anak (RPTRA), Taman Maju Bersama, dan hutan-hutan kota menyegarkan DKI.
Di Kota Bogor, trotoar lebar setidaknya terwujud di seputar Kebun Raya Bogor. Kabupaten Bogor, khususnya di Cibinong sebagai ibu kota kabupaten, mulai membangun dengan konsep Situ Front City. Cibinong memiliki 17 situ dari total 95 situ di kabupaten ini. Salah satu situ kini menjadi bagian dari halaman luas kompleks Balai Kota Cibinong.
Kota Bekasi pun berbenah, salah satunya dengan diwujudkannya hutan kota yang berdekatan dengan Stadion Patriot. Di Kota Tangerang, kehadiran taman-taman kota, seperti penataan di sebagian bantaran Sungai Cisadane, memberi sentuhan humanis di kawasan yang dikenal sebagai kota industri itu. Festival rakyat berkaitan dengan Cisadane rutin digelar. Mau olahraga dan nongkrong saban hari pun bisa.
Tangerang Selatan menonjol dengan layanan administrasi kependudukan, seperti kartu identitas anak, kartu keluarga, dan akta kelahiran. Penghargaan nasional disabet kota ini atas layanan cepat, satu pintu, dan tanpa pungli.
Untuk mengurangi potensi banjir, pemerintah daerah Jabodetabek dan pusat bersama-sama mengeruk, melebarkan, dan menurap dinding sungai. Upaya ini dilakukan di sebagian sungai di Jakarta dan sekitarnya. Tak luput, situ, waduk, dan saluran air turut ”dibersihkan”. Semua itu agar tidak terulang lagi banjir besar di 2007 yang nyaris melumpuhkan Ibu Kota dan sekitarnya.
Di bidang transportasi, awal tahun ini, publik senang dengan beroperasinya kereta cepat massal atau MRT Jakarta rute Lebak Bulus-Bundaran Hotel Indonesia sepanjang sekitar 15 kilometer. Fase lanjutan Bundaran HI-Ancol tengah berproses untuk dibangun. Kereta ringan atau LRT Jakarta, walau baru 5 kilometer saja dari Kelapa Gading hingga Velodrome, pun telah beroperasi. LRT Jabodebek penghubung Bogor dan Bekasi ke Jakarta dan sebaliknya hampir rampung dan ditargetkan beroperasi pada 2021.
MRT dan LRT melengkapi 13 koridor bus Transjakarta di internal wilayah Ibu Kota dan puluhan rute penghubung antarkoridor dan ke kota sebelah.
Masih ada lagi Jaklingko, sistem integrasi angkutan umum di Jakarta yang mengintegrasikan Transjakarta, KRL, LRT, dan MRT dengan angkutan reguler sejenis mikrolet.
Tak lupa, revolusi layanan kereta komuter rel listrik (KRL) yang berubah 180 derajat dalam 10 tahun terakhir. Pada 2009 masih dijumpai penumpang berkerumun di atap kereta. Mulai 2011, perubahan drastis diawali dengan penyederhanaan jalur, tidak ada kelas penumpang, sistem tiket, hingga standardisasi layanan KRL. Atapers lenyap. Stasiun-stasiun dibenahi.
Warga Metropolitan kini menjadi terbiasa antre, memberi tempat prioritas bagi ibu hamil, orang tua, penyandang disabilitas, dan anak-anak. Beberapa jalan layang dan terowongan dibangun untuk menghindari pelintasan sebidang dengan rel kereta.
Pembangunan jalan tol terbilang jorjoran. Di luar jaringan tol dalam kota Jakarta, proyek tol lingkar luar ditargetkan menghubungkan semua kawasan di Jabodetabek.
Presiden Joko Widodo meresmikan ruas Tol Kunciran-Serpong sepanjang 11,2 kilometer di Tangerang Selatan, Jumat (6/12/2019). Kompas pada 7 Desember memaparkan, tol itu akan tersambung dengan ruas Cengkareng-Batuceper-Kunciran dan Serpong-Cinere yang menjadi bagian dari JORR II dengan total panjang 110 kilometer. Pekerjaan besar itu masih berjalan dan ditargetkan JORR ini mewadahi pergerakan angkutan barang.
Jabodetabek terasa makin menyatu dengan pelbagai infrastruktur fisik itu. Kendaraan bermotor pribadi roda empat dan roda dua terus bertumbuh jumlahnya, kemacetan masih terjadi di penjuru megapolitan ini. Akan tetapi, dibandingkan satu dekade silam, saat ini makin banyak alternatif moda angkutan umum dan jaringan jalan tersedia bagi warga.
Integrasi belum terwujud
Secara fisik, memang hampir tidak ada batas antara Jakarta dan kabupaten/kota di sekitarnya. Kota-kota itu sambung-menyambung menjadi semacam kota raksasa. Sekarang, perkembangan kawasan di Bodetabek sudah mencapai 50.338 hektar atau hampir setara luas Jakarta yang 66.150 hektar. Jumlah penduduk Jabodetabek sebanyak 25 juta-30 juta jiwa.
Di kawasan ini, potensi ekonomi tinggi. Terhitung sejak 5-10 tahun lalu, seperti dicatat koran ini, produk domestik bruto (PDB) Jabodetabek mencapai 25 persen dari PDB nasional.
Dari sisi lingkungan hidup, wilayah Jabodetabek juga Cianjur (Jabodetabekjur) juga merupakan kesatuan ekosistem besar. Hampir semua sungai di kawasan megapolitan ini bermuara di sekitar Puncak, Bogor.
Dengan semua kemajuannya kini, masalah mendasar seperti integrasi dalam penataan ruang bersama masih jauh dari terwujud. Puncak masih lebih berat sebagai pusat eksploitasi wisata warga Jabodetabek, tetapi urusan konservasi lahan hijau di sana tak juga jelas.
Pembangunan transportasi publik baru terpusat di Jakarta. Kota-kota sekitar nyaris tak bergerak. Jangan heran jika kemacetan menjadi momok hingga ke pelosok daerah. Transportasi daring merajai dan makin sulit ditertibkan. Pemerintah daerah dan pusat cenderung terkesan membiarkan segala kesemrawutan ini.
Di sisi lain, kebutuhan akan air bersih masih belum terpenuhi. Di Jakarta saja baru sekitar 60 persen warga teraliri air bersih perpipaan. Kota-kota tetangga, seperti Tangerang Selatan, baru mulai ada air perpipaan tahun ini.
Isu sampah turut masuk kategori dikesampingkan. Tangerang Selatan kerap pening dengan sampah warga yang tak terangkut. Sampah Jabodetabek diyakini masih banyak berakhir di saluran air, sungai hingga laut di Teluk Jakarta.
Hasil riset peneliti Pusat Penelitian Oseanografi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Muhammad Reza Cordova dan Intan Suci Nurhati, sepanjang 2015-2016 menunjukkan 8,32 ton sampah plastik per hari terbawa arus sungai masuk ke Teluk Jakarta. Sampah plastik itu berkisar 55-60 persen dari total sampah yang masuk ke teluk. Sampah dari Sungai Bekasi dan Sungai Dadap, Tangerang, menggelontorkan sampah ke laut lebih banyak dari tujuh sungai di Jakarta.
Toleransi dan transparansi
Isu toleransi sampai sekarang masih menjadi persoalan di Jabodetabek. Kementerian Agama merilis survei indeks Kerukunan Umat Beragama (KUB). Merujuk pada angka KUB nasional 73,83, terdapat sejumlah provinsi yang berada di bawah rata-rata nasional. DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Banten mendapat nilai di bawah rata-rata nasional. Ini menunjukkan masih ada persoalan terkait KUB yang belum tuntas.
Uniknya, berdasarkan Indeks Demokrasi Indonesia 2018 oleh Badan Pusat Statistik (BPS), DKI menempati posisi tertinggi dibandingkan dengan provinsi lain di Indonesia, dengan nilai 85,08. Aspek kebebasan sipil naik 7,36 poin dan aspek lembaga demokrasi naik 87,82 poin.
Di sisi lain, transparansi juga masih jadi ganjalan. Beberapa bulan terakhir, misalnya, proses penganggaran di DKI Jakarta membuat publik heboh karena adanya usulan mata anggaran ganjil. Akses publik pun dinilai sebagian pihak, seperti Fitra, dibatasi oleh pemerintah sehingga fungsi pengawasan oleh publik tidak terjadi sejak awal proses penganggaran.
Kemajuan yang dicapai dalam satu dekade terakhir wajib dihargai. Namun, segudang pekerjaan rumah masih menanti untuk diselesaikan oleh para pengelola kota di Jabodetabek agar terwujud kota yang humanis, nyaman, dan aman untuk berjuta manusia dengan beragam latar belakang yang menghuninya.