Meningkatnya kebutuhan bahan bakar nabati dari minyak sawit perlu disertai proses yang menjamin kelangsungan lingkungan. Penerapan prinsip keberlanjutan dinilai penting.
Oleh
ARIS PRASETYO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Penerapan prinsip pengelolaan ekosistem berkelanjutan pada produksi bahan bakar nabati dari minyak kelapa sawit menjadi sorotan. Apalagi, kebutuhan biodiesel terus meningkat seiring perluasan program pencampuran solar dengan biodiesel, dari 20 persen tahun ini menjadi 30 persen mulai tahun 2020.
Pemerintah dan produsen biodiesel diminta mematuhi prinsip tersebut. ”Biodiesel kian diandalkan pemerintah untuk memenuhi kebutuhan bahan bakar minyak pengganti solar. Produksi akan dinaikkan. Oleh karena itu, prinsip keberlanjutan tak boleh diabaikan, mulai dari hulu sampai ke hilir,” kata Koordinator Koalisi Clean Biofuel for All Agus Sutomo di Jakarta, Jumat (20/12/2019).
Tanpa prinsip itu, segenap permasalahan bakal tetap membelit industri ini. Prinsip keberlanjutan mencakup pelaksanaan rehabilitasi hutan yang rusak atau terbakar, menerapkan standar pemenuhan ramah lingkungan dan berkelanjutan bagi seluruh pelaku dalam rantai industri kelapa sawit, serta pelaksanaan program tanggung jawab sosial bagi perusahaan di area mereka beroperasi.
”Prinsip-prinsip tersebut harus dilaksanakan secara transparan dan memberi keuntungan bagi para pihak, seperti masyarakat, pemerintah, dan bagi industri itu sendiri,” kata Agus.
Menurut catatan koalisi, terdapat 34 persen perusahaan produsen biodiesel yang belum menerapkan pengelolaan secara berkelanjutan yang dikenal dengan istilah tanpa deforestasi, tanpa gambut, dan tanpa eksploitasi (NDPE). Agus berharap pemerintah tegas mendorong perusahaan agar tertib menerapkan pengelolaan berkelanjutan.
Kebutuhan
Menurut Kepala Subdirektorat Pelayanan dan Pengawasan Usaha Bioenergi Direktorat Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi pada Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Agus Saptono, kebutuhan biodiesel akan terus meningkat seiring dengan mandatori pencampuran biodiesel ke dalam solar.
Mulai 1 Januari 2020, kewajiban pencampuran biodiesel ke dalam solar dinaikkan menjadi 30 persen atau biosolar B-30. ”Pada tahun 2020, produksi biodiesel ditargetkan 9,5 juta kiloliter. Adapun realisasi produksi biodiesel sampai November tahun ini sebesar 7,4 juta kiloliter,” kata Agus Saptono.
Menurut catatan pemerintah, mandatori pencampuran biodiesel ke dalam solar sepanjang 2018 bisa menghemat devisa setara Rp 26,67 triliun. Adapun target penghematan devisa tahun ini diperkirakan Rp 51,73 triliun. Target penghematan devisa melalui program B-30 di tahun 2020 adalah Rp 74,93 triliun.
”Namun, tetap ada kendala, seperti ketersediaan kapal angkut yang terbatas, pelabuhan kapal untuk sandar kurang memadai, dan sebaran produsen yang tak merata atau terpusat di Indonesia bagian barat saja,” kata Agus Saptono.
Pemanfaatan biodiesel sebagai bahan bakar nabati diatur dalam Peraturan ESDM Nomor 12 Tahun 2015 tentang Penyediaan, Pemanfaatan, dan Tata Niaga Bahan Bakar Nabati (Biofuel) sebagai Bahan Bakar Lain. Dalam aturan itu, kebijakan pencampuran biodiesel dimulai sejak 2015 dengan kadar 15 persen (B-15). Mulai 2016, kadar pencampuran dinaikkan menjadi B-20 dan akan menjadi B-30 pada 1 Januari 2020.
Rendah sulfur
Sementara itu, PT Pertamina (Persero) mulai memproduksi solar dengan kadar sulfur 0,5 persen sesuai standar yang ditetapkan Organisasi Maritim Internasional (IMO). Solar itu diproduksi di kilang Plaju, Sumatera Selatan, yang berkapasitas 200.000 barel per bulan.
”Produk ini sudah sesuai standar IMO. Produksi akan ditingkatkan menjadi 300.000 barel per bulan pada waktu mendatang,” kata Vice President Corporate Communication Pertamina Fajriyah Usman, di Jakarta, kemarin.
Sebelumnya, IMO menyepakati upaya mengurangi emisi sektor pelayaran melalui pemakaian bahan bakar minyak rendah sulfur. Terhitung mulai 1 Januari 2020, kandungan sulfur maksimum dalam bahan bakar kapal yang diizinkan adalah 0,5 persen, jauh lebih rendah dari regulasi saat ini, yakni 3,5 persen.