Tanpa Rehabilitasi Pencandu, Lembaga Pemasyarakatan di Jakarta Bakal Terus Kelebihan Penghuni
Saat ini penghuni lembaga pemasyarakatan di DKI Jakarta mencapai 18.538 orang. Padahal, kapasitas lembaga pemasyarakatan di Jakarta hanya untuk dihuni 5.791 warga binaan. Mayoritas penghuni adalah tahanan kasus narkoba.
Oleh
Aguido Adri
·4 menit baca
KOMPAS/AGUS SUSANTO
Warga binaan melihat dari balik jeruji besi di Lembaga Pemasyarakatan Kelas I Cipinang, Jakarta Timur, Rabu (5/3/2018). Kapasitas Lapas Kelas I Cipinang sebanyak 1.500 orang, tetapi kini dihuni 3.432 orang yang terdiri dari 1.774 narapidana dan 1.658 tahanan. Jenis kejahatan terbanyak narkotika sebanyak 710 narapidana dan 626 tahanan.
JAKARTA, KOMPAS — Saat ini penghuni lembaga pemasyarakatan di DKI Jakarta melebihi kapasitas, mencapai 18.538 orang. Padahal, kapasitas lembaga pemasyarakatan di Jakarta hanya untuk dihuni 5.791 warga binaan. Penghuni lembaga pemasyarakatan di Jakarta didominasi oleh narapidana kasus narkotika.
Tanpa upaya rehabilitasi terhadap pencandu narkoba, lembaga pemasyarakatan (LP) ataupun rumah tahanan (rutan) di Jakarta bakal terus kelebihan penghuni. Kelebihan penghuni di setiap LP ataupun rutan di Jakarta memicu banyaknya penyimpangan dan permasalahan di dalam penjara.
Berdasarkan data dari Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan HAM, total penghuni lapas di DKI Jakarta mencapai 18.538 orang. Padahal, kapasitas hunian lapas hanya 5.791 orang.
”LP di DKI Jakarta kelebihan penghuni dan itu menimbulkan penyimpangan dan banyak permasalahan. Dari 18.535 narapidana, 13.496 orang merupakan narapidana kasus tindak pidana narkoba,” kata Kepala Kantor Wilayah Kemenkumham DKI Jakarta Bambang Sumardiono, Rabu (18/12/2019).
Seperti di LP Cipinang, kata Bambang, kelebihan jumlah penghuni dibandingkan dengan kapasitas yang dimiliki LP tersebut menimbulkan permasalahan kebersihan lingkungan dan sanitasi. Dampaknya munculnya berbagai penyakit yang diderita warga binaan. Selain itu, jumlah warga binaan yang melebihi kapasitas LP membuat tidak maksimalnya pelayanan dan minimnya pengawasan. Akibatnya, penyelewengan wewenang oleh oknum sipir di dalam LP terus terjadi.
Untuk mengatasi permasalahan tersebut, menurut Bambang, perlu ada pemahaman yang sama di antara penegak hukum, baik dari BNN maupun kepolisian, dalam menangani kasus narkoba.
KOMPAS/PRAYOGI DWI SULISTYO
Beberapa kamera CCTV di Rumah Tahanan Negara Salemba, Jakarta Pusat, tidak berfungsi saat disidak pada Rabu (13/6/2018).
Kepala Biro Humas dan Protokol BNN Sulistyo Pudjo Hartono mengatakan, sesuai dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, pencandu narkotika harus direhabilitasi. Namun, penerapan aturan tersebut butuh kesepakatan bersama dan melalui proses asesmen.
”Proses asesmen yang nantinya akan menentukan tersangka ini akan dipenjara atau direhabilitasi. Harus dilihat apakah orang itu pengguna atau pengedar atau bandar. Jika terbukti mengedarkan narkoba, harus ditahan,” ujar Pudjo.
Hal senada disampaikan mantan Deputi Pemberantasan BNN Benny Mamoto. Menurut Benny, salah satu cara agar lapas tidak melebihi kapasitas yaitu asesmen rehabilitasi. Hal ini juga untuk memutus praktik damai antara penegak hukum dan pengguna narkoba.
Praktik damai, kata Benny, sudah lama terjadi dan terus berulang karena orangtua tidak ingin anaknya mendapat sanksi hukum. Di sisi lain, oknum aparat nakal memanfaatkan ketakutan orangtua tersebut sehingga terjadi transaksi.
”Belum lagi praktik jual-beli pasal dan jumlah barang bukti. Ini salah satu faktor di antara banyak faktor yang membuat narkoba sulit diberantas,” ujar Benny.
KOMPAS/HERU SRI KUMORO
Sejumlah tersangka pengedar sabu yang berhasil ditangkap Ditresnarkoba Polda Metro Jaya ditunjukkan kepada media di Mapolda Metro Jaya, Jakarta, Selasa (20/6). Sebanyak 24 kilogram sabu berhasil diamankan pada operasi Mei-Juni 2017. Sebanyak 13 tersangka ditangkap, dua orang di antaranya sipir di LP Cipinang dan LP Kelas II Pemuda Tangerang dan seorang narapidana.
Menurut Benny, daripada pihak keluarga melakukan praktik damai yang ilegal, sebaiknya yang bersangkutan mengikuti program wajib lapor. Laporan ini disampaikan kepada institusi penerima wajib lapor (IPWL) di BNN, BNN provinsi, atau BNN kabupaten.
”Mereka diasesmen dan rekomendasinya harus direhabilitasi agar ada harapan pulih. Kalau tidak direhab, sulit diharapkan pulih,” tutur Benny. Ia melanjutkan, bagi keluarga yang melapor, pengguna tidak akan mendapat sanksi hukum, tetapi ia ikut program rehabilitasi hingga tidak bergantung lagi pada narkoba.
Kalau Presiden menyatakan Indonesia darurat narkoba, sasarannya adalah menolong para korban narkoba untuk diselamatkan melalui rehabilitasi dan mencegah bagi yang belum terkena narkoba.
Namun, berbeda kasusnya jika dari hasil asesmen menunjukan orang tersebut sebagai pengguna sekaligus pengedar. Selain memiliki hak untuk direhabilitasi, orang tersebut juga harus ditindak sesuai dengan hukum karena terbukti bersalah mengedarkan narkoba.
Menurut Benny, pemberantasan narkoba tidak bisa sekadar melalui penangkapan bandar. Selain karena masih bisa dikendalikan di dalam jeruji besi, itu justru membuat narkoba langka di pasaran dan harga akan naik. Sebaliknya, jika banyak yang direhabilitasi, angka permintaan narkoba turun sehingga harga juga ikut turun.
Kompas
Sebanyak 500 petugas lembaga pemasyarakatan seluruh DKI Jakarta menjalani pemeriksaan tes urine di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Jakarta, Kamis (15/8). Pemeriksaan ini sebagai kelanjutan ditemukannya pabrik sabu di Lapas Cipinang dan ditemukan tiga petugas lapas yang positif menggunakan narkotika.
Benny melanjutkan, penanganan permasalahan narkoba tidak bisa parsial, harus komprehensif, seimbang antara menekan angka pasokan melalui langkah pemberantasan. Selain itu, menekan angka permintaan melalui langkah pencegahan dan rehabilitasi serta melibatkan semua elemen masyarakat.
”Kondisi saat ini memprihatinkan karena masalah rehabilitasi tidak maksimal. Kalau Presiden Jokowi menyatakan perang terhadap narkoba, itu sasarannya para bandar. Sementara itu, kalau Presiden menyatakan Indonesia darurat narkoba, sasarannya adalah menolong para korban narkoba untuk diselamatkan melalui rehabilitasi dan mencegah bagi yang belum terkena narkoba,” ujar Benny.
Benny juga menyoroti, narapidana yang masih bebas mengedarkan narkoba tidak hanya karena kurang pengawasan, tetapi juga karena bisnis narkoba yang menggiurkan. Tak heran ada sipir yang terlibat penyelundupan atau peredaran barang haram tersebut.
”Semua karena faktor uang. Bisnis narkoba adalah bisnis yang menghasilkan uang besar. Dengan uang besar, para narapidana bisa beli fasilitas, seperti memakai telpon seluler, jalan-jalan keluar, hingga menyetir sipir. Pengendalian sindikat narkoba dari lapas dengan mudah dilakukan karena menggunakan HP atau sipir. Seharusnya napi tidak dibolehkan pegang HP,” tutur Benny.