154 Kelurahan di Surabaya Kelola Program Permakanan
Mulai Januari 2020, program permakanan yang dikelola Dinas Sosial Kota Surabaya dialihkan ke kelurahan. Pengalihan kewenangan ini agar lurah lebih bertanggung jawab terhadap kondisi warganya.
Oleh
IQBAL BASYARI
·3 menit baca
SURABAYA, KOMPAS — Mulai Januari 2020, program permakanan yang dikelola Dinas Sosial Kota Surabaya dialihkan ke kelurahan. Pengalihan kewenangan ini agar para lurah lebih bertanggung jawab terhadap kondisi warganya.
”Selama ini, kalau ada warga yang meminta bantuan permakanan selalu mengirim surat ke wali kota, sekarang cukup ke kelurahan sehingga lebih cepat ditangani,” kata Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini, Rabu (18/12/2019), di Surabaya.
Dengan pengalihan kewenangan itu, Risma berharap, lurah lebih bertanggung jawab terhadap kondisi warganya. Ketika dikelola kelurahan, program ini diharapkan mampu menjangkau lebih banyak warga yang membutuhkan. Penanganan juga akan lebih cepat karena birokrasi pengajuan penerima dipangkas.
Program permakanan atau pemberian makan gratis mulai dilakukan Dinas Sosial Kota Surabaya sejak 2012. Hingga akhir 2019, ada sekitar 35.000 penerima manfaat, terdiri dari penduduk lansia, difabel, serta anak yatim piatu.
Setiap pagi sebelum pukul 10.00, petugas mengirim makanan dengan kandungan yang disesuaikan kebutuhan gizi penerima. Nilai setiap makanan sebesar Rp 11.000, naik dibandingkan dengan tahun pertama sebesar Rp 4.000 per porsi.
Saat ini, anggaran permakanan yang mencapai sekitar Rp 150 miliar per tahun telah didistribusikan ke 154 kelurahan yang tersebar di 31 kecamatan. Data penerima manfaat akan menggunakan basis data dari dinas sosial, tetapi bisa berubah jika ada temuan baru di lapangan. ”Jika ada tambahan penerima sehingga anggarannya kurang, nanti bisa ditambah lagi,” ucap Risma.
Sementara itu, program pemberian makanan tambahan kepada ibu hamil, lanjut Risma, akan ditambah agar anak-anak tengkes (stunting) berkurang. Jika sebelumnya makanan tambahan hanya diberikan selama 1.000 hari pertama kehidupan atau hingga usia anak 2 tahun, mulai 2020 ditambah menjadi hingga usia 3 tahun.
”Saya minta, yang dapat program permakanan dari dinas sosial juga dapat makanan tambahan dari dinas kesehatan agar gizi ibu dan bayi terpenuhi,” ujarnya.
Saya minta, yang dapat program permakanan dari dinas sosial juga dapat makanan tambahan dari dinas kesehatan agar gizi ibu dan bayi terpenuhi.
Data Dinas Kesehatan Kota Surabaya mencatat, hingga akhir 2019 ada sekitar 15.000 anak tengkes di Surabaya. Jumlahnya terus menurun dibandingkan dengan tahun 2018 yang mencapai sekitar 16.000 anak.
Menurut Risma, anak tengkes perlu dikurangi. Selain dapat berdampak pada kondisi kesehatan, kondisi psikologis anak-anak tengkes bisa terganggu karena memiliki fisik yang berbeda dengan anak-anak lain.
Kepala Dinas Kesehatan Kota Surabaya Febria Rachmanita menuturkan, pencegahan tengkes di Surabaya masih terkendala keengganan ibu hamil dalam proses pendampingan. Mereka tidak terbiasa didampingi petugas sehingga mereka enggan menerima keberadaan pendamping.
Padahal, peran pendamping sangat besar karena memantau perkembangan bayi sejak di dalam kandungan. Mereka memonitor perkembangan bayi dan memberikan makanan tambahan apabila gizi yang dikonsumsi ibu hamil belum mencukupi.
”Sejak 2016, ada sekitar 60 persen ibu hamil di Surabaya yang mendapatkan pendampingan. Para kader pencegah stunting juga sudah dibentuk di tingkat kelurahan untuk menyisir tetangganya yang berpotensi melahirkan anak stunting,” ujar Febria.