Sektor Jasa Bisa Atasi Defisit Perdagangan Indonesia
Sektor jasa dianggap bisa mengatasi persoalan defisit neraca perdagangan Indonesia. Dalam jangka panjang, tidak kunjung membaiknya posisi neraca perdagangan Indonesia menjadi ancaman bagi stabilitas nilai tukar rupiah.
Oleh
DIMAS WARADITYA NUGRAHA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sektor jasa dinilai cukup menjanjikan untuk mendongkrak neraca perdagangan di tengah perlambatan pertumbuhan ekspor barang dan produk industri. Dalam jangka pendek, sinergi di sektor jasa dapat menopang daya saing ekspor.
Peneliti Pusat Penelitian Ekonomi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Maxensius Tri Sambodo, meyakini beban neraca perdagangan Indonesia dapat semakin ringan dengan lebih melibatkan sektor jasa dalam rantai pasok global.
”Sinergi di sektor jasa dapat mendukung daya saing ekspor Indonesia karena selama ini keterlibatan sektor manufaktur pada rantai pasok global masih minim,” ujarnya di Jakarta, Selasa (17/12/2019).
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, neraca perdagangan Indonesia pada November 2019 defisit 1,33 miliar dollar AS. Nilai defisit itu terbesar kedua sepanjang Januari-November 2019 setelah April 2019 mengalami defisit 2,29 miliar dollar AS.
Secara total, neraca perdagangan Indonesia pada Januari-November 2019 mengalami defisit 3,105 miliar dollar AS atau Rp 4,34 triliun.
Neraca perdagangan erat kaitannya dengan neraca transaksi berjalan yang merupakan gambaran arus uang yang keluar masuk melalui sektor riil. Transaksi berjalan menjadi fondasi yang sangat penting bagi stabilitas nilai tukar karena saat terjadi defisit, hal itu menunjukkan lebih banyak modal yang keluar dari Indonesia ketimbang yang masuk.
Max menilai, upaya pemerintah untuk menggenjot ekspor barang jadi ataupun setengah jadi merupakan misi yang berat untuk diwujudkan di tengah tren proteksi perdagangan global. Terlebih lagi, impor bahan baku dan barang modal menurun.
Menurunnya impor barang modal menandakan dunia usaha sedang menahan diri untuk melakukan ekspansi. Sepanjang Januari-November 2019, impor bahan baku anjlok 13,23 persen dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya. Adapun impor barang modal sepanjang Januari-November 2019 juga menurun 3,55 persen.
Di sektor jasa ini terdapat sektor unggulan Indonesia yang bisa menjadi sektor andalan untuk mendongkrak neraca perdagangan nasional dan menggantikan sektor industri yang terus mengalami penurunan.
Namun, di sisi lain, sektor jasa mencapai pertumbuhan tertinggi selama tujuh tahun terakhir jika dibandingkan dengan sektor pertanian dan manufaktur. Kontribusi sektor jasa terhadap produk domestik bruto (PDB) nasional pada 2018 mencapai 54 persen.
”Di sektor jasa ini terdapat sektor unggulan Indonesia yang bisa menjadi sektor andalan untuk mendongkrak neraca perdagangan nasional dan menggantikan sektor industri yang terus mengalami penurunan,” ujar Max.
Salah satu subsektor jasa yang prospektif adalah jasa pariwisata. Indonesia memiliki keunggulan kompetitif dan komparatif di sektor pariwisata dibandingkan dengan negara-negara lain, baik di regional Asia Tenggara maupun Asia.
”Karena itu, investasi tinggi untuk penelitian dan pengembangan dibutuhkan untuk meningkatkan kapasitas sektor jasa, terutama pariwisata,” lanjut Max.
Pertumbuhan ekonomi
Kepala Pusat Penelitian Ekonomi LIPI Agus Eko Nugroho memproyeksikan pertumbuhan ekonomi pada 2019 sebesar 5,07 persen. Adapun pertumbuhan ekonomi pada 2020 diprediksi tidak akan lebih baik di kisaran 5,04 persen. Adapun inflasi diperkirakan akan mengalami peningkatan 3,15 persen.
”Kecenderungan inflasi rendah akan menjadi aspek penting karena akan memengaruhi pola konsumsi. Padahal, konsumsi masih akan menjadi kontributor utama pertumbuhan ekonomi,” ujarnya.
Peneliti Pusat Penelitian Ekonomi LIPI, Carunia Mulya Firdausy, menilai, pertumbuhan ekonomi 2020 melambat karena tekanan proteksi dagang global serta melambatnya pertumbuhan negara mitra dagang dan investasi Indonesia, seperti Singapura.
Pemerintah Singapura memperkirakan pertumbuhan ekonomi mencapai 0 persen-1 persen pada akhir tahun 2019. ”Reformasi struktural melalui instrumen fiskal dan moneter pada 2020 harus lebih diarahkan untuk membentengi derasnya impor konvensional,” ucapnya.