Omnibus law seperti menjadi magnet baru. Isu itu menghiasi diskursus politik. Kemunculannya seperti mengulangi retorika ”revolusi mental” yang juga dimunculkan Presiden Jokowi menjelang kampanye Pemilihan Presiden 2014.
Oleh
Budiman Tanuredjo
·4 menit baca
Omnibus law seperti menjadi magnet baru. Isu itu menghiasi diskursus politik kontemporer. Diluncurkan pertama kali oleh Presiden Joko Widodo saat dilantik sebagai Presiden periode 2019-2024, bahasan soal omnibus law bertebaran di mesin pencari Google. Khusus di Pusat Informasi Kompas (PIK), sepanjang September-11 Desember 2019, ada 51 artikel membahas omnibus law.
Kemunculan omnibus law seperti mengulangi retorika ”revolusi mental” yang juga dimunculkan Presiden Jokowi menjelang kampanye Pemilihan Presiden 2014. Sepanjang 2014-2019 tercatat 704 artikel membahas revolusi mental di Pusat Informasi Kompas. Tahun 2014 sebanyak 263 artikel membahas revolusi mental, pada 2015 turun menjadi 212 artikel, turun lagi menjadi 111 artikel pada 2016, kembali melorot menjadi 57 artikel di tahun 2017. Pada 2018 tercatat 37 artikel dan pada 2019 tinggal 24 artikel. Setelah itu lenyaplah isu revolusi mental.
Pada 2019, revolusi mental seperti digantikan omnibus law. Dua jimat itu menjadi diskursus publik pemerintahan Presiden Jokowi. Revolusi mental seperti jargon yang maunya menggerakkan bangsa ke sebuah perubahan sikap mental. Namun, kini revolusi mental telah digantikan omnibus law.
Seperti ide revolusi mental, pasar terbuka menafsirkan ide itu. Teks kadang terlepas dari konteksnya. Begitu juga dengan omnibus law. Tafsirnya beragam.
Omnibus law, akan memudahkan pemerintah mengambil keputusan
Omnibus law adalah konsep hukum impor. Di Indonesia tidak mengenal omnibus law. Tentu wajar jika banyak orang, termasuk anggota DPR, belum memahami apa itu omnibus law sebagaimana dikeluhkan Menko Polhukam Mahfud MD. Omnibus law memang lebih banyak dikenal di negara common law, seperti Amerika Serikat atau Australia. Indonesia menganut civil law. Presiden Jokowi mengambil konsep omnibus law dengan semangat mengatasi karut-marut sistem hukum yang ada di Indonesia. Indonesia memang negara hiper regulasi. Menurut catatan Pusat Studi Hukum dan Kebijakan, pada masa pemerintahan Presiden Jokowi hingga November 2019 terdapat 10.180 regulasi dengan berbagai bentuknya.
Presiden Jokowi geregetan upaya mengundang investor asing terkendala birokrasi hukum yang rumit. Saat berbicara di HUT Ke-8 Partai Nasdem, November 2019, Presiden Jokowi mengatakan, dengan adanya omnibus law, akan memudahkan pemerintah mengambil keputusan. ”Ini belum pernah terjadi, tetapi ini akan kita lakukan. Kecepatan kita bertindak akan didukung apabila undang-undang ini kita selesaikan,” kata Presiden.
Omnibus law diharapkan menjadi hukum sapu jagat yang bisa mengatasi semuanya. Mungkin itulah ”revolusi hukum” yang menggantikan ”revolusi mental”. Namun, entahlah, apakah itu sebuah desain berkelanjutan, atau improvisasi komunikasi, atau taktik politik.
Berbeda dengan revolusi mental yang hanya sekadar jargon politik tanpa definisi operasional. Revolusi hukum omnibus law wujudnya lebih konkret. Tujuannya pun lebih jelas, yakni untuk menarik investasi. Hal ini melahirkan inisiatif UU sapu jagat untuk penciptaan lapangan kerja, UU Usaha Kecil, Mikro, dan Menengah, dan UU sapu jagat di bidang perpajakan. Karena bentuk akhirnya UU, tentu prosesnya akan berlangsung di DPR. Dengan kekuatan politik yang ada di DPR yang mayoritas dikuasai partai pendukung pemerintah, omnibus law secara matematika politik mudah digolkan. Namun, kalau ditimbang dari pertautan kepentingan politik yang ada, menggolkan omnibus law tidak mudah. Salah satu yang harus direvisi adalah UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Gagasan membuat UU sapu jagat tidak boleh melupakan partisipasi publik dan menghormati konstitusi dan asas-asas hukum.
Dalam omnibus law soal penciptaan lapangan kerja teridentifikasi ada isu pesangon buruh yang bakal kena pemutusan hubungan kerja yang kerap disuarakan kalangan pengusaha. Isu itu tentu berpotensi memancing resistensi dari kalangan serikat buruh.
Omnibus law diharapkan menjadi hukum sapu jagat yang bisa mengatasi semuanya.
Mengutip Thrasymachus, sebagaimana dikutip dalam buku Etika Politik dan Kekuasaan karya Haryatmoko, ”Hukum tidak lain kecuali kepentingan mereka yang berkuasa.” Hukum bisa menjadi alat legitimasi tujuan dan kepentingan bagi mereka yang sedang berkuasa. Sementara, bagi mereka yang lemah, hukum tidak berdaya membela.
Hukum kadang kandas dalam pertarungan kekuatan dan kepentingan sebagaimana terjadi terakhir dalam revisi UU KPK. Seyogianya omnibus law ditujukan untuk menghadirkan keadilan, kesejahteraan umum, dan melindungi hak individu. Di era ekonomi urun dana melalui equity crowdfunding, substansi omnibus law di bidang lapangan kerja perlu membuka kemungkinan buruh sebagai pemilik saham dari sebuah perusahaan. Perkembangan peer-to-peer lending di bidang equity crowdfunding membuktikan bahwa masyarakat bisa menjadi pemilik perusahaan secara bergotong royong. Kini, eranya kolaborasi dan era berbagi hasil antara buruh dan pengusaha.