Peringatan Hari Hak Asasi Manusia Sedunia 2019 tak hanya diwarnai laporan yang kurang menggembirakan terkait penanganan isu pelanggaran HAM, tetapi juga munculnya usulan pemerintah untuk membentuk kembali KKR.
Oleh
Rini Kustiasih
·4 menit baca
Tak ada jalan tunggal penyelesaian kasus pelanggaran HAM. Hal itu karena mekanisme KKR dan penyelesaian di pengadilan bersifat komplementer dan tak saling meniadakan.
Peringatan Hari Hak Asasi Manusia Sedunia 2019 tak hanya diwarnai laporan yang kurang menggembirakan terkait penanganan isu pelanggaran HAM, tetapi juga munculnya usulan pemerintah untuk membentuk kembali Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi yang dulu pernah dibentuk lewat Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2004 untuk menangani persoalan tersebut.
Wacana itu dilontarkan Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD, pekan lalu. Pernyataan itu menjadi diskursus di antara para pegiat HAM dan demokrasi, serta terutama keluarga korban. Motivasi pembentukan komisi itu pun dipertanyakan di tengah belum optimalnya penanganan HAM oleh penegak hukum.
Dari masa ke masa, penanganan HAM menjadi ”utang’ sejarah. Presiden Joko Widodo pernah mencantumkan penuntasan kasus HAM dalam Nawacita di periode pertama pemerintahannya. ”Utang” itu belum juga terlunasi, dan publik menanti komitmen pemerintah.
Saat talkshow Satu Meja:The Forum dengan topik ”Tersandera HAM di Periode Kedua?” di Kompas TV, Rabu (11/12/ 12019), dibahas rencana pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) hingga penuntasan pelanggaran HAM.
Acara yang dipandu Wakil Pemimpin Umum Harian Kompas Budiman Tanuredjo, menghadirkan Juru Bicara Presiden Fadjroel Rachman; anggota Komisi III DPR Taufik Basari; Koordinator Badan Pekerja Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan Yati Andriyani; istri almarhum Munir, Suciwati; adik penyair Wiji Thukul, Wahyu Susilo; dan anggota Komisi Nasional HAM Beka Ulung Hapsara.
Fadjroel mengatakan, pembentukan KKR kali ini berbeda dengan 2004. KKR tak akan mengaitkan rehabilitasi dan pemulihan hak-hak korban dengan amnesti atau pengampunan yang diberikan presiden pada pelaku pelanggaran HAM, sebagaimana diatur UU 27/2004 yang akhirnya dibatalkan Mahkamah Konstitusi. Komisi kini berorientasi ke korban.
“Pembahasan UU KKR akan banyak goncangan, dan tak ada kepastian. Kalau presiden berkomitmen, tindaklanjuti empat rekomendasi DPR, serta rekomendasi DPR dan MA.”
Komplementer
Yati dari Kontras mengatakan tak ada jalan tunggal penyelesaian kasus HAM. Mekanisme KKR maupun penyelesaian di pengadilan, sifatnya komplementer dan tak saling meniadakan. Untuk itu, motivasi pembentukan KKR dipertanyakan. Karena upaya hukum bisa dilakukan pemerintah lewat penegak hukumnya, tanpa tunggu KKR.
Bahkan, sejumlah usulan pernah dikeluarkan, Dari rekomendasi DPR saat penculikan dan penghilangan paksa, yakni dengan Keputusan presiden tentang pengadilan HAM ad hoc, meratifikasi konvensi antipenghilangan paksa, hingga pemulihan hak korban. Terkait peristiwa 65, DPR dan Mahkamah Agung merekomendasi rehabilitasi korban. Juga dokumen Tim Pencari Fakta Munir mesti diungkap dan ditindaklanjuti.
Yati pun pesimistis, “Pembahasan UU KKR akan banyak goncangan, dan tak ada kepastian. Kalau presiden berkomitmen, tindaklanjuti empat rekomendasi DPR, serta rekomendasi DPR dan MA.”
Hal senada diungkap Wahyu, yang menanti kepastian dan keberadaan saudaranya, Wiji Thukul. Oleh karena itu, ia berharap presiden tindaklanjuti saja rekomendasi. Di sisi lain, Suciwati juga menilai lambatnya penanganan kasus HAM karena tak adanya kemauan. Ada dua presiden menjabat dua periode tetapi belum mampu tangani kasus HAM.
“Kalau rekonsiliasi untuk tak mengungkap kebenaran, ya ujung-ujungnya impunitas”
Keberatan KKR dikemukakan Sumarsih, ibunda Wawan, mahasiswa Atma Jaya yang tewas di Tragedi Semanggi I. “Kalau rekonsiliasi untuk tak mengungkap kebenaran, ya ujung-ujungnya impunitas,” katanya di kursi pengunjung.
Menjaga harapan
Taufik mengatakan, setiap upaya dalam kasus HAM harus disikapi dengan harapan. Diakui, ada pekerjaan rumah yang belum selesai, dan hal itu berusaha dijawab lewat KKR. Indonesia bisa mengambil model terbaik praktik KKR negara lain. Model rekonsiliasi KKR dan pengadilan HAM bisa beriringan, dan tak saling menegasikan. Hanya upaya KKR tak perlu ditutup karena banyak hal bisa terjadi. “Dalam KKR, penting memenuhi “right to know” pengungkapan kebenaran, ada pengakuan negara telah terjadi pelanggaran HAM, lalu diperkuat kesaksian korban, dan hak-hak korban diberikan,” katanya.
“Dalam KKR, penting memenuhi “right to know” pengungkapan kebenaran, ada pengakuan negara telah terjadi pelanggaran HAM, lalu diperkuat kesaksian korban, dan hak-hak korban diberikan”
Terkait wacana KKR, Beka mengatakan, Komnas HAM menghormati inisiatif pemerintah, dan bersedia membantu semaksimal mungkin. Namun, ia mengingatkan harus ada kalkulasi dan kepastian yang jelas saat penyusunan UU KKR karena terkait DPR.
Penuntasan kasus pelanggaran HAM berat tentunya menjadi tugas berat pemerintah agar tak menjadi beban sejarah. Daan Bronkhorst, pegiat HAM di Amnesty International mencatat dalam “Truth and Reconciliation, Obstacles and Opportunities for Human Rights” (1995), praktik KKR di Chili dan Afrika Selatan yang berbeda.
Di Chili, KKR melampirkan nama-nama pelaku secara tertutup untuk disampaikan ke pengadilan, sekalipun akhirnya negara mengampuni para pelaku. Adapun di Afsel, mekanisme pengadilan tak ditempuh.
Terlepas dari beragamnya praktik, prinsip-prinsip KKR yang menjunjung pengungkapan kebenaran, pengakuan, keadilan, dan pemulihan hak-hak korban mesti dikedepankan. Sebab, pengampunan yang sifatnya personal dan penghukuman sulit dijustifikasi. Seperti diungkap Hannah Arendt, “orang-orang tak dapat mengampuni apa yang tak dapat mereka hukum.”