Subsidi listrik diarahkan agar tepat sasaran. Untuk itu, muncul usulan agar penyalurannya dikaji ulang. Data penerima subsidi juga diverifikasi.
Oleh
ARIS PRASETYO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS--Skema penyaluran subsidi listrik bagi pelanggan rumah tangga perlu dikaji ulang. Selain agar subsidi tepat sasaran, pelanggan listrik juga perlu diedukasi tentang pemanfaatan subsidi.
Sementara, pembatasan subsidi pada batas tertentu konsumsi listrik di tingkat rumah tangga dimungkinkan.
Hal itu mengemuka dalam diskusi publik "Listrik untuk Kesejahteraan Rakyat" di Jakarta, Selasa (10/12/2019).
Diskusi itu menghadirkan Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia Tulus Abadi, anggota Komisi VII DPR dari PKS Sa\'adiah Uluputty, Executive Vice President Tarif dan Pelayanan Publik PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) Tohari Hadiat, dan Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Agung Firman Sampurna sebagai pembicara.
Penerima subsidi listrik pelanggan PLN dari kelompok rumah tangga terbagi menjadi tiga golongan, yaitu 450 volt ampere (VA), 900 VA untuk rumah tangga miskin, dan 900 VA dari rumah tangga mampu.
Golongan 450 VA dikenai tarif subsidi Rp 415 per kilowatt jam (kWh). Adapun golongan 900 VA rumah tangga miskin Rp 605 per kWh dan tarif listrik 900 VA rumah tangga mampu Rp 1.352 per kWh. Sementara, tarif listrik untuk rumah tangga non-subsidi Rp 1.467 per kWh.
"Pemberian subsidi 450 VA dipukul rata kepada setiap rumah tangga dengan golongan tersebut. Tentu itu kurang fair. Apalagi, tarif listrik untuk rumah tangga 450 VA tidak pernah berubah sejak 2002 atau sudah 17 tahun lamanya," ujar Tulus.
Menurut Tulus, dengan kondisi pergerakan harga energi primer pembangkit listrik yang dinamis, tarif subsidi untuk pelanggan rumah tangga perlu dikaji ulang. Selain itu, rumah tangga penerima subsidi harus diedukasi agar bijak mengonsumsi listrik yang biaya produksinya tidak murah. Oleh karena itu, ia mengusulkan skema baru pemberian subsidi listrik.
"Harus ada pembatasan agar konsumen (penerima subsidi listrik) tidak boros. Caranya, pemberian subsidi dibatasi sampai tingkat kWh tertentu. Apabila konsumsi listriknya melebihi batas yang disubsidi, maka pelanggan tersebut dikenai tarif non-subsidi," kata Tulus.
Terkait subsidi, Sa\'adiah berpendapat, data pelanggan listrik penerima subsidi perlu diverifikasi. Ia mendorong pemerintah bersama PLN memverifikasi data pelanggan listrik penerima subsidi untuk memastikan kelayakan pelanggan menerika subdisi tersebut. Ia juga mengusulkan agar Kementerian Sosial dilibatkan dalam proses verifikasi tersebut.
"Jangan sampai masyarakat yang berhak mendapat subsidi justru tidak memperolehnya. Begitu pula sebaliknya. Pemberian subsidi dengan anggaran negara harus berbasis data yang valid," kata Sa\'adiah.
Subsidi dicabut
Berdasarkan data PLN, saat ini ada 74,92 juta pelanggan listrik PLN di seluruh Indonesia. Pelanggan PLN terdiri dari 38 golongan, yang 25 golongan di antaranya mendapat tarif listrik bersubsidi.
Adapun alokasi subsidi listrik pada 2019 sebesar Rp 59,3 triliun atau naik dibandingkan dengan realisasi subsidi 2018 yang sebesar Rp 56,5 triliun.
"Dua golongan terbesar penerima subsidi adalah rumah tangga 450 VA sebanyak 23,5 juta pelanggan dan 900 VA sebanyak 6,4 juta pelanggan. Kedua pelanggan tersebut berkontribusi sebesar 75 persen dari anggaran subsidi listrik pada 2018," jelas Tohari.
Pemerintah berencana mencabut subsidi bagi pelanggan rumah tangga mampu golongan 900 VA mulai 1 Januari 2020. Rencana tersebut tertuang dalam Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 19 Tahun 2019. Dengan demikian, tarif listrik golongan tersebut akan disesuaikan dengan tiga variabel, yaitu harga minyak Indonesia (ICP), nilai tukar rupiah terhadap dollar AS, dan inflasi.
Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian ESDM Rida Mulyana menyampaikan hal senada. Pemerintah belum sampai pada keputusan untuk menaikkan atau mempertahankan tarif listrik. Pemerintah terus mengkaji berbagai skenario tarif listrik dengan mempertimbangkan tiga variabel pembentuk tarif listrik. Kajian dilakukan setiap tiga bulan sekali (Kompas, 23/11/2019).
”Selain tiga variabel itu, pemerintah juga mempertimbangkan daya beli masyarakat dan daya saing industri sebelum menaikkan tarif listrik. Yang jelas, sampai sekarang belum ada keputusan,” ujar Rida. (APO)