Hari Antikorupsi Internasional, Senin, 9 Desember 2019, menjadi hari penuh harapan. Rakyat nelongso menonton Direktur Utama Garuda memasukkan motor gede di pesawat Garuda.
Oleh
Budiman Tanuredjo
·4 menit baca
Hari Antikorupsi Internasional, Senin, 9 Desember 2019, menjadi hari penuh harapan. Rakyat nelongso menonton Direktur Utama Garuda memasukkan motor gede di pesawat Garuda. Rakyat pilu melihat Komisi Pemberantasan Korupsi, yang berperan besar memerangi korupsi, kewenangannya dipereteli. Rakyat sabar menunggu kemajuan penyelidikan Novel Baswedan yang sudah lebih dari dua tahun. Rakyat tertawa getir ketika grasi diberikan dan hukuman koruptor didiskon, padahal retorikanya perang melawan korupsi.
Wajar jika pimpinan KPK berharap Presiden Joko Widodo mau menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu). ”Saya masih berharap saat Hari Antikorupsi, 9 Desember, Presiden Jokowi sudi datang ke KPK dan membawa kado Perppu KPK,” kata Wakil Ketua KPK Saut Situmorang.
”Serangan” terhadap KPK lama dilakukan politisi di Senayan. Selama bertahun-tahun bisa dijaga Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, pertahanan untuk UU KPK akhirnya roboh pada akhir masa jabatan DPR 2014-2019.
Unjuk rasa, tekanan kelompok masyarakat sipil, tidak dihiraukan. Sebagai bentuk perjuangan terakhir, pimpinan KPK mengajukan permohonan uji formil terhadap UU KPK kepada Mahkamah Konstitusi.
Apakah harapan publik itu akan terwujud? Juru Bicara Presiden Fadjroel Rachman menyebutkan, Perppu KPK tidak perlu diterbitkan karena sudah ada UU No 19/2019. ”Kan, sudah ada UU No 19/2019. Jadi, tak lagi diperlukan perppu,” kata mantan aktivis mahasiswa ini. Sementara, Menko Polhukam Mahfud MD berbeda.
”Presiden belum memutuskan akan mengeluarkan perppu atau tidak mengeluarkan perppu.”
Sikap Presiden belum jelas. Menerbitkan perppu bukanlah otomatis berarti membatalkan UU KPK hasil revisi. Terbitnya perppu bisa berarti memperbaiki kelemahan substansi dalam UU KPK. Sebut saja, hilangnya pasal soal fungsi pimpinan KPK sebagai penyidik dan penuntut umum. Ada juga soal batasan umur pimpinan KPK. Dan, yang merepotkan kewajiban gelar perkara untuk penyadapan di depan Dewan Pengawas sebelum Dewan Pengawas memberikan izin tertulis. Rumusan pasal itu jelas tidak mungkin dilakukan atau memang niatnya tidak lagi ada operasi tangkap tangan.
Pemerintah dan DPR rasanya perlu duduk tenang melihat UU KPK hasil revisi yang penuh dengan kelemahan. Namun, jika konstruksi undang-undang seperti itu yang memang diinginkan pemerintah dan DPR, para aktivis tidak boleh lelah terus menyuarakan betapa bahayanya korupsi. Betapa rentannya pemegang kekuasaan untuk menyalahgunakan jabatannya.
Ada harapan pada hari antikorupsi, Polri mengumumkan hasil penyelidikan kasus Novel. Wajah Novel disiram air keras pada 11 April 2017. Presiden Jokowi menyebut serangan terhadap Novel adalah tindakan brutal dan tidak beradab. ”Jangan sampai orang yang mempunyai prinsip teguh seperti itu dilukai dengan cara yang tidak beradab. Kekerasan seperti itu tidak boleh terulang,” kata Presiden Jokowi seperti dikutip Kompas, 12 April 2017.
”Jangan sampai orang yang mempunyai prinsip teguh seperti itu dilukai dengan cara yang tidak beradab. Kekerasan seperti itu tidak boleh terulang”
Presiden Jokowi pun memerintahkan Kapolri Jenderal Tito Karnavian menuntaskan kasus itu. Sampai batas akhir yang diberikan Presiden Jokowi kepada Polri terlewati, penyiram air keras terhadap Novel tetap gelap.
Publik berharap Presiden menyampaikan narasi besarnya soal korupsi di Indonesia, soal arah pemberantasan korupsi dengan UU KPK baru, dengan pimpinan KPK baru, dengan Dewan Pengawas baru. Hari Antikorupsi Internasional adalah momen yang tepat meneguhkan kembali arah pemberantasan korupsi.
Namun, jika harapan publik itu juga tidak direspons, mungkin memang inilah nasib negeri. Sebuah negeri yang kini dikuasai oligarki yang sebenarnya permisif terhadap korupsi. Jargon perang terhadap korupsi hanyalah retorika belaka. Benar seperti dikatakan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati saat memberikan sambutan di Hari Antikorupsi Internasional, Selasa, 3 Desember 2019.
”Korupsi adalah musuh yang nyata, tantangan yang bisa menghancurkan negara. Kita tidak perlu musuh dari luar, musuh dari dalam kita sendiri yang biasanya bisa meruntuhkan bangsa,” kata Sri Mulyani, seperti dikutip Kontan.co.id.
Sejarah mengajarkan asosiasi dagang VOC (Verenigde Oost-Indische Compagnie) pada 1779 pernah dipelesetkan menjadi Vergaan Onder Corruptie, runtuh karena korupsi yang akut. Korupsi itu sebenarnya sudah mendarah daging dalam berbagai wujudnya. Ada upeti. Ada uang semir. Ada praktik ”pundhutan”. Korupsi adalah musuh utama bangsa. Dan, musuh itu ada dari bangsa kita sendiri.
Korupsi selain merugikan dana publik— jalan rusak, pelayanan KTP-el tak kunjung baik —adalah rusaknya modal sosial. Hubungan saling percaya. Relasi itu diganti dengan relasi penuh perhitungan saya-kasih-apa-saya-dapat-apa. Keadilan diperjualbelikan, kelulusan dikomersialkan, keterpilihan ditentukan berapa bayaran per suara, dan jabatan disalahgunakan. Ini bisa jadi awal kehancuran.