Jeihan Sang Maestro ”Mata Hitam” Menutup Mata
Maestro pelukis Jeihan Sukamantoro berpulang kepada Yang Kuasa, di Kota Bandung, Jawa Barat, Jumat (29/11/2019) pukul 18.15. Bersama hujan yang turun membasahi Bandung, ia mengakhiri petualangan hidupnya menuju suwung.
Maestro pelukis Jeihan Sukamantoro berpulang kepada Yang Kuasa, di Kota Bandung, Jawa Barat, Jumat (29/11/2019) pukul 18.15. Bersama hujan yang turun membasahi Bandung, ia mengakhiri petualangan hidupnya menuju suwung dalam sufi.
Atasi Amin, anak sulung Jeihan, mengatakan, kanker getah bening sudah menjalar di tubuh ayahnya. Kondisi ginjalnya pun memburuk. Sekitar dua minggu lalu, Jeihan meminta pulang ke rumah di Jalan Padasuka 147, Kota Bandung. Di rumah sekaligus studio tempat sebagian besar karyanya dilahirkan, ia mengembuskan napas terakhirnya.
Lahir di Surakarta 81 tahun lalu, Jeihan sudah lama menyiapkan perjalanan pamungkas ini. Dalam beberapa kesempatan, Jeihan berkisah tentang semua persiapan menuju Ilahi. Contohnya, saat Jeihan menggelar pameran lukisannya bertajuk SUFI/SUWUNG di Bandung. Saat itu, dia sudah mengutarakan rindu itu lewat puisi yang ditulisnya sendiri.
Kami hamba Allah
Bersama waktu telah lama berjalan melewati garis panjang
Menuju satu Titik: Awal dan akhir menyatu kembali
Begitu bunyi sepenggal puisi dalam secarik kertas itu dibagikan kepada hadirin yang datang dalam pembukaan pameran itu. Digelar 2-20 Juni 2017, ada 31 lukisan Jeihan yang dipamerkan di sana.
Tak hanya lewat puisi, ajakannya juga tersaji lewat lukisan yang ia buat langsung di depan hadirin. Ia ditemani pelukis Tisna Sanjaya dan Nasirun saat menggoreskan cat dalam kanvas.
Tak seperti ciri khasnya yang kerap melukis sosok bermata hitam, Jeihan menampilkan karya lain. Dia memenuhi kanvas berukuran 140 sentimeter x 140 sentimeter itu dengan cat akrilik hitam. Lukisannya terlihat seperti air hitam yang luntur.
Jakob Sumardjo, budayawan, sahabat, sekaligus tetangga Jeihan di Padasuka, Bandung, mengatakan, belakangan lukisan Jeihan hanya berwarna polos dan seperti tak berbentuk. Hal itu berkaitan erat dengan semangat Jeihan mengejawantahkan konsep suwung dalam kanvasnya.
”Suwung artinya ada dalam ketiadaan. Mungkin bagi orang lain seperti tidak melihat ada sesuatu. Namun, sebetulnya ada, tetapi tidak kelihatan saja. Sesuatu yang sebetulnya ada dalam kondisi tidak ada. Sufi adalah usaha manusia mendekatkan diri kepada Tuhan. Jika sudah demikian, rasanya suwung,” tutur Jakob.
Saat itu, Jeihan mengatakan, dirinya sudah masuk tahapan baru dalam hidup dan karyanya. Saat ini, apa yang disebutnya mortalitas atau kematian menjadi dorongan utamanya terus hidup dan melukis. Tak jauh dari arti namanya. Jeihan dalam bahasa Persia, artinya dunia sekaligus akhirat.
Jeihan mengatakan, dorongan itu tidak lepas dari kondisi tubuh yang tak setangguh dulu. Penyakit ginjal membuatnya harus cuci darah di Singapura setiap tiga bulan sekali. Ada juga trauma tulang yang menyodok otaknya sejak usia empat tahun. Trauma tulang itu semakin kerap mengganggu, membuat nyeri di kepalanya.
”Jeihan, dalam bahasa Persia, artinya dunia sekaligus akhirat. Secara fisik saya sebenarnya lumpuh. Saya SMS pun enggak bisa. Naik mobil enggak bisa, padahal mobil saya banyak. Ke mana-mana dikawal. Secara fisik, saya tergantung orang, tetapi secara kualitas mental spiritual luar biasa,” kata Jeihan ditemui di studionya, Desember 2017 (Kompas, 14 Januari 2018).
Hal itu, kata Jeihan, berbeda dibandingkan saat ia masih berusia 40-50 tahun. Jeihan menyebut dorongan hidupnya saat itu adalah vitalitas atau kehidupan. Dia berkarya menghasilkan uang agar anak-anaknya bisa merampungkan sekolah dan membiayai kebutuhan lainnya.
”Fase itu sekarang sudah berakhir. Ada hal lain yang harus ditempuh saat waktu terus berjalan. Sekarang giliran menabung persiapan untuk akhirat,” katanya.
Baca juga: Jeihan Sukmantoro Tak Mau Menyerah pada Penyakit
Jeihan Sukmantoro adalah maestro pelukis Indonesia. Ciri khas mata hitam dalam rupa lukisannya telah melanglang buana lebih dari tiga era kekuasaan.
Jeihan mulai masuk ke dunia seni rupa Indonesia di era 1960-an dan memuncak di tahun 1990-an.
Dia mulai mengasah kemampuan melukisnya di Himpunan Budaya Surakarta (HBS) pada 1953 saat berumur 14 tahun. HBS merupakan sebuah lembaga studi dan diskusi seni bersifat semiformal di Solo. Beberapa seniman terkenal, seperti WS Rendra, Srihadi Soedarsono, bahkan Menteri Penerangan era Soeharto, Harmoko, pernah menimba ilmu di sana.
Pada 1960, Jeihan masuk Departemen Seni Rupa Institut Teknologi Bandung. Di kampus ini, dia mempelajari keterampilan teknik dan mengasah sikap kritisnya mempertanyakan setiap teori yang diajarkan. Hal ini membentuknya menjadi pelukis yang teoretis dan analitik.
Kekritisan itu pula yang membuat Jeihan akhirnya memilih untuk drop out, tetapi tetap menekuni ilmu seni rupa yang telah mendarah daging. Dia tetap mengadakan pameran sehingga posisinya sebagai seniman lukis Indonesia semakin eksis. ”Mata hitam”, yang jadi ciri khas Jeihan, hingga kini sulit dicari tandingannya.
Fase itu sekarang sudah berakhir. Ada hal lain yang harus ditempuh saat waktu terus berjalan. Sekarang giliran menabung persiapan untuk akhirat.
Atasi Amin, menuturkan, mata hitam itu muncul sekitar tahun 1965. Saat itu, Jeihan merasa tidak puas dengan rupa mata realistik yang dia lukis di beberapa lukisan. Alhasil, dia membubuhi warna hitam hingga menutupi seluruh permukaan mata.
Ciri khas itu dia pertahankan. Setiap melukis wajah, Jeihan kerap membubuhkan warna hitam di permukaan mata, tanpa ada bola mata putihnya. Di studio saja, hanya ada beberapa lukisan yang dengan mata realistis, di antaranya lukisan ayahnya yang dipajang di lantai empat studio dan lukisan ibunya yang dipajang di ruang peristirahatan di studio.
Jumat (15/11/2019), sambil memandangi salah satu lukisan di studio Jeihan, Atasi menuturkan, lukisan itu justru seperti bisa melihat orang dari sisi mana pun, dari segala arah. ”Tatapan mata itu semakin hidup. Hal ini yang diinginkan oleh bapak,” ujarnya.
Baca juga: Salon Artjog
Mikke Susanto dalam bukunya yang berjudul Jeihan: Maestro Ambang Nyata dan Maya menjelaskan, mata hitam Jeihan memiliki interpretasi yang serupa dengan lubang hitam alam semesta. ”Benda langit” ini memberikan kesan mendalam bagi Jeihan, memerangkap cahaya serta mengganggu ruang dan waktu.
Dalam buku tersebut Mikke menyebut, ”Setiap kali bercakap-cakap dengannya, dengan mudah ia keluar masuk ke dimensi yang tak berkesudahan. Dengan mata hitam, Jeihan menemukan dirinya sendiri.”
Pada 1980-an, Jeihan mulai dilirik dari dalam dan luar negeri. Rudiger Siebert, seorang jurnalis berkebangsaan Jerman, dalam salah satu artikelnya menuturkan, Jeihan adalah satu-satunya pelukis Indonesia yang memiliki ciri Indonesia.
Bahkan, kemampuan Jeihan dalam melukis pun diakui oleh akademisi dari luar negeri. Dalam bukunya, Mikke menyebut, ”Film dokumenter tentang Jeihan sempat pula diputar di University of California Los Angeles, Amerika Serikat, di samping tentang Affandi untuk studi perbandingan seni lukis ekspresionisme”.
Kini, perjalanan hidup Jeihan menemui akhir. Beliau memasuki suwung nan sufi. Namun, bagi semua orang yang mengenalnya, ia meninggalkan banyak jejak di dunia. Menjelang akhir hidupnya, dia rajin mengajak manusia mendekatkan diri kepada Tuhan di tengah segala rutinitas dan hiruk-pikuk dinamika bangsa saat ini.
”Andaikan semua orang mau mendekatkan diri kepada Tuhan dan masuk wilayah sufi, negara ini tidak akan kacau seperti ini. Puncak gerak, diam. Puncak tahu, tidak tahu. Puncak hidup, mati. Saya sudah mulai mengerti. Saya sudah mulai belajar diam. Saya sudah mulai tidak tahu dan sudah siap mati. Insya Allah dalam puncak kehidupan ini, saya menuju ke suwung.”