Revitalisasi Taman Ismail Marzuki tak sekadar mengubah fisik bangunan. Di tempat itu ada marwah kebudayaan yang memegang teguh prinsip keadaban. Jika pemerintah keliru membangun, roh kesenian itu akan lenyap.
Oleh
Stefanus ato
·4 menit baca
Revitalisasi Taman Ismail Marzuki tak sekadar mengubah fisik bangunan. Di tempat itu ada marwah kebudayaan yang memegang teguh prinsip keadaban. Jika pemerintah keliru membangun, roh kesenian itu akan lenyap.
Revitalisasi Taman Ismail Marzuki (TIM) dimulai pada medio Juli 2019 dan ditargetkan rampung akhir 2021. Revitalisasi yang dilaksanakan badan usaha milik daerah, PT Jakarta Propertindo (Jakpro), itu menghabiskan dana Rp 1,8 triliun.
Revitalisasi itu diharapkan mendukung kerja kreatif seniman dan menjadikan TIM sebagai pusat kesenian bertaraf internasional. Muaranya adalah seniman dapat melahirkan konten kesenian berkelas dunia.
Akan tetapi, revitalisasi ini menimbulkan pro dan kontra. Penyebabnya, penunjukan Jakpro oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dinilai semata-mata untuk keuntungan politik dan finansial. Akibatnya, suara penolakan terus berdatangan, terutama dari kalangan seniman.
Puncaknya, terjadi perselisihan antara salah satu perwakilan Gubernur DKI Jakarta dan kalangan seniman saat diskusi ”PKJ TIM Mau Dibawa ke Mana” di TIM, Rabu (20/11/2019). Ucapan dari perwakilan gubernur itu menyulut emosi seniman lantaran dinilai disampaikan dengan kasar dan ada kesan mengintimidasi.
Menurut budayawan Radhar Panca Dahana, Minggu (24/11/2019), di Jakarta, pemerintah seharusnya tidak memaksakan kehendak dan kepentingannya atas kerja kesenian dan kebudayaan. Kerja kesenian jangan dianggap sebagai biaya, tetapi harus dilihat sebagai investasi imaterial.
”Kerja kebudayaan bertujuan membangun manusia-manusia Indonesia yang toleran, antikorup, dan berintegritas yang hasilnya tak bisa langsung dilihat hari ini,” ujarnya.
Sementara itu, Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) ikut menyesalkan cara komunikasi Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dan Jakpro selama ini. Dua pihak itu dinilai gagal memahami psikologi para seniman.
TIM merupakan rumah seniman. Di tempat itu mereka hidup, berproses, berkarya, dan lahir menjadi seniman besar. Psikologi mereka terganggu saat melihat kondisi TIM yang kini dipenuhi pagar seng (hoarding) proyek.
TIM merupakan rumah seniman. Di tempat itu mereka hidup, berproses, berkarya, dan lahir menjadi seniman besar.
”Siapa pun yang datang ke sini sepi dan terluka. Masuk ke TIM merasa seperti berada di kawasan pabrik,” kata Sekretaris Komite Teater DKJ Adinda Luthvianty, Senin (25/11/2019), di Jakarta.
TIM memiliki memori masa lalu yang begitu kental bagi sebagian seniman. Melihat kondisi TIM saat ini, para seniman khawatir dan bertanya-tanya. Ada ketakutan tersendiri jika revitalisasi itu tak hanya mengubah tampilan fisik, tetapi juga ikut mengubah kultur yang selama ini hidup dan dipelihara.
Butuh kepastian
Pelaksana Tugas Ketua DKJ Danton Sihombing mengatakan, sebagian bangunan di TIM kondisinya sudah tidak layak. Oleh karena itu, DKJ juga memiliki pandangan yang sama agar bangunan-bangunan itu dimutakhirkan.
Namun, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta harus terlebih dahulu menjamin bahwa tidak akan ada campur tangan Jakpro dalam kerja-kerja kesenian. ”Jaminan itu berupa aturan hukum yang mengikat yang membagi secara jelas kerja kesenian dan manajemen komersialisasi,” ujarnya.
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta harus terlebih dahulu menjamin bahwa tidak akan ada campur tangan Jakpro dalam kerja-kerja kesenian.
Peran DKJ selama ini sebagai kurator konten program kesenian juga belum jelas fungsi dan tugasnya jika revitalisasi selesai. Hal ini yang menyebabkan kalangan seniman khawatir karena ada pihak baru yang ikut terlibat dalam pengelolaan TIM.
Peran Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sebagai pengawas sangat dibutuhkan. Pengelolaan dengan melibatkan Jakpro jangan sampai menjadi alasan pemerintah lepas tangan atas pengelolaan TIM.
Direktur Utama PT Jakarta Propertindo (Jakpro) Dwi Wahyu Daryoto mengatakan, Jakpro ditugaskan untuk membantu membangun sarana dan prasarana, mengelola, serta memelihara TIM. Sesuai Peraturan Gubernur Nomor 327 Tahun 2016 tentang Organisasi dan Tata Kerja Unit Pengelola Pusat Kesenian Taman Ismail Marzuki, posisi Jakpro adalah satuan pelaksana prasarana dan sarana.
Keterlibatan Jakpro bertujuan merevitalisasi TIM untuk dijadikan sebagai kawasan yang lebih nyaman dan luas bagi seniman dalam berkarya. Tugas Jakpro hanya berkaitan dengan infrastruktur dan bisnis.
”Saya tegaskan kami tidak mengelola urusan kesenian karena itu teman-teman seniman yang mengerti. Komersialisasi harus dijernihkan,” kata Wahyu.
Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan menambahkan, revitalisasi TIM bertujuan menjadikan tempat itu sebagai pusat kegiatan kebudayaan, baik di level nasional maupun internasional. Tempat itu diharapkan sebagai simpul ekosistem kebudayaan.
”Artinya yang hadir di sana tidak saja dari Jakarta, tetapi juga dari berbagai wilayah di Indonesia, termasuk tamu internasional,” ujarnya.
Anies menjelaskan, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta juga mengembangkan kegiatan kebudayaan termasuk merevitalisasi TIM tanpa orientasi komersial. Hal itu dibuktikan dengan pemisahan dinas pariwisata dan kebudayaan agar sesuai misi bahwa pengembangan kebudayaan tak ada komersialisasi.