Pertahankan Keringanan Tarif AS, Indonesia Tinggal Selesaikan Tiga Isu
Diplomasi Indonesia untuk mempertahankan fasilitas sistem tarif preferensial umum atau GSP dari Amerika Serikat menemui titik terang. Namun, masih ada tiga isu yang mesti diselesaikan Indonesia hingga Desember.
Oleh
M PASCHALIA JUDITH J
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Diplomasi Indonesia untuk mempertahankan fasilitas sistem tarif preferensial umum atau GSP dari Amerika Serikat menemui titik terang. Namun, masih ada tiga isu yang mesti diselesaikan Indonesia hingga Desember.
Wakil Menteri Perdagangan Jerry Sambuaga, Senin (25/11/2019), mengatakan, Indonesia tengah berupaya mempertahankan fasilitas GSP karena Amerika Serikat (AS) berencana mencabut fasilitas tersebut bagi Indonesia. Upaya itu telah dilakukan Indonesia sejak 2018.
Dari 11 isu yang menjadi pertimbangan, ada tiga isu yang masih harus diselesaikan, yakni reasuransi, perizinan (licensing) impor, dan lokalisasi data perusahaan AS di Indonesia. Isu perizinan impor sudah hampir selesai karena penyelerasannya sudah masuk di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia dan tinggal ditandatangani.
”Dalam hal lokalisasi data dan reasuransi, Kementerian Perdagangan (Kemendag) mesti berkoordinasi dengan pemangku kepentingan lain, seperti Otoritas Jasa Keuangan dan Bank Indonesia. Kedua isu ini membutuhkan komitmen transparansi data yang akuntabel,” kata Jerry dalam konferensi pers.
Dari 11 isu yang menjadi pertimbangan, ada tiga isu yang masih harus diselesaikan, yakni reasuransi, perizinan (licensing) impor, dan lokalisasi data perusahaan AS di Indonesia.
Sebelumnya, pada 19 November 2019, delegasi Indonesia yang dipimpin Jerry Sambuaga dan Wakil Menteri Luar Negeri Mahendra Siregar bertemu dengan Deputi Perwakilan Perdagangan Amerika Serikat (USTR) Jeffrey Gerrish di Washington DC, Amerika Serikat.
Dalam kunjungan itu, Pemerintah Indonesia menemukan titik terang untuk mempertahankan fasilitas GSP dari AS. Indonesia dan AS berkomitmen merampungkan pembahasan itu pada Desember 2019.
Menurut Jerry, fasilitas GSP menguntungkan AS dan Indonesia. Bagi AS, 20 komoditas utama yang mendapatkan fasilitas GSP menjadi bahan baku industri di AS.
”Artinya, impor bahan baku yang berfasilitaskan GSP bersifat vital bagi perkembangan industri AS,” ujarnya.
Indonesia dan AS berkomitmen merampungkan pembahasan itu pada Desember 2019.
Data yang dihimpun Kementerian Perdagangan dari situs Coalition for GSP menyebutkan, perusahaan-perusahaan AS menghemat 797 juta dollar AS sepanjang Januari-September 2019 berkat fasilitas GSP yang berlaku secara total. Angka ini lebih tinggi dibandingkan dengan periode yang sama pada 2018 yang sebesar 752 juta dollar AS.
Kepala Badan Pengkajian dan Pengembangan Perdagangan Kementerian Perdagangan Kasan Muhri menyatakan, AS ingin keterlibatan pihak asing dalam asuransi ataupun reasurasi ditingkatkan. Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2018 tentang Kepemilikan Asing pada Perusahaan Perasuransian menyatakan, kepemilikan asing pada perusahaan asing tidak boleh lebih dari 80 persen.
Wakil Ketua Umum Bidang Hubungan Internasional Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Shinta Widjadja Kamdani berpendapat, pemerintah perlu melihat kompleksitas penyesuaian aturan terhadap isu-isu yang disoroti AS. Apalagi, saat ini pemerintah tengah menyederhanakan sejumlah regulasi.
”Selain itu, masyarakat juga perlu memahami, tidak semua perubahan peraturan yang telah terjadi di Indonesia dilakukan demi mempertahankan GSP,” katanya.
Direktur Perundingan Bilateral Direktorat Jenderal Perundingan Perdagangan Internasional Kementerian Perdagangan Ni Made Ayu Marthini menuturkan, AS memberikan fasilitas GSP dalam 5.062 pos tarif secara total kepada negara berkembang. Indonesia mendapatkan fasilitas GSP pada 3.572 pos tarif, tetapi baru memanfaatkan 836 pos tarif.
Kementerian Perdagangan mencatat, nilai ekspor ke AS dengan fasilitas GSP sepanjang Januari-Agustus 2019 sebesar 1,68 miliar dollar AS. Dari total nilai itu, terdapat 20 barang utama yang ekspornya 1,60 miliar dollar AS. Contohnya, kulit dan produk kulit, produk kimia, serta perhiasan.
Ekspor baja
Dalam kunjungan AS, Kementerian Perdagangan juga menemui ATI Metals, importir lembaran baja dari Morowali, Sulawesi Tengah. Kasan menyatakan, perusahaan tersebut meminta dukungan pemerintah Indonesia untuk memfasilitasi pembebasan tarif bea masuk lembaran baja di AS 25 persen.
”Ada dua opsi kuota yang ditawarkan ATI Metals. Pembebasan tarif masuk untuk impor lembaran baja 150.000 ton atau 300.000 ton. Sepanjang 2018, ATI Metals telah mengimpor lembaran baja dari Morowali tersebut sebanyak 300.000 ton,” kata Kasan.
Chairman Asosiasi Besi dan Baja Nasional (IISIA) Silmy Karim berpendapat, fasilitas pembebasan tarif masuk itu seharusnya berlaku untuk semua produk baja dari Indonesia. Penerapan fasilitas mesti bersifat universal.