Debirokratisasi Administrasi Pendidikan Perlu Payung Hukum
Debirokratisasi administrasi pendidikan tidak bisa diserahkan kepada para guru, karena memerlukan payung hukum. Semangat debirokratisasi menguat setelah Mendikbud Nadiem Makarim menyusun pidato terkait hal ini.
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar/Aditya Putra Perdana/Iqbal Basyari
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Debirokratisasi administrasi pendidikan memerlukan payung hukum karena praktik ini tidak bisa diserahkan begitu saja kepada para guru di lapangan. Harus ada penjelasan mengenai aspek-aspek ketatausahaan yang bisa diringkas, bahkan dipapas guna menjadikan kinerja guru, kepala sekolah, dan pengawas tepat sasaran.
"Permasalahan administrasi adalah karena aturan pusat, yakni Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, yang lalu diturunkan oleh pemerintah provinsi dan kabupaten/kota, dan memang banyak yang mengikat," kata Wakil Sekretaris Jenderal Federasi Serikat Guru Indonesia Satriwan Salim di Jakarta, Minggu (24/11/2019).
Beberapa hari terakhir beredar naskah pidato Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim terkait peringatan Hari Guru Nasional. Dalam naskah itu disebutkan sejumlah kondisi riil, di antaranya waktu guru yang habis untuk urusan administrasi, padatnya kurikulum yang menutup petualangan, dan minimnya kepercayaan guru untuk berinovasi.
Nadiem mengajak guru untuk mengawali perubahan sistem pendidikan. Ia meminta guru untuk, antara lain, mengajak siswa berdiskusi, mencetuskan proyek bakti sosial bersama kelas, menemukan bakat murid yang kurang percaya diri.
Satriwan memaparkan, guru tak bisa sesukanya menerabas aturan karena bisa dikategorikan tindakan anarkistis. Namun, aturannya harus dibuat lebih ringkas dan lentur, sehingga memungkinkan guru memiliki berbagai alternatif pendekatan dan metode, dalam melaksanakan tanggung jawabnya.
Ketua Umum Federasi Guru Independen Indonesia Tety Sulastri mengungkapkan, jenis-jenis administrasi yang memberatkan guru harus ditinjau ulang. Sejauh ini, prosedur kenaikan pangkat guru dari golongan 3A ke 3B sangat merepotkan karena membutuhkan berkas sangat banyak.
Terkait personalisasi pemelajaran untuk siswa Tety menjabarkan, pendekatan di Indonesia sarat metode klasikal. Guru mengidentifikasi siswa di dalam kelas dan membagi ke tiga kategori, yaitu siswa berkemampuan di atas rata-rata, rata-rata, dan di bawah rata-rata. Dalam pemelajaran, saat siswa dibagi ke dalam kelompok guru memastikan per grup memiliki siswa dari tiap kategori, sehingga tercipta tutor sebaya dan berbagi ilmu.
Kelemahan pendekatan klasikal ini, yakni sulit mendeteksi dengan akurat potensi personal siswa sebagai seorang individu. Apalagi, lanjut Tety, selain jumlah siswa yang banyak yaitu 36 hingga 42 orang per kelas, sarana dan prasarana sekolah di Tanah Air secara umum, belum memfasilitasi pengembangan bakat individu yang beragam.
"Justru guru menunggu tindakan nyata pemerintah dalam pemastian personalisasi pemelajaran karena butuh lebih dari perhatian guru dan wali kelas saja," kata Tety.
Terkait pidato Nadiem, Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Kemendikbud Ade Erlangga Masdiana mengungkapkan, pengunggahan naskah ke situs kementerian dilakukan sebagai pendekatan berbeda dari sebelumnya. Ketimbang menunggu menteri membacakannya di upacara, publik sudah mengetahui isinya.
Ia menjelaskan, inti pidato tersebut tetap kepada lima visi pemerintah untuk pendidikan, yaitu pendidikan karakter, debirokratisasi, investasi dan inovasi, penyiapan pengisian lapangan kerja, serta pemberdayaan teknologi.
Urgensi digitalisasi
Di Semarang, Rektor Universitas Katolik Soegijapranata Semarang, Ridwan Sanjaya berpendapat, dalam menyiapkan generasi emas, perubahan menjadi keharusan dalam sistem pendidikan, termasuk di dalamnya soal digitalisasi. Guna mendukung itu, perlu disiapkan infrastruktur yang memadai.
Ridwan mengatakan, perubahan dunia juga akan dihadapi anak-anak muda. Dalam hal ini, perlu penguatan digitalisasi yang akan membawa manfaat, seperti mengarahkan para siswa untuk inovatif.
“Digitalisasi membantu penjaminan mutu pendidikan,” kata Ridwan di sela-sela seminar "Digitalisasi Pengelolaan Pembelajaran dan Penguatan Pendidikan Karakter" di kampus Universitas PGRI Semarang, Kota Semarang, Jawa Tengah, Minggu (24/11).
Ridwan berharap, Mendikbud yang berpengalaman di bidang usaha rintisan (startup), yakni aplikasi Go-Jek, turut menyiapkan infrastruktur digitalisasi dalam pembelajaran.
"Saran saya, bangun infrastruktur teknologi yang terpusat di pemerintah. Dengan demikian, nantinya murid pada sekolah yang tak berkemampuan membangun itu, bisa turut mendapatkan akses serta manfaatnya,” ujar Ridwan.
Pegiat pendidikan karakter yang juga mantan Ketua PGRI Jateng, Widadi menuturkan, model pembelajaran yang berpusat pada siswa, bukan guru, sebenarnya sudah lama disuarakan. Namun, belum dapat dipraktikkan optimal.
“Model-model ulangan atau ujian masih mengeksplorasi hapalan, bukan kedalaman pemahaman anak terhadap pengetahuan. Salah satu yang perlu dilakukan, jangan terlalu membebani anak dengan banyaknya mata pelajaran,” ujar Widadi.
Di Jawa Timur, Dinas Pendidikan Kota Surabaya akan memberikan kegiatan ekstrakurikuler coding (bahasa pemrograman komputer) kepada pelajar tingkat SMP. Materi tersebut diberikan untuk menyiapkan siswa menghadapi tantangan revolusi industri 4.0.
Kepala Dinas Pendidikan Kota Surabaya Supomo mengatakan, pemelajaran coding akan diberikan mulai tahun ajaran mendatang. Siswa SMP yang tertarik, bisa mengikuti pelajaran itu.