Akhir Tahun, 3.000 Titik di Jabar Waspada Gerakan Tanah
Hampir dua pertiga wilayah Jawa Barat memiliki potensi gerakan tanah pada Desember 2019. Sebagian besar potensi ini terjadi di separuh wilayah Kabupaten Sukabumi, Kabupaten Bandung, dan daerah lainnya.
Oleh
MACHRADIN WAHYUDI RITONGA
·4 menit baca
Akhir tahun 2019 menjadi tahun kewaspadaan bagi hampir dua pertiga wilayah Jawa Barat yang memiliki risiko gerakan tanah. Warga di wilayah itu diminta lebih mengenali karakter tanah dan jalur air di lingkungannya untuk mengantisipasi longsor dan mereduksi risiko jatuh korban.
Berdasar Peta Prakiraan Wilayah Kejadian Gerakan Tanah periode Desember, dua pertiga wilayah di Jawa Barat memiliki risiko tinggi gerakan tanah. Sebagian besar terjadi di separuh wilayah Kabupaten Sukabumi, Kabupaten Bandung dan Bandung Barat, Sumedang, Cianjur, Kabupaten dan Kota Bogor, serta sebagian Majalengka dan Kuningan.
Kepala Bidang Mitigasi Gerakan Tanah dari Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) Agus Budianto, di Bandung, Jumat (22/11/2019), menuturkan, kawasan-kawasan berisiko longsor memiliki aliran air yang berpotensi menggerakkan tanah di musim hujan.
Kurang lebih 3.000 titik di daerah Jawa Barat bagian selatan dan tengah memiliki risiko gerakan tanah.
Selain kemiringan, tinggi-rendahnya risiko kawasan tersebut dilihat dari kondisi lahan saat musim kemarau. Rekahan tanah yang terjadi saat kemarau berpotensi longsor jika hujan turun deras dan membebani tanah.
Agus menjelaskan, lokasi dengan aktivitas manusia yang tinggi, seperti fasilitas umum dan perumahan, perlu melihat kondisi tanahnya karena daerah dengan alih fungsi lahan cenderung tidak stabil. Apalagi, daerah tersebut memiliki kemiringan yang menyebabkan air mengalir dan mengikis tanah tempat berpijak.
”Karena itu, selain daerah-daerah yang dianggap berpotensi tersebut, pada umumnya daerah yang menjadi jalur air berpotensi gerakan tanah, tergantung komposisi tanah keras dan tanah lunaknya. Karena itu, setiap warga diimbau waspada saat terjadi hujan deras yang membebani tanah,” tuturnya.
Pemahaman masyarakat
Besarnya risiko wilayah perlu diantisipasi dengan mengedukasi masyarakat. Pemahaman pada risiko menjadi langkah mitigasi untuk meminimalkan jatuhnya korban. Karena itu, sebagai faktor utama, Agus berharap warga bisa mengenali aliran air dan bisa membangun infrastruktur untuk mengurangi mengantisipasi terjadinya longsor.
”Daerah-daerah rawan ini perlu direlokasi sesuai arahan pemerintah. Namun, jika memang tidak bisa direlokasi, warga di daerah rawan longsor perlu mengamati lingkungan sekitar. Kalau memang berada di bawah perbukitan, upayakan bentuk jalur air yang ada diarahkan menjauh dari permukiman,” tuturnya.
Data yang dihimpun Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Jawa Barat, terdapat lebih kurang 3.000 titik di Jawa Barat bagian selatan dan tengah yang memiliki risiko gerakan tanah. Selain itu, banjir juga dikhawatirkan melanda kawasan bantaran sungai Citarum, terutama di kawasan Baleendah, Kabupaten Bandung.
Dua pertiga kawasan Jabar memiliki kontur berbukit sehingga rawan gerakan tanah. Risiko ini semakin besar di kawasan yang memiliki alih fungsi lahan.
Ketua Pelaksana BPBD Supriyanto menuturkan, dua pertiga kawasan Jabar memiliki kontur berbukit sehingga rawan gerakan tanah. Risiko ini semakin besar di kawasan yang memiliki alih fungsi lahan. ”Titik-titik ini tersebar di daerah berbukit yang berada di bagian tengah dan selatan, sedangkan di bagian utara cenderung datar,” ujarnya.
Supriyanto menjelaskan, hingga akhir Oktober 2019, Jabar mengalami 1.486 kejadian yang didominasi bencana hidrometeorologi. Bencana ini terjadi akibat fenomena cuaca dan iklim.
Dari hitungan tersebut, bencana terbanyak berasal dari gerakan tanah atau longsor sebanyak 468 kejadian, lalu kebakaran lahan dan hutan sebanyak 369 kejadian. Pada posisi berikutnya, ada kebakaran rumah 330 kasus. ”Antisipasi bencana hidrometeorologi ini akan kami maksimalkan. Kami akan melakukan pendampingan terhadap BPBD kabupaten dan kota yang memiliki peralatan dan logistik,” ujarnya.
Angin kencang
Salah satu bencana hidrometeorologi yang mulai marak terjadi di Jawa Barat adalah angin ribut atau angin puting beliung. Supriyanto menuturkan, fenomena alam ini terjadi sepanjang musim kemarau dan peralihan musim dengan catatan 268 kejadian.
Menurut peneliti Stasiun Geofisika Kelas I Bandung, Yan Firdaus Permadhi, angin kencang berpotensi terjadi pada musim hujan. Angin kencang ini terjadi saat pembentukan awan hujan atau awan kumulonimbus (CB) yang menyebabkan angin mengalir dari langit ke permukaan tanah.
Yan menjelaskan, awan CB ini berbentuk vertikal, seperti corong atau jamur. Semakin tinggi bentukan awannya, kian besar dampak yang ditimbulkannya. Besaran awan CB ini hanya bisa dilihat warga yang jauh dari lokasi awan.
”Kawasan di bawah awan CB biasanya sudah gelap. Jika pucuk awan CB yang diamati sudah condong, berarti ketinggiannya mencapai stratosfer. Awan seperti ini yang perlu diwaspadai karena akan memberikan dampak yang besar, seperti angin beliung hingga badai petir,” tuturnya.
Selain badai dan puting beliung, Yan mengingatkan, hujan yang singkat, tetapi deras perlu diwaspadai. Hujan dengan sifat seperti ini cenderung memberikan dampak destruktif karena tanah tidak mampu menahan aliran air yang jatuh.
Karena itu, warga perlu menjaga lingkungan, terutama kebersihan saluran air karena sampah dapat menutup aliran yang bisa memicu banjir. ”Kami berharap masyarakat saat ini mulai melihat lingkungannya. Sebagai antisipasi, seluruh saluran dipastikan bersih dari sampah sehingga saat hujan turun aliran air tidak terhambat,” tuturnya.