Bahaya yang mengintai tidak dipedulikan. Selain kepada para joki cilik itu keluarga bertumpu, juga karena joki cilik dipandang sebagai bagian budaya. Pandangan ini mesti diluruskan. Eksploitasi anak harus dihentikan.
Oleh
FAJAR RAMADHAN
·4 menit baca
Oktober lalu, seorang joki cilik diberitakan tewas saat mengikuti acara pacuan kuda di Kota Bima, Nusa Tenggara Barat. Kejadian itu bukan kali pertama dan tampaknya tidak menyurutkan niat anak-anak menjadi joki. Apalagi, keikutsertaan mereka adalah tumpuan keluarga dan dipandang bagian dari budaya. Pandangan keliru ini mesti diluruskan. Eksploitasi anak pun harus dihentikan.
Suatu hari di salah satu arena pacuan kuda di Kota Bima, tampak seorang anak mengenakan helm bertuliskan ”Bintang Sila” sembari memegangi cambuk kuda. Hampir seluruh bagian wajahnya ditutupi kain hitam. Sepintas, dia menyerupai pahlawan berkuda, Zorro.
Anak itu kemudian menunggangi seekor kuda yang sedang bertingkah. Dia memegangi lehernya erat-erat. Terlihat dua orang dewasa yang sedang menahan pintu start di bagian depan dan belakang kuda.
Begitu pintu dibuka, dia dan kudanya melaju kencang. Sorak penonton mengiringi laju mereka yang langsung memimpin balapan.
Anak itu bernama Sila. Dia adalah salah satu joki cilik tersohor di Bima. Usianya baru tujuh tahun dan tubuhnya kurus. ”Sudah tiga kali saya jatuh. Saya tidak pernah (merasa) sakit dan tidak pernah menangis,” katanya.
Potret Sila tersebut adalah cuplikan awal dari film dokumenter berjudul Riders of Destiny karya Michael Niermann. Film berdurasi sekitar 25 menit itu bercerita tentang joki cilik di Nusa Tenggara Barat (NTB) yang rela bertaruh nyawa demi menghidupi anggota keluarganya.
Tak terkecuali Sila yang merupakan generasi ke-10 dari joki pacuan kuda. Dalam film ini, ayah Sila berkata, ”Setelah ada Sila, saya kini tidak perlu lagi bekerja keras mencari uang. Bahkan, sebulan saya bisa makan hanya dari pendapatannya.”
Sejak berusia tiga tahun, Sila sudah dilatih oleh ayahnya. Awalnya, dia dilatih menunggangi kuda di pantai. Beranjak besar, tepatnya saat berusia lima tahun, Sila mulai ikut menunggangi kuda di lintasan. Kini, dia telah menjelma sebagai joki cilik yang paling disegani lawan sekaligus digandrungi para pejudi.
Romi Perbawa, fotografer dokumenter yang sejak 2010 banyak mendokumentasikan joki cilik pacuan kuda, mengungkapkan, penghasilan Sila bisa mencapai Rp 9 juta hanya dengan bertanding selama tujuh hari. Namun, pendapatan itu tak sebanding dengan risiko yang Sila hadapi.
”Selama menekuni fotografi pacuan kuda, terhitung ada tiga anak meninggal yang saya ketahui. Setiap pertandingan pasti ada yang terjatuh,” katanya, di Jakarta, Kamis (21/11/2019).
Menurut Romi, dalam satu bulan, setidaknya ada 10 lomba pacuan kuda. Satu anak bisa menaiki kuda hingga 10-15 kali dalam sehari. Padahal, satu lomba saja bisa berlangsung hingga 10 hari. Dalam satu putaran, mereka biasa dihargai hingga Rp 150.000.
”Ada juga yang sistem bon, satu anak hanya boleh menaiki kuda dari satu pemilik. Mereka bisa dihargai hingga Rp 10 juta,” ujarnya.
Namun, satu hal yang belum disadari, karier seorang joki pacuan kuda tidak akan bertahan lama. Saat mereka beranjak remaja, mereka akan digantikan oleh generasi selanjutnya. Padahal, selama ini banyak dari mereka yang menomorduakan sekolah demi menjadi joki.
Sila, misalnya, setidaknya harus meminta izin meninggalkan sekolah selama 100 hari dalam setahun. Sekolah memang mengizinkan. Namun, konsekuensinya, Sila beberapa kali tidak naik kelas.
Meski demikian, keluarga tetap bangga kepada Sila karena keberhasilannya menjadi joki cilik. Sang ibu sering menyemangati anaknya dari pinggir lintasan. Sebelum bertanding pun, keluarga menggelar hajatan di rumah. Mereka berdoa agar Sila diberikan keselamatan. Saat film dibuat, tepatnya pada medio 2016-2018, ibu Sila sedang mengandung. Keluarga berharap agar anak yang lahir adalah laki-laki supaya bisa mengikuti jejak sang kakak.
Bukan budaya
Pemerhati budaya Kota Bima, Dewi Ratna Muchlisa Mandyara, mengatakan, fenomena joki cilik pacuan kuda selama ini selalu berlindung di balik budaya. Padahal, sejarah menunjukkan, joki cilik tak pernah ada di arena pacuan kuda.
Berdasarkan foto-foto pacuan kuda pada tahun 1960-an, tampak joki-joki kuda berasal dari kalangan remaja. Jauh sebelumnya, tepatnya pada 1925, Ratu Wilhelmina merayakan ulang tahunnya dengan mengadakan pacuan kuda. Dewi mengungkapkan bahwa joki pacuan kuda saat itu adalah orang-orang dewasa.
”Pada tahun 1970-1980 baru joki cilik mulai muncul. Hingga saat ini, ukuran joki cilik semakin mengecil. Kemungkinan agar beban kuda menjadi ringan,” ungkapnya.
Sementara itu, kuda Bima memang dikenal sebagai kuda yang kuat. Berdasarkan catatan DF Van Braam Morris yang dibukukan oleh Penerbit Lengger melalui buku DF Van Braam Morris, Kerajaan Bima (1886), disebutkan bahwa kuda Bima merupakan jenis kuda terbaik di Hindia Belanda. Kendati berbadan kecil, kuda Bima adalah kuda yang kuat dan tahan panas.
Ketua Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI) Seto Mulyadi mengingatkan, penyalahgunaan bakat anak, apalagi sampai mempertaruhkan nyawa, bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak.
Oleh karena itu, LPAI meminta agar keterlibatan dan eksploitasi anak pada pacuan kuda dihentikan.
”Selain keterlibatan anak harus dihentikan, hak pendidikan mereka juga harus dipenuhi. Terutama bagi yang sudah berusia 8-9 tahun agar dikejar pendidikannya,” katanya.
Sekretaris Jenderal LPAI Muhammad Joni menambahkan, selain medan yang berbahaya, perlengkapan yang digunakan dalam pacuan kuda juga kurang memadai. Hal ini semakin menambah risiko kecelakaan bagi joki cilik.
”Dengan menjadi joki cilik, mereka juga kehilangan kesempatan untuk tumbuh kembang secara optimal. Padahal, kesempatan itu tidak dapat diulang,” ujarnya.