Aksi radikalisme dan terorisme lintas negara tetap menjadi ancaman global. Faktor pemicu dapat berbeda-beda di setiap negara.
Oleh
ELSA EMIRIA LEBA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Aksi radikalisme dan terorisme lintas negara tetap menjadi ancaman global. Faktor pemicu dapat berbeda-beda di setiap negara. Untuk itu, pemerintah perlu mengidentifikasi jenis insentif yang tepat agar membantu masyarakat melakukan hal yang konstruktif alih-alih destruktif.
Direktur Institut Analisis Kebijakan dan Konflik (IPAC) Sidney Jones mengatakan, ada dua faktor yang mendorong seseorang terlibat dalam radikalisme dan terorisme, yakni faktor pendorong dan penarik. Dalam kasus bergabungnya warga suatu negara sebagai militan di Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS), misalnya, kedua faktor ini bisa muncul.
”Di Indonesia, warga yang bergabung tidak didorong oleh konflik, diskriminasi, persekusi, atau pemerintahan yang represif. Warga kebanyakan justru ’tertarik’ karena nubuat akhir zaman atau keinginan untuk membantu sesama Muslim,” kata Jones dalam Countering and Preventing Violent Extremism and Radicalization-A Danish Perspective di Jakarta, Rabu (20/11/2019).
Jones menyampaikan, sejumlah negara menggunakan pendekatan campuran antara atas-bawah (top-down) dan bawah-atas (bottom-up) dalam menangani warga yang terlibat radikalisme dan terorisme. Dampak keberhasilan strategi itu berbeda-beda.
Beri insentif
Indonesia lebih berhasil ketika menggunakan pendekatan akar rumput langsung melalui warga karena terkendala luasnya wilayah. Semetara negara maju seperti Denmark lebih cocok menggunakan pendekatan atas-bawah, yakni dengan memperbaiki pelayanan sosial masyarakat.
”Negara perlu mengidentifikasi insentif apa yang menarik bagi warga dan menyediakan hal yang sama. Jika alasan bergabung kelompok radikal karena alasan kemanusiaan, berilah anak muda platform untuk bekerja di bidang kemanusiaan yang lebih konstruktif,” ujarnya.
Direktur Pusat Denmark untuk Pencegahan Ekstremisme Karin Ingemann mengatakan, sama seperti Indonesia, negaranya turut menghadapi tantangan yang sama karena sejumlah warganya ikut bergabung dalam NIIS. Setidaknya 250 warga Denmark tercatat telah berangkat untuk menjadi militan NIIS sejak 2012.
”Kami membentuk jaringan di mana pencegahan dan penanganan masalah ekstremisme dilakukan dengan pendekatan multi-agensi. Hal ini tidak mudah karena setiap pihak yang terlibat harus merelakan sebagian kepentingan,” kata Ingemann.
Jaringan pencegahan ekstremisme di Denmark melibatkan, antara lain, berbagai dinas yang menyediakan lapangan pekerjaan, layanan sosial untuk anak usia 18 tahun ke bawah, layanan psikiatri untuk anak usia 18 tahun ke atas, dan layanan pencegahan kejahatan. Jaringan tersebut juga melibatkan penjara nasional dan kepolisian.
Setiap kotamadya di Denmark memiliki info-house atau sebuah kerangka kerja sama antara polisi dan layanan sosial untuk mengidentifikasi pihak-pihak yang terpapar radikalisme. Warga yang mengidentifikasi seseorang terlibat dalam hal yang membahayakan dapat melapor ke info-house.
Penting bagi Indonesia untuk menemukan sistem yang telah ada di masyarakat dan membangun relasi dengan semua badan terkait.
Laporan itu kemudian ditindaklanjuti menggunakan sistem yang telah ada di masyarakat. Jika pihak yang terindikasi radikal merupakan seorang siswa, misalnya, sekolah pun akan dilibatkan untuk mengidentifikasi permasalahan atau penyebab radikalisasi.
”Untuk memiliki pencegahan yang efektif, strategi tersebut harus dibangun di dalam sistem yang sudah ada. Jadi, penting bagi Indonesia untuk menemukan sistem yang telah ada di masyarakat dan membangun relasi dengan semua badan terkait,” ujar Ingemann.
Deputi Bidang Kerja Sama Internasional Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Andhika Chrisnayudhanto mengatakan, selain pendekatan atas-bawah, Pemerintah Indonesia menggunakan pendekatan bawah-atas dalam mengatasi ancaman radikalisme dan terorisme.
”Kami bekerja sama dengan berbagai organisasi sipil. Penyertaan peran masyarakat dalam pencegahan tidak disebut secara spesifik dalam undang-undang sehingga kemitraan melalui kerja sama dengan organisasi sipil penting,” katanya.
Selain itu, pemerintah juga membuat sejumlah program untuk meningkatkan interaksi antarwarga, termasuk dengan pihak yang pernah terpapar radikalisme. Beberapa di antaranya adalah membantu pembentukan pesantren oleh mantan teroris serta mengadakan pertemuan antara mantan teroris dan korban teror.