Di tengah ketidakpastian ekonomi dan ancaman resesi global, UMKM dapat menjadi jaring pengaman sosial. UMKM menjadi solusi bagi pengurangan tenaga kerja, pengangguran, kemiskinan, dan mendorong konsumsi rumah tangga.
Oleh
Hendriyo Widi/Dimas Waraditya Nugraha
·4 menit baca
Forum Statistik Dana Moneter Internasional (IMF) pada 14-15 November 2019 di Washington DC, Amerika Serikat, dibuka dengan seruan kepada dunia untuk memperkuat sektor informal, terutama usaha mikro, kecil, dan menengah atau UMKM. UMKM dinilai mampu menjadi jaring pengaman sosial dan menopang pertumbuhan ekonomi inklusif.
Di tengah ketidakpastian ekonomi dan ancaman resesi global, UMKM menjadi sektor penting untuk terus diperkuat dan ditumbuhkan. UMKM menjadi solusi bagi ancaman pengurangan tenaga kerja, pengangguran, dan kemiskinan, terutama di negara-negara berkembang.
Dalam forum itu, Direktur Pelaksana IMF Kristalina Georgieva mengatakan, pertumbuhan ekonomi sebuah negara sangat bergantung pada sektor informal. Di negara-negara Sub-Sahara Afrika, kontribusi sektor informal terhadap produk domestik bruto (PDB) sebesar 38 persen. Di beberapa negara, sektor tersebut mampu menyerap 90 persen tenaga kerja.
Hal ini menunjukkan sektor informal dapat memberikan pendapatan dan menjadi jaring pengaman sosial. Namun, ini merupakan masalah yang rumit. Tingkat kemiskinan pekerja informal rata-rata dua kali lebih tinggi daripada pekerja formal. Hal itu terjadi karena produktivitas rendah, pendapatan rendah, dan keterbatasan akses ke layanan pemerintah.
UMKM menjadi solusi bagi ancaman pengurangan tenaga kerja, pengangguran, dan kemiskinan, terutama di negara-negara berkembang. Hal ini menunjukkan sektor informal dapat memberikan pendapatan dan menjadi jaring pengaman sosial.
Menurut Georgieva, sektor informal menghasilkan pendapatan pajak yang lebih rendah. Banyak yang menilai hal itu menghambat kemampuan pemerintah membelanjakan program sosial dan investasi. Namun di sisi lain, pekerja informal, yang sebenarnya paling membutuhkan program sosial dan infrastruktur publik, justru mungkin tidak menerima manfaatnya.
IMF melihat ada ketidaksetaraan yang semakin melebar di setiap negara. Ketidaksetaraan itu selalu terkait dengan pertumbuhan ekonomi yang lebih rendah, kurang tahan lama, dan ketidakstabilan keuangan.
Untuk itu, sektor informal perlu terus diperkuat guna mempersempit jurang ketidaksetaraan tersebut. Georgieva berharap sektor itu benar-benar diukur dengan statistik yang tepat agar kebijakan pemerintah bisa lebih tepat sasaran. Kebijakan-kebijakan tersebut misalnya program pinjaman dan pengembangan kapasitas.
”Jika kita tidak dapat mengukur sektor informal, kita tidak dapat mengevaluasi seberapa sebenarnya pertumbuhan ekonomi yang inklusif itu. Jadi, kita mungkin tidak dapat menentukan apakah kebijakan berfungsi sebagaimana mestinya,” kata Georgieva.
Bagaimana Indonesia?
Sektor informal, terutama UMKM, merupakan tulang punggung perekonomian Indonesia. Saat krisis moneter 1997-1998, sektor tersebut menjadi penyelamat ekonomi Indonesia karena mampu menyerap tenaga kerja dan menggerakkan konsumsi rumah tangga.
Di tengah ketidakpastian ekonomi dan bayang-bayang resesi global, pemerintah menegaskan akan memperluas akses pembiayaan murah bagi UMKM. Pemerintah akan menurunkan suku bunga kredit usaha rakyat (KUR) dari 7 persen menjadi 6 persen mulai 1 Januari 2020.
Penurunan suku bunga KUR diharapkan dapat meningkatkan kontribusi UMKM terhadap pertumbuhan ekonomi. Untuk itu, selain menurunkan suku bunga, mulai awal tahun depan batas atas KUR mikro juga akan ditingkatkan dari Rp 25 juta menjadi Rp 50 juta per debitor. Adapun KUR perdagangan dari Rp 100 juta menjadi Rp 200 juta per debitor.
Bersamaan dengan hal itu, pemerintah juga menaikkan plafon realisasi penyaluran KUR sebanyak 36 persen, dari Rp 140 triliun menjadi Rp 190 triliun. Menurut rencana, plafon realisasi penyaluran KUR terus meningkat setiap tahun hingga Rp 325 triliun pada 2024.
Asosiasi Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah Indonesia (Akumindo) mencatat, saat ini, UMKM menyerap 95 persen tenaga kerja dan menyumbang sekitar 64 persen PDB. Di tengah perkembangan ekonomi digital, UMKM juga mampu memperluas pemasaran di dalam dan luar negeri melalui e-dagang. UMKM juga memiliki alternatif pembiayaan untuk memperkuat modal melalui teknologi finansial (tekfin).
Bahkan, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Bursa Efek Indonesia membuka peluang bagi UMKM melantai di bursa. Dengan begitu, UMKM dapat memiliki alternatif sumber pendanaan baru tidak hanya dari perbankan dan tekfin.
Akses usaha berskala kecil-menengah menuju pasar modal terbuka sejak OJK menerbitkan regulasi yang mengatur layanan urun dana melalui penawaran saham berbasis teknologi informasi (equity crowdfunding), melalui Peraturan OJK Nomor 37/POJK.04/2018.
Walau regulasi sudah ada sejak 2018, OJK baru memberikan izin operasional pada satu perusahaan penyedia layanan tekfin di bidang layanan urun dana pada September 2019. Izin ini diberikan kepada PT Santara Daya Inspiratama yang berbasis di Kabupaten Sleman, DI Yogyakarta.
Otoritas Jasa Keuangan dan Bursa Efek Indonesia membuka peluang bagi UMKM melantai di bursa. Dengan begitu, UMKM dapat memiliki alternatif sumber pendanaan baru tidak hanya dari perbankan dan tekfin.
Vice President Business Department Santara Krishna T Wijaya mengatakan, Santara telah menerbitkan saham dari 12 unit usaha, dengan nilai penyaluran dana mencapai Rp 9 miliar. Ke-12 perusahaan itu bergerak di sejumlah bidang, antara lain makanan-minuman, perikanan, peternakan, pertanian, dan kewirausahaan sosial. Adapun jumlah investor tercatat telah mencapai 100.000 orang.
Salah satu merek kuliner dengan banyak cabang di sejumlah kota di Indonesia, Sop Ayam Pak Min Klaten, juga menerbitkan saham di Santara, dengan total nilai emisi mencapai Rp 547 juta. Investasi pada saham kuliner ini dapat dimulai dari Rp 5.000.
Dari seluruh penerbit, total nilai saham terbesar diterbitkan oleh perusahaan penangkapan dan perdagangan ikan laut PT Megah Lautan Utama yang mencapai Rp 1,5 miliar. Investor dapat membeli saham perusahaan ini mulai dari Rp 100.000.
”Saat ini ada sekitar 3.000 perusahaan yang mendaftar untuk bisa menerbitkan saham. Tetapi, proses seleksi Santara sangat hati-hati, semua aspek kami perhatikan untuk melindungi pemodal dan menjaga kredibilitas kami sebagai penyelenggara,” ujar Krishna.