Perluasan Akses KUR dan Bayang-bayang Mengetatnya Likuiditas Bank
Pemerintah akan menurunkan suku bunga KUR menjadi 6 persen dan meningkatkan plafonnya menjadi Rp 190 triliun pada 2020. Di sisi lain, likuiditas perbankan juga tengah mengetat. Apakah perbankan akan terbebani?
Oleh
Dimas Waraditya Nugraha
·4 menit baca
Masalah permodalan acap kali menjadi tantangan pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah atau UMKM saat mulai merintis usaha. Padahal, kemampuan UMKM menyerap tenaga kerja, bila terus dipacu, dapat menjadi andalan penyumbang produk domestik bruto bagi Indonesia.
Demi memacu usaha mikro, awal pekan lalu, pemerintah melalui Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menegaskan akan memperluas akses pembiayaan murah. Pemerintah akan menurunkan suku bunga Kredit Usaha Rakyat (KUR) dari 7 persen menjadi 6 persen mulai 1 Januari 2020.
Penurunan suku bunga KUR diharapkan dapat meningkatkan kontribusi UMKM terhadap pertumbuhan ekonomi. Untuk itu, selain menurunkan suku bunga, mulai awal tahun depan batas atas KUR mikro juga akan ditingkatkan dari Rp 25 juta menjadi Rp 50 juta per debitor. Adapun KUR perdagangan dari Rp 100 juta menjadi Rp 200 juta per debitor.
Bersamaan dengan hal itu, pemerintah juga menaikkan plafon realisasi penyaluran KUR sebanyak 36 persen, dari Rp 140 triliun menjadi Rp 190 triliun. Menurut rencana, plafon realisasi penyaluran KUR terus meningkat setiap tahun hingga Rp 325 triliun pada 2024.
Ketua Umum Asosiasi Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah Indonesia (Akumindo) M Ikhsan Ingratubun menyambut baik rangsangan pemerintah untuk memacu perputaran bisnis UMKM. Upaya ini dapat semakin mengoptimalkan peran UMKM.
”Saat ini, UMKM menyerap 95 persen tenaga kerja dan menyumbang sekitar 64 persen produk domestik bruto (PDB) Indonesia. Kekuatan pasar domestik adalah UMKM,” kata Ikhsan kepada Kompas, Sabtu (16/11/2019).
Data Kementerian Koordinasi Bidang Perekonomian menunjukkan, realisasi penyaluran KUR bagi 3,62 juta debitor per akhir Agustus 2019 sebesar Rp 101,714 triliun. Penyaluran ini sudah 72,65 persen dari target realisasi penyaluran KUR 2019 yang sebesar Rp 140 triliun.
Gagal bayar
Kendati secara umum rasio kredit bermasalah dari peyaluran KUR masih relatif rendah, sejumlah bank penyalur menghadapi persoalan serius terhadap segmen pembiayaan ini. Hal itu karena tingkat gagal bayarnya sektor tersebut cukup tinggi.
Berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan (OJK), penyaluran kredit perbankan per Agustus 2019 sebesar Rp 1.035 triliun. Dari jumlah itu, kredit macetnya Rp 42,779 triliun. Dari seluruh KUR yang disalurkan, terdapat Rp 2,03 triliun kredit bermasalah yang tersebar di 19 bank penyalur.
Rasio kredit bermasalah (NPL) perbankan per Agustus 2019 sebesar 2,56 persen, lebih rendah dari periode sama tahun lalu yang sebesar 2,73 persen. Sementara NPL segmen KUR sebesar 1,32 persen.
Senior Faculty Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia Trioksa Siahaan menilai, selain menurunkan suku bunga dan meningkatkan plafon KUR, pemerintah juga perlu mengevaluasi secara ketat perbankan swasta yang ikut berkontribusi dalam penyaluran KUR.
”Penerapan manajemen risiko yang longgar serta kurangnya pemahaman pasar KUR berpotensi membuat penyaluran kredit bermasalah,” ujarnya.
Pemerintah perlu mengevaluasi secara ketat perbankan swasta yang ikut berkontribusi dalam penyaluran KUR.
Trioksa menjelaskan, pasar KUR memiliki karakter berbeda dengan segmentasi di atasnya, seperti kredit korporasi. Dalam menyalurkan KUR, bank perlu mengenal lebih dalam karakter debitor guna menjaga kualitas kredit yang tidak memerlukan agunan.
Sambutan perbankan
Kelompok perbankan Bank Umum Kelompok Usaha IV menyambut positif penurunan suku bunga KUR. Mereka juga tidak khawatir dengan sumber likuiditas ataupun risiko kredit dari segmen ini.
Menurut SVP Micro Development and Agent Banking PT Bank Mandiri (Persero) Tbk, Zeldo Faly, Bank Mandiri berkomitmen menurunkan suku bunga KUR sesuai kebijakan pemerintah. Penurunan suku bunga KUR dapat berdampak positif menaikkan volume pembiayaan.
”Kami melihat program KUR sebagai program yang memang memberikan efek bagus untuk masyarakat sehingga secara prinsip kami siap,” ujarnya.
Penurunan suku bunga KUR, lanjut Zeldo, akan menambah jumlah debitor dan mendorong peningkatan akses pembiayaan untuk modal kerja ataupun investasi. Penurunan ini juga akan mempermudah bank menawarkan KUR kepada masyarakat yang selama ini kesulitan mendapatkan akses pembiayaan.
Penurunan suku bunga KUR akan menambah jumlah debitor dan mendorong peningkatan akses pembiayaan untuk modal kerja ataupun investasi.
Sepanjang triwulan III-2019, Bank Mandiri telah menyalurkan KUR sebesar Rp 17,45 triliun kepada 225.825 debitor. Capaian ini setara dengan 69,8 persen jatah penyaluran KUR perseroan sepanjang 2019. Untuk mendorong serapan KUR ke sektor produksi, Bank Mandiri terus mengoptimalkan kerja sama dengan nasabah korporasi yang dapat menjadi off taker yang bergerak di sektor produksi.
Adapun General Manager Divisi Bisnis Usaha Kecil PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk Bambang Setyatmojo juga menyambut baik rencana pemerintah dalam menurunkan suku bunga dan menambah plafon KUR. Dengan bunga KUR yang kian murah, muncul harapan pengusaha di sektor UMKM akan semakin cepat berkembang.
Sepanjang Januari-September 2019, BNI telah menyalurkan KUR sebesar Rp 14,4 triliun atau setara dengan 90 persen dari jatah penyaluran KUR tahun ini sebesar Rp 16 triliun.
”Dengan tren penyaluran dan kualitas yang terjaga itu, BNI sebenarnya telah mengusulkan tambahan kuota dan masih menunggu persetujuan penambahan plafon KUR,” ujarnya.
Per Agustus 2019, Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) mencatat rasio pinjaman terhadap simpanan (LDR) yang mencerminkan likuiditas perbankan sebesar 94,04 persen. LDR itu meningkat dari Juli 2019 yang sebesar 93,81 persen.
LPS memperkirakan, likuiditas perbankan akan semakin mengetat. LDR perbankan pada akhir 2019 diperkirakan sebesar 96,08 persen dan 2020 sebesar 100,6 persen. LDR itu berada di atas ketentuan batas atas Rasio Intermediasi Makroprudensial Bank Indonesia yang sebesar 94 persen.