Puluhan musisi dari 11 negara yang berkolaborasi menyuguhkan orkestra unik rasa “timur” di Gedung Ksirarnawa, Taman Budaya, Denpasar, Bali, Selasa (12/11/2019) malam.
Oleh
Aloysius Budi Kurniawan
·4 menit baca
Tepuk tangan penonton membahana di Gedung Ksirarnawa, Taman Budaya, Denpasar, Bali, Selasa (12/11/2019) malam. Mereka terkesima dengan penampilan puluhan musisi dari 11 negara yang berkolaborasi menyuguhkan orkestra unik rasa “timur”.
Itulah penampilan para musisi dari negara-negara di Asia Tenggara, dan Korea Selatan yang tergabung dalam Asia Traditional Orchestra (ATO). ATO terbentuk pada Mei 2009 pada acara ASEAN-Republic of Korea Commemorative Summit di Pulau Jeju, Korea Selatan. Sejak saat itulah, mereka mulai mengolaborasikan aneka macam musik-musik tradisional untuk dikawinkan dalam sebuah harmoni orkestra khas negara-negara timur.
Menyaksikan orkestra barat dengan alat gesek, tiup, dan perkusinya mungkin sudah biasa dinikmati banyak orang. Namun, ATO mencoba mendobrak hegemoni konsep orkestra tersebut dengan menyuguhkan warna orkestra yang berbeda.
Maka, sejak 2009 berkumpullah para musisi dari Asia Tenggara, mulai dari Brunei Darussalam, Kamboja, Myanmar, Laos, Indonesia, Malaysia, Vietnam, Singapura, Thailand, Filipina, ditambah satu negara di luar Asia Tenggara, yaitu Korea Selatan. Mereka membawa alat-alat musik tradisional masing-masing bermusik bersama dalam konsep orkestra.
Sejak 2009 berkumpullah para musisi dari Asia Tenggara ditambah Korea Selatan. Mereka membawa alat-alat musik tradisional masing-masing bermusik bersama dalam konsep orkestra.
Pada konser di Bali tersebut, musisi Brunei Darussalam Mohammad Ubaidillah dan Mohd Norakmal memainkan Gambus dan Gendang Labik. Musisi Kamboja Hak Tokla dan Choun Chanthon memainkan Roneat Aet dan Tror So Tauch. Musisi Myanmar Tun Wunna Soe dan Khin Myo Maw Lwin membawa Pattala dan Saung. Adapun musisi Filipina Elaine Juliet Cajucom serta Lilymae Montano memainkan Bandurria dan Tagungguan.
Semua musisi dari Asia Tenggara membawa alat musik tradisional masing-masing, termasuk empat pemain perkusi Korea Selatan yang memainkan seperangkat perkusi Samulnori yang dimainkan dengan tempo super cepat. Dari Indonesia tampil musisi Marsjaf Achmad Prijana Bratakusuma pada kendang dan Lia Nugrahati pada gambang.
Di Indonesia, bulan ini ATO tampil tiga kali di Jakarta dan Bali. Konser pertama mereka digelar pada Rabu (6/11/2019) di Balai Sarbini, kemudian Kamis (7/11/2019) di Hall ASEAN, Jakarta, dan Selasa (12/11/2019) malam di Gedung Ksirarnawa - Art center Denpasar, Bali.
Di Bali, ATO diperkuat 33 musisi orkestra, dua konduktor, dua penyanyi, enam pemain gamelan Bali, tiga penari Papua, empat penari Bali, dan sembilan penari Kecak. Sebagai pembuka, para mahasiswa Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar menyuguhkan tarian selamat datang yang diiringi permainan gamelan 30-an mahasiswa.
Setelah beberapa kata sambutan, ATO langsung menampilkan lagu tradisional Indonesia yang dimainkan secara medley di bawah panduan konduktor Indonesia, Vonty Sitrona Nahan. Dari nuansa Indonesia, penonton kemudian diajak menikmati warna musik Korea Selatan di bawah panduan konduktor Han Sang Il yang menyuguhkan dua lagu, “Sail off The Boat” dan “My Love Mongryong”.
Berikutnya, Vonty kembali naik ke podium mengajak para musisi memainkan repertoar dua lagu tradisional asal Papua dan Bali, yaitu “Yamko Rambe” serta “Janger”. Suguhan dua lagu ini menjadi semakin menarik dengan hadirnya tiga penari Papua serta penampilan gamelan Bali dari ISI Denpasar dengan tari kecaknya.
Di ujung konser, Han Sang Il kembali memandu para musisi untuk memainkan komposisi “Shinmodeum” yang menampilkan permainan rampak empat pemain perkusi Korea Selatan, Jang Hyun Jin, Kim HanBok, Shin Chan Sun, dan Park An Ji. Kekompakan yang dipadu dengan kecepatan permainan perkusi mereka disambut tepuk tangan meriah para penonton. Rangkaian konser ini akhirnya ditutup lagu “One Asia” yang merupakan gabungan lagu yang mewakili budaya setiap negara ASEAN serta Korea Selatan.
Rangkaian konser ini akhirnya ditutup lagu “One Asia” yang merupakan gabungan lagu yang mewakili budaya setiap negara ASEAN serta Korea Selatan.
“Kami bertemu baru beberapa hari. Di Jakarta kami berlatih tiga hari dan di Bali juga tiga hari. Di dua kota ini, kami mencoba berkolaborasi dengan para pemain gamelan Bali,” papar Hong Sung Yeon Produser ATO.
Orkestra gamelan Bali
Dalam konser di Jakarta dan Bali, pada beberapa repertoar, ATO mencoba melebur bersama gamelan Bali yang dimainkan para mahasiswa Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar. Gamelan merupakan bentuk orkestra tersendiri yang memiliki tingkat kerumitan yang sangat kompleks seperti halnya orkestra barat. Gamelan merupakan perpaduan dari berbagai macam alat musik, mulai dari pukul, tiup, gesek, hingga petik dengan tangga nada pentatonik.
Penyelenggaraan konser ATO turut didukung Korean Foundation yang memfasilitasi sejumlah tempat di Jakarta sebagai lokasi pertunjukan. Sedangkan Indonesia melalui Direktorat Warisan dan Diplomasi Budaya, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan memfasilitasi sejumlah lokakarya di Jakarta dan Bali.
“Dalam konser di Jakarta dan Bali ini kami mau menunjukkan bahwa Indonesia sangat kaya akan keberagaman seni budaya sehingga momen ini merupakan kesempatan untuk memperkenalkan dan menyajikan sekelumit dari keberagaman Indonesia,” tambah Direktur Jenderal Kebudayaan Hilmar Farid.
Dalam konser di Jakarta dan Bali ini kami mau menunjukkan bahwa Indonesia sangat kaya akan keberagaman seni budaya.
Sejak pertama kali dibentuk 2009, orkestra rasa “timur” ATO memiliki visi mempromosikan pertukaran kebudayaan antara musisi dan seniman tradisi di kawasan Asia serta menggelar berbagai macam proyek pelestarian dan pengembangan musik tradisi di kawasan Asia. Lewat proyek bersama ini, orkestra rasa “timur” diharapkan bisa semakin dikenal di dunia.