Mekanisme Pemilihan Ketua Umum Golkar Diperdebatkan
Kubu pendukung calon ketua umum Golkar Bambang Soesatyo menginginkan pemilihan dengan pemungutan suara. Adapun kubu Airlangga Hartarto menyatakan pemilihan Airlangga secara aklamasi merupakan suara Rapimnas Golkar.
Oleh
Kurnia Yunita Rahayu
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Persaingan merebut kursi Ketua Umum Golkar kian hangat. Kubu pendukung Bambang Soesatyo atau kerap disapa Bamsoet menuntut mekanisme pemungutan suara ditempuh untuk memilih ketua umum. Ini mematahkan suara kubu Ketua Umum Golkar petahana Airlangga Hartarto yang ingin Airlangga dipilih kembali dengan cara aklamasi.
Ketua Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Golkar sekaligus anggota tim juru bicara calon ketua umum Golkar Bamsoet, Andi Sinulingga, menegaskan, kubu Bamsoet menolak wacana pemilihan ketua umum secara aklamasi yang digaungkan Airlangga Hartarto.
”(Pemilihan secara aklamasi) itu bertentangan dengan anggaran dasar dan anggaran rumah tangga (AD/ART) partai,” kata Andi dalam jumpa pers di Jakarta, Jumat (14/11/2019).
Pada Pasal 50 Ayat (1) AD/ART Partai Golkar disebutkan bahwa pemilihan ketua umum dewan pimpinan pusat, ketua dewan pimpinan daerah provinsi, ketua dewan pimpinan daerah kabupaten/kota, ketua pimpinan kecamatan, dan ketua pimpinan desa/kelurahan atau sebutan lain dilaksanakan secara langsung oleh peserta musyawarah.
Selanjutnya Ayat (2) menyebutkan, pemilihan dilaksanakan melalui tahapan penjaringan, pencalonan, dan pemilihan.
Langsung pada Pasal 50 itu diartikan, mekanisme pemilihan dilakukan dengan pemungutan suara. Kemudian panitia pelaksana musyawarah nasional (munas) Golkar seharusnya sudah membuka proses penjaringan dan pencalonan sebelum munas. Namun, hingga kurang dari satu bulan jelang munas, kedua proses itu belum dilaksanakan.
”Keinginan kami tidak bisa ditawar, kami ingin ketua umum dipilih dengan voting,” ujar Andi.
Keinginan serupa juga datang dari pengurus cabang Partai Golkar, salah satunya Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) II Partai Golkar Aceh Selatan Teuku Mudasir. ”Kami tidak ingin ada aklamasi karena kami mendengar ada sejumlah kader terbaik lainnya yang juga akan maju menjadi calon ketua umum,” kata Mudasir.
Selain Airlangga dan Bambang Soesatyo, ada dua kader Golkar lain yang mereka dengar bakal maju dalam pemilihan ketua umum di Munas Golkar, yaitu Ketua DPP Golkar Indra Bambang Utoyo dan Ridwan Hisjam. Ini sebelumnya dibenarkan oleh Sekretaris Jenderal Golkar Lodewijk Freidrich Paulus.
Meski pernah dilakukan, pemilihan ketua umum secara aklamasi bukan tradisi Golkar. Bahkan, pernah terjadi saat aklamasi ditempuh, justru memicu konflik.
Aklamasi pertama kali dilakukan saat memilih Aburizal Bakrie sebagai Ketua Umum Partai Golkar pada 2009. Keterpilihan Aburizal memunculkan gesekan dan perpecahan internal antara kubu Aburizal dan Agung Laksono. Kedua, pemilihan secara aklamasi terjadi ketika memilih Airlangga untuk menggantikan Setya Novanto pada Musyawarah Nasional Luar Biasa (Munaslub) 2017.
Andi mengatakan, pengulangan pemilihan secara aklamasi akan menimbulkan kekecewaan dan kegaduhan di antara kader. Mereka ingin sejumlah calon potensial berkontestasi secara terbuka.
Menurut dia, semua calon layak untuk berkontestasi. Setiap calon memiliki pendukung masing-masing. Bambang diklaim sudah mengantongi dukungan dari 383 ketua DPD yang tersebar di 514 kabupaten/kota. ”Hampir di semua provinsi ada dukungan untuk Pak Bamsoet,” kata Andi.
Suara rapimnas
Wakil Sekretaris Jenderal Partai Golkar yang juga bagian dari tim pemenangan Airlangga, Christina Aryani, mengatakan, setiap kader memang berhak ikut berkontestasi dalam munas.
Namun, dalam Rapat Pimpinan Nasional (Rapimnas) Golkar, Kamis (14/11/2019), telah mengemuka keinginan dari banyak perwakilan DPD provinsi, Organisasi Kemasyarakatan (Ormas) Hasta Karya, dan ormas sayap, untuk memilih kembali Airlangga sebagai ketua umum dengan cara aklamasi.
”(Pemilihan secara aklamasi) ini merupakan mayoritas aspirasi dalam pandangan umum dalam rapimnas. Akan diterapkan atau tidak, kita lihat nanti di dalam munas,” kata Christina.
Menurut dia, musyawarah mufakat merupakan mekanisme pengambilan keputusan yang diatur dalam AD/ART. Jika musyawarah itu tidak mencapai kemufakatan, barulah mekanisme pemungutan suara ditempuh.