Lembaga pemasyarakatan atau lapas tak membatasi ruang gerak narapidana terorisme. Alih-alih menjadi tempat untuk mengisolasi, penjara justru menjadi lokasi paling ideal untuk menyebarkan paham radikal.
Oleh
I GUSTI AGUNG BAGUS ANGGA PUTRA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Lembaga pemasyarakatan (lapas) tak membatasi ruang gerak narapidana terorisme. Alih-alih menjadi tempat untuk mengisolasi mereka, penjara justru menjadi lokasi paling ideal penyebaran paham radikal.
Pengamat intelijen dan terorisme dari Universitas Indonesia, Ridwan Habib, Jumat (15/11/2019), di Jakarta, menjelaskan, penjara tak menjadi penghalang bagi narapidana kasus terorisme (napiter) menyebarkan paham radikal.
Dia mengatakan, penjara justru menjadi lokasi yang ideal sebagai tempat merekrut dan memberikan pembelajaran mengenai terorisme.
Sering terjadi, narapidana kasus pidana umum setelah ditangkap dan dipenjara kemudian tiba-tiba bisa merakit bom. Itu bisa terjadi karena mereka belajar merakit bom dari napiter yang sudah dipenjara.
”Napiter bisa merekrut narapidana kasus umum. Bisa juga merekrut pengunjung atau simpatisan yang menjenguk,” ujar Ridwan sambil mengacu pada cara pengebom bunuh diri di Mapolrestabes Medan, Rabbial Muslim Nasution, yang terpapar paham radikal.
Kepala Biro Penerangan Masyarakat Mabes Polri Brigadir Jenderal (Pol) Dedi Prasetyo menyampaikan, Rabbial Muslim Nasution terpapar radikalisme dari istrinya, DA.
Berdasarkan temuan tim Densus 88 dan Direktorat Siber Badan Reserse dan Kriminal (Bareskrim) Polri, DA cukup aktif berkomunikasi di media sosial dengan narapidana terorisme berinisial I yang saat ini mendekam di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Kelas II Wanita Medan. Tak sebatas lewat media sosial, mereka juga kerap bertemu di lapas.
”Di dalam jejaring komunikasi media sosialnya, mereka merencanakan aksi terorisme di Bali. Sedang didalami dan dikembangkan. Apakah Rabbial dalam melakukan serangannya ini memiliki jejaring, baik terstruktur maupun nonstruktur,” ujar Dedi.
Contoh lain bisa dilihat pada insiden bom bunuh diri di Gereja Katolik Santa Maria Tak Bercela di Surabaya, Jawa Timur, Mei 2019. Pelaku pengeboman, Puji Kuswati (43), berulang-ulang mengunjungi lapas di Lamongan dan Tuban. Ia beberapa kali meminta petunjuk atau berkonsultasi kepada napiter di lapas.
”Jadi, jangan dianggap kalau orang sudah ditangkap dan dipenjara, itu sudah selesai, tidak. Di dalam lapas, mereka justru menjadi lebih kuat,” kata Ridwan.
Leluasa merekrut
Ridwan menyebutkan, lapas kini justru menjadi tempat yang paling aman dan ideal untuk merekrut dan menyebarkan paham radikal. Hal itu disebabkan lemahnya pengawasan sehingga napiter bisa leluasa merekrut narapidana. Ketika terpapar radikalisme di balik penjara, narapidana umum kemudian ”naik kelas” menjadi teroris.
Untuk mengantisipasi, Ridwan berpendapat, perlu ada reformasi sistem pemenjaraan napiter. Opsi yang bisa diambil ada dua. Pertama, mengumpulkan napiter di satu lapas. Harapannya, napiter tidak bisa merekrut calon teroris baru.
Kedua, pembatasan kunjungan kepada napiter. Sistem ini, kata Ridwan, sudah diterapkan di Lapas Nusakambangan. Di sana, satu narapidana hanya menempati satu sel. Upaya tersebut bisa membatasi ruang gerak para napiter.
”Memang harus ada evaluasi sistem pemenjaraan napiter kalau ingin berhasil,” ujarnya.
Direktur Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Sri Puguh Budi Utami tidak dapat dihubungi untuk dikonfirmasi perihal usulan evaluasi sistem pemenjaraan napiter.
Begitu pula dengan Kepala Bagian Humas Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Ade Kusmanto yang tak menjawab pertanyaan via pesan singkat.