Komitmen Pemerintah Selesaikan Kasus Semanggi I Kembali Dipertanyakan
Keluarga korban peristiwa Semanggi I dan sejumlah elemen masyarakat sipil kembali mempertanyakan komitmen pemerintah menyelesaikan kasus pelanggaran HAM tersebut.
Oleh
DHANANG DAVID ARITONANG/KURNIA YUNITA RAHAYU
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Keluarga korban peristiwa Semanggi I dan sejumlah elemen masyarakat sipil kembali mempertanyakan komitmen pemerintah menyelesaikan kasus pelanggaran HAM tersebut. Sudah 21 tahun berlalu, hingga saat ini belum diketahui siapa dalang yang harus bertanggung jawab atas peristiwa ini.
Maria Catarina Sumarsih, ibu dari Benardinus Realino Norma Irawan alias Wawan, meminta agar Jaksa Agung bisa segera kembali memproses sejumlah kasus pelanggaran HAM yang masih mandek di Kejaksaan. Salah satu kasusnya adalah peristiwa Semanggi I yang terjadi pada 11-13 November 1998.
”Saya berharap Jaksa Agung bisa menindaklanjuti berkas penyelidikan yang telah selesai dilakukan Komnas HAM. Sampai berapa presiden lagi hingga kasus pelanggaran HAM berat bisa diselesaikan?” ucapnya saat konferensi pers Peringatan 21 Tahun Tragedi Semanggi I di Kampus Unika Atma Jaya, Jakarta, Rabu (13/11/2019).
Tepat 21 tahun lalu, Wawan yang merupakan mahasiswa Atma Jaya tewas ditembak ketika mengikuti aksi demonstrasi menolak pelaksanaan Sidang Istimewa MPR 1998 dengan sejumlah agenda yang masih kental dengan aroma Orde Baru. Selain itu, ia bersama ribuan mahasiswa lain juga menolak dwifungsi ABRI sehingga bentrokan antara Pasukan Pengamanan Masyarakat Swakarsa (Pamswakarsa) dan peserta aksi tak terelakkan.
Korban tewas akibat aksi ini berjumlah 18 orang, yang terdiri dari mahasiswa, pelajar, aparat, dan masyarakat sipil. Sebelumnya, Komnas HAM telah melakukan penyelidikan pro justicia dan menetapkan kasus tersebut sebagai pelanggaran HAM berat yang perlu diselesaikan Kejaksaan Agung.
”DPR periode 1999-2004 memutuskan bahwa kasus tersebut bukan pelanggaran HAM berat. Namun, Komisi III DPR periode 2004-2019 membatalkan keputusan tersebut dan kembali menetapkan bahwa kasus Semanggi merupakan pelanggaran HAM berat,” ucap Sumarsih.
Manajer Kampanye Amnesty International Indonesia Puri Kencana Putri menjelaskan, pada 31 Mei 2018, Presiden Joko Widodo telah bertemu dengan para keluarga korban pelanggaran HAM, termasuk Sumarsih. Namun, hingga saat ini belum ada tindak lanjut dari Presiden untuk menyelesaikan kasus tersebut.
”Pertemuan tersebut merupakan iktikad baik Presiden untuk mau menyelesaikan kategori pelanggaran HAM berat. Jangan sampai hal itu hanya sebatas retorika,” katanya.
Selain itu, Puri pun menuturkan, perlu ada akuntabilitas dalam penyelesaian kasus HAM di masa lalu. Menurut ia, Jaksa Agung juga perlu membuat peta jalur penyelesaian kasus, bisa dengan mencari keterangan dari para pelaku yang masih hidup atau dari kesaksian keluarga korban.
Kepala Divisi Pemantauan Impunitas Kontras Dimas Bagus Arya Saputra menuturkan, Komisi III DPR perlu segera mengadakan pertemuan dengan Jaksa Agung dan Komnas HAM untuk membahas penyelesaian kasus HAM masa lalu. Menurut ia, Jaksa Agung perlu lebih progresif agar bisa menindaklanjuti penyelidikan Komnas HAM ke tingkat penyidikan.
”Pemerintah Jokowi perlu memegang teguh poin-poin yang ada dalam Nawacita, termasuk meneruskan poin-poin yang belum terselesaikan dalam Nawacita I pada periode lalu,” ucapnya.
Sementara itu, Jaksa Agung ST Burhanuddin mengungkapkan, masih ada 12 perkara pelanggaran HAM yang ditangani Kejaksaan, tetapi belum mampu diselesaikan, salah satunya kasus Semanggi I. Menurut dia, masih ada sejumlah kendala yang membuat kasus tersebut mandek di kejaksaan.
”Kami telah mempelajari dan meneliti hasil penyelidikan Komnas HAM. Hasilnya, baik persyaratan formal maupun materiil belum terpenuhi secara lengkap,” katanya.
Burhanuddin menyatakan, sulit mengumpulkan bukti pelanggaran HAM di masa lalu karena kejadian sudah terlampau lama. Selain itu, penyelesaian sejumlah perkara juga terkendala karena pengadilan HAM ad hoc belum dibentuk.
Sebelumnya, Komisioner Komnas HAM, Choirul Anam, mengatakan, penyelesaian kasus HAM perlu menjadi prioritas Jaksa Agung dalam 100 hari kerja setelah dilantik Presiden. Jika Burhanuddin tak mampu menyelesaikannya, ada baiknya Presiden mengganti Jaksa Agung dengan sosok lain yang lebih kredibel.
”Selain itu, perlu ada political will dari Presiden yang perlu memerintahkan agar Jaksa Agung bisa memprioritaskan penyelesaian kasus HAM. Jika Presiden saja tidak memiliki keinginan, hal tersebut akan sulit direalisasikan oleh Jaksa Agung yang baru,” ujarnya.
Secara terpisah, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD tidak mau menjawab pertanyaan wartawan di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, terkait penyelesaian kasus Semanggi I. Padahal, seusai ia dilantik menjadi Menko Polhukam beberapa pekan lalu, ia berjanji menuntaskan kasus-kasus pelanggaran HAM yang masih menjadi pekerjaan rumah pemerintah.