Benalu di Tenda Bencana
Seperti benalu di tanaman inangnya, begitulah tindak kejahatan yang terjadi saat bencana. Para pelaku kejahatan tidak segan tetap melancarkan aksinya saat bencana alam terjadi.
Hidup darurat di tenda pengungsian atau hunian sementara tidak lepas dari masalah sosial. Beberapa problem sosial yang muncul dari balik tenda bencana adalah pembagian bantuan yang kurang merata, akses air bersih yang terbatas, hingga kriminalitas di tenda penyintas. Aksi kejahatan di sekitar lokasi pengungsian seperti pencurian, penjarahan, dan kekerasan.
Ada cerita tersembunyi dari masyarakat Lombok setelah gempa mengguncang Pulau Seribu Masjid itu. Konon, saat warga meninggalkan rumah karena mengungsi, terdapat jejak-jejak telapak tangan di tembok dan langit-langit rumah mereka. Jejak-jejak ini memiliki ukuran yang bervariasi dan umumnya tidak wajar untuk ukuran manusia.
Peristiwa yang tidak lazim itu menimbulkan banyak spekulasi di masyarakat. Bagi yang percaya hal mistis, itu adalah jejak para roh penghuni Gunung Rinjani dan mengungsi masuk ke dalam rumah mereka. Bagi yang berpikiran logis, jejak itu adalah perbuatan orang-orang iseng yang mau menakut-nakuti warga.
Arast Wahyu (22), warga yang tinggal di Montong Dao, Lombok Timur, mengakui bahwa rumahnya juga “ditinggali” jejak-jejak seukuran telapak tangan bayi. Dirinya sebagian meyakini bahwa itu adalah ulah orang-orang iseng, namun ia juga tidak menampik kemungkinan adanya hal mistis yang terjadi di rumahnya.
Kabar yang simpang siur itu akhirnya terpecahkan ketika Polda Nusa Tenggara Barat turun menyelidiki. Berdasarkan laporan, jejak-jejak itu merupakan rekayasa sejumlah orang jahat.
Modusnya, mereka membuat resah warga, lalu warga yang resah akan kembali meninggalkan rumahnya, sehingga akhirnya mereka dapat mencuri barang-barang berharga yang tersisa di dalam rumah.
Kejahatan
Fenomena kejahatan yang terjadi di Lombok setahun silam merupakan salah satu contoh bahwa saat bencana terjadi tetap saja ada pihak yang memanfaatkan kesempatan. Hasil survei Kompas terhadap 200 responden pada 22-29 Oktober 2019 di Kabupaten Lombok Barat dan Kabupaten Lombok Utara, Nusa Tenggara Barat, serta Kota Palu dan Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah menemukan tindakan kejahatan di sekitar lokasi pengungsian.
Dari 200 responden yang diwawancarai, sebanyak 42 persen mengaku pernah mendengar, melihat, dan mengetahui tindakan kejahatan selama di pengungsian. Pencurian menjadi tindak kejahatan yang paling sering diakui terjadi di sekitar pengungsian, yakni 80,2 persen. Selain pencurian, ada juga tindak kekerasan yang menjurus perkelahian atau pengeroyokan (16,7 persen) dan pelecehan seksual (2,1 persen).
Baca juga: Ruang Perlindungan Penyintas Perempuan dan Anak
Tindak kejahatan pada saat bencana di daerah yang terdampak bukanlah hal asing. Arsip Kompas merekam beberapa aksi kejahatan yang terjadi ketika bencana di Lombok dan Sulawesi Tengah setahun silam. Misalnya, dalam pada 2 Oktober 2018 diberitakan bahwa sekelompok orang menjarah Fitra Swalayan, di Jalan Dewi Sartika, Kota Palu.
Jauh sebelumnya, berita utama Kompas edisi 3 Juni 2006 memuat judul “Korban Resah Soal Keamanan” dan memberitakan Penjagaan ketat dilakukan warga di jalan-jalan desa untuk menghindari tindak pencurian pascabencana.
Dituliskan, penjagaan swakarsa dilakukan para korban bencana gempa di Bantul, DI Yogyakarta karena takut rumah-rumah mereka didatangi oleh para pencuri. Begitu pula di wilayah Gunung Kidul, tepatnya di tiga kecamatan yang paling parah terdampak, tindak pencurian pun semakin marak.
Deretan temuan ini menegaskan bahwa tindak kejahatan saat bencana bukan terjadi secara kasuistik atau di daerah tertentu saja. Tindakan ini sudah menjadi pola yang berulang dan seharusnya dapat diantisipasi serta menjadi pelajaran dalam penanganan bencana.
Bingkai hukum
Tindak kejahatan adalah bentuk pelanggaran hukum. Namun, dalam keadaaan darurat, tindakan seperti penjarahan bantuan logistik yang dilakukan sejumlah warga yang terkena bencana masih memiliki celah kompromi.
Maksudnya, mereka berada dalam keadaan yang masuk kategori pembelaan terpaksa atau darurat (noodweer), kebutuhan untuk mempertahankan hidup.
Masalahnya, dalam peristiwa penjarahan, bukan hanya barang kebutuhan makan, minum, atau pakaian saja yang diambil, melainkan juga barang-barang seperti elektronik, mesin ATM, hingga kendaraan.
Untuk kasus ini, maka pelaku dapat dijerat dengan Pasal 362 – Pasal 367 KUHP yang mengatur tentang pencurian bahkan dengan tambahan pemberatan. Pencurian dengan pemberatan maksudnya ialah tindak pencurian yang dilakukan saat terjadi malapetaka seperti bencana alam, kecelakaan, kerusuhan, dan perang.
Tindak penjarahan dan pencurian memiliki efek domino bagi warga yang terdampak. Aksi penjarahan yang terjadi dapat menginisiasi aksi lainnya seperti yang terjadi di Kota Palu ketika masyarakat ramai-ramai menguras habis bahan bakar di SPBU. Akhirnya, konformitas atas perilaku kejahatan muncul di masyarakat dan membuat “lumrah” tindak kejahatan lainnya.
Apapun tindak kejahatan saat bencana, justru menjadi tambahan ancaman bagi para korban. Kekhawatiran para warga yang terdampak dan mengungsi kini bertambah bukan hanya mengenai ancaman bencana alam, tapi juga aksi kejahatan. Di sinilah peran kepolisian daerah dibutuhkan demi menghadirkan rasa aman di antara para korban bencana.
Harapan
Dilantiknya Letnan Jenderal (TNI) Doni Monardo sebagai Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana pada Januari 2019 sedikit banyak membawa harapan. Dengan latar jejak karir di dunia militer yang cemerlang, Letjen Doni Monardo seharusnya mampu meluaskan ranah mitigasi dan penanggulangan bencana BNPB.
Segi penjagaan keamanan bagi sumber logistik, bantuan, maupun pemukiman warga di daerah bencana dapat dirancang lebih baik lagi. Selain itu, terjadinya aksi pembegalan bantuan logistik dan kejahatan lainnya juga berakar pada pendistribusian bantuan logistik yang adil dan merata. Maka, butuh pendataan, perencanaan, dan sinergi dari BNPB dan lembaga pemerintah lainnya untuk mengatasi ranah ini.
Pada dasarnya, kejahatan sangat berbeda dengan bencana alam karena berasal dari tindakan manusia yang memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan. Artinya, tindak kejahatan dapat dicegah dan diantisipasi dengan lebih baik. Jangan sampai benalu kejahatan tumbuh subur saat bencana datang. (LITBANG KOMPAS)