Sejak 2004, Indonesia tak lagi sebagai negara pengekspor bersih minyak mentah. Statusnya berbalik menjadi negara pengimpor bersih minyak mentah.
Oleh
ARIS PRASETYO
·3 menit baca
Sejak 2004, Indonesia tak lagi sebagai negara pengekspor bersih minyak mentah. Statusnya berbalik menjadi negara pengimpor bersih minyak mentah. Penyebabnya, produksi minyak Indonesia jauh di bawah kebutuhan nasional sehingga kekurangannya harus dipenuhi melalui impor.
Minyak memang sempat menjadi tulang punggung perekonomian nasional pada era 1970-an dan 1980-an. Indonesia pernah mencapai puncak produksi minyak hingga 1,6 juta barrel per hari dengan kebutuhan di dalam negeri 500.000 barrel per hari. Ekspor lebih dari 1 juta barrel per hari ketika itu menjadikan Indonesia salah satu negara elit dalam Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak (OPEC).
Situasi berubah drastis. Dalam dua dekade, konsumsi minyak nasional melebihi kemampuan produksi seiring jumlah penduduk yang bertambah dan perekonomian yang menggeliat. Kemampuan produksi minyak di dalam negeri kurang dari 800.000 barrel per hari, sedangkan kebutuhan per hari 1,5 juta-1,6 juta barrel.
Ketergantungan impor merongrong neraca perdagangan RI. Pada Januari-September 2019, neraca perdagangan Indonesia defisit 1,945 miliar dollar AS. Defisit disebabkan neraca migas yang defisit 6,441 miliar dollar AS. Pada Januari-September 2018, defisit neraca migas lebih besar, yakni 9,453 miliar dollar AS.
Cadangan habis?
Disebut-sebut cadangan minyak Indonesia tersisa sekitar 3 juta barrel. Apabila tak ada temuan ladang minyak raksasa yang baru, minyak kita akan habis dalam satu dekade. Setelah penemuan Lapangan Banyu Urip awal 2000-an yang memproduksi 200.000 barrel per hari, praktis kini tak ada lagi penemuan lapangan minyak besar.
Data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyebutkan, masih ada 74 cekungan hidrokarbon di Indonesia yang sama sekali belum pernah diteliti. Cekungan itu berpotensi menyimpan kandungan minyak dan gas bumi. Untuk mengetahuinya, diperlukan eksplorasi atau pencarian sumber cadangan baru.
Mengutip Direktur Asosiasi Perminyakan Indonesia (IPA) Nanang Abdul Manaf dalam diskusi di Kompas, beberapa waktu lalu, sebagian besar cekungan itu berlokasi di Indonesia bagian timur dan di perairan dalam. Padahal, infrastruktur sangat minim.
Selain perlu investasi besar, rasio keberhasilan menemukan minyak saat ini berkisar 20-30 persen. Artinya, dari 10 sumur pengeboran, kemungkinan hanya dua atau tiga sumur yang mengandung minyak. Padahal, ongkos satu sumur pengeboran di perairan dalam bisa 200 juta dollar AS atau setara Rp 2,8 triliun.
Kemudahan
Dengan kebutuhan investasi yang besar di hulu migas, investor menginginkan kemudahan berbisnis. Kemudahan yang diinginkan, antara lain, kemudahan perizinan dan penyederhanaan birokrasi. Beberapa tahun lalu pernah terungkap, ada 341 perizinan yang harus diurus investor hulu migas di dalam negeri.
Merujuk penjelasan Direktur Eksekutif IPA Marjolijn Wajong, saat ini, sejak ditemukan lapangan minyak sampai bisa berproduksi, diperlukan waktu 10-15 tahun. Padahal, dahulu hanya 5-6 tahun.
Presiden Joko Widodo selalu menekankan kemudahan perizinan dan penyederhanaan birokrasi dalam tata kelola pemerintahan. Seharusnya, pada saat kondisi hulu migas nasional kian memprihatinkan seperti sekarang ini, Presiden memimpin langsung usaha menggairahkan hulu migas nasional. Jika tidak, ketergantungan Indonesia pada impor bisa semakin dalam.