Ombudsman akan melihat dua hal, yaitu keberadaan dokumen TPF kasus Munir karena sudah selayak dan seharusnya Mensesneg memiliki sistem atau mekanisme yang profesional dalam mendokumentasikan dokumen penting.
Oleh
Sharon Patricia
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Istri mendiang pegiat hak asasi manusia Munir Said Thalib, Suciwati, mengadukan dugaan tindakan mala-administrasi yang dilakukan pemerintah kepada Ombudsman RI. Kementerian Sekretariat Negara, khususnya, diadukan karena diduga telah menghilangkan dokumen laporan tim pencari fakta kasus meninggalnya Munir.
”Kasus Munir ini sebetulnya mudah, tapi kemudian dibikin berbelit-belit oleh pemerintah yang tidak mau mengungkap atau menuntaskannya sehingga ini menjadi hal yang teknis sekali,” ujar Suciwati seusai mengantar berkas pengaduan mala-administrasi ke Kantor Ombudsman RI di Jakarta, Selasa (5/11/2019).
Suciwati mengadukan dugaan tindakan mala-administrasi didampingi Deputi Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Putri Kanesia; Direktur Imparsial Al Araf; pengajar Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera, Bivitri Susanti; Ketua Bidang Advokasi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Muhammad Isnur; anggota Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Saleh Al Ghifari; dan Manajer Kampanye Amnesty International Indonesia Puri Kencana Putri.
Padahal, menurut Suciwati, melalui dokumen tim pencari fakta (TPF), seharusnya sudah dapat dibuat tim khusus untuk menindaklanjuti rekomendasi. Peristiwa tersebut sudah berjalan sekitar 14 tahun, semestinya dapat selesai pada 2005, tetapi menjadi begitu panjang dengan keengganan pemerintah untuk menyelesaikannya.
”Ini menjadi contoh buruk buat kami, buat kita sebagai bangsa. Sebuah kasus yang dijadikan fokus oleh negara, oleh banyak masyarakat sipil itu menjadi terlunta-lunta. Saya berharap, semoga ini menjadi langkah yang tidak panjang lagi, bisa membawa kita ke ruang penuntasan kasus Munir,” ujarnya.
Dokumen pengaduan yang diajukan langsung diterima Ketua Ombudsman Amzulian Rifai dan anggota Ombudsman, Ninik Rahayu. Ombudsman pun menyatakan akan menindaklanjuti laporan ini untuk membuat kasus Munir menjadi jelas.
”Kami tentu akan menindaklanjuti supaya terang. Bagaimana mungkin dokumen negara yang begitu penting bisa hilang? Semua orang berpikir hilang atau dihilangkan? Bisa begitu, kan? Kami akan tindak lanjuti dengan segala kewenangan untuk berusaha mencari titik terang,” tutur Amzulian.
Menurut dia, meninggalnya Munir bukan hanya menjadi perhatian nasional, melainkan juga internasional. Segala jasa Munir memang sudah sepatutnya dibalas dengan perhatian setimpal, yaitu melalui pengungkapan siapa auktor intelektualis di balik kasus ini.
Ninik Rahayu menyampaikan, setidaknya Ombudsman akan melihat dua hal, yaitu keberadaan dokumen TPF kasus Munir karena sudah selayak dan seharusnya Mensesneg memiliki sistem atau mekanisme yang profesional dalam mendokumentasikan dokumen penting.
Kedua, terkait dengan tindak lanjut Keputusan Presiden Nomor 111 Tahun 2004 yang meminta penyelesaian dan mengumumkan hasil TPF. Seharusnya dijalankan oleh pemerintah untuk mengungkap kebenaran kasus Munir.
”Tentu, harapannya, institusi terlapor lebih proaktif dan tidak menunda proses yang nanti sama-sama kita jalankan. Bukan hanya Mensesneg, tetapi dari informasi yang kami peroleh tadi, diserahkan juga ke institusi lain. Tentu akan ada pihak lain yang perlu kami libatkan dalam penyelesaian kasus ini,” ucap Ninik.
Dua dokumen
Putri Kanesia menjelaskan, laporan akhir atau executive summary hasil kerja TPF kasus Munir diserahkan pertama kali pada 24 Juni 2015. Kemudian, karena tidak ada tindak lanjut bahan keberadaan dokumen tidak diketahui, pada 26 Oktober 2016, mantan Mensesneg Sudi Silalahi mengirimkan salinan dokumen TPF ke Istana Negara.
Johan Budi, Juru Bicara Kepresidenan, saat itu, mengonfirmasi telah menerima salinan dokumen dari Sudi Silalahi. Dokumen tersebut telah ada di Kemensetneg dan akan dilimpahkan ke Kejaksaan Agung untuk ditindaklanjuti.
Kemudian, Kemensetneg berkeberatan atas putusan Komisi Informasi Pusat (KIP) pada 2016 yang meminta negara membuka hasil TPF. Keberatan pun diajukan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) yang memutuskan dokumen tidak dapat dibuka kepada publik.
Putusan ini dikuatkan oleh putusan kasasi Mahkamah Agung (MA). Pemerintah pun menyatakan dokumen itu tidak dikuasai lagi oleh pemerintah dan hingga kini tetap tidak diumumkan.
”Jadi, di mana salinan tersebut? Sampai saat ini kasus Munir saya bisa bilang belum selesai karena memang dokumen itu belum pernah diumumkan, jadi kita tidak pernah tahu hasilnya seperti apa. Inilah mengapa kami masih melakukan advokasi, masih mencari dokumen tersebut karena itu akan membuat semua kasus kita menjadi terang,” ujar Putri.
Hingga berita diturunkan, Mensesneg Pratikno tidak dapat dihubungi dan tidak memberikan keterangan apa pun.