Tantangan gerakan literasi tidak hanya pada membangun minat membaca, tetapi juga harus mencari strategi memastikan para peserta gerakan bisa menuntaskan Wajib Belajar 12 Tahun.
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Tantangan gerakan literasi tidak hanya pada membangun minat membaca, tetapi juga harus mencari strategi memastikan para peserta gerakan bisa menuntaskan Wajib Belajar 12 Tahun. Bahkan, jika bisa juga mendapat pendidikan lebih lanjut.
Hal tersebut dibahas dalam lokakarya Gerakan Literasi Nasional yang memfokuskan kepada pemberdayaan taman baca masyarakat (TBM) sebagai pusat inspirasi, belajar, dan berkegiatan di akar rumput. Acara ini diselenggarakan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan di Jakarta, Senin (4/11/2019) malam.
"Selama ini pendidikan tinggi belum adil ke masyarakat karena hanya bisa diakses oleh orang-orang berekonomi mampu. Jika ada beasiswa pun diberikan kepada anak-anak miskin berprestasi akademik yang jumlahnya langka," kata pegiat literasi dari Kabupaten Labuan, Banten, Atih Ardiansyah.
Ia memulai gerakan Cendekiawan Kampung dengan program kerja Beasiswa Kampung yang merupakan respon dari program Bantuan Peserta Didik Miskin (Bidikmisi) dari pemerintah. Bidikmisi tidak menyaratkan kualifikasi akademis asalkan peserta memang terdaftar sebagai mahasiswa dari keluarga berekonomi lemah. Masalahnya, bantuan ini datang setiap semester sehingga belum menyelesaikan persoalan kebutuhan biaya sehari-hari.
Program yang diluncurkan pada tahun 2019 ini memiliki 10 penerima beasiswa yang berkuliah di perguruan-perguruan tinggi di sekitar Labuan. Sistemnya adalah agar perguruan tinggi menggratiskan biaya kuliah, sementara untuk biaya sehari-hari diperoleh dari sumbangan para donatur berupa pemerintah daerah, swasta, maupun individual.
"Syaratnya adalah penerima beasiswa ketika lulus kuliah memiliki tanggung jawab moral untuk memajukan desa. Jangan malah kalau sudah sarjana malah ikut urbanisasi," kata Atih.
Sementara itu, pegiat literasi dari Wakatobi, Sulawesi Tenggara Jumadin menjelaskan, jaringan TBM berfungsi menjadi pusat kegiatan belajar masyarakat untuk menarik anak-anak putus sekolah. Mereka mengikuti Kejar Paket agar bisa disesuaikan dengan waktu melaut bersama orangtua.
Ia mengungkapkan, pada awalnya memang harus memberi iming-iming hadiah kepada anak-anak agar mau datang ke TBM. Mereka yang berhasil menamatkan satu buku bacaan umumnya buku cerita rakyat berilustrasi, mendapatkan hadiah alat tulis. Setelah itu perlahan anak-anak mau tinggal lebih lama di TBM untuk membaca dan kemudian ikut Kejar Paket.
"Total sudah 200.000 anak menamatkan Kejar Paket A dan akan melanjutkan ke Paket B," tutur Jumadin.
Kondisi berbeda dialami forum TBM Provinsi Kalimantan Utara. Perwakilannya, Rendy Ipin menjelaskan, selain memberi iming-iming hadiah juga diperlukan pendekatan lebih mendalam. Ia bekerja sama dengan berbagai komunitas seperti mahasiswa pecinta alam, jaringan wisatawan ransel, hingga klub fotografi untuk mendatangi berbagai TBM di pelosok.
Selain membawa buku-buku yang merupakan sumbangan donatur, para relawan ini bertindak sebagai motivator dan inspirator bagi anak-anak. Mereka setidaknya bisa bercita-cita menjadi berbagai jenis orang dan melakukan banyak kegiatan. Selain membaca buku, anak-anak juga mendengar cerita pengalaman para relawan yang bisa memberi mereka impian agar meningkatkan ilmu pengetahuan.
"Gerakan mahasiswa lokal bagian yang penting sekali karena warga melihat mereka sebagai contoh orang terpelajar," ujar Rendy.
Pengiriman buku
Dalam kesempatan yang sama, Direktur Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini dan Pendidikan Masyarakat Kemdikbud Harris Iskandar menyampaikan pemerintah setiap tahun melakukan pengiriman buku ke wilayah terdepan, terluar, dan tertinggal (3T). Buku-buku itu sudah diseleksi oleh Badan Pengembangan Bahasa dan Perbukuan Kemdikbud sehingga memiliki konten mendidik, nasionalis, dan bertata bahasa baik.
Tahun ini ada 2,4 juta eksemplar buku yang dikirim ke berbagai wilayah. Buku-buku ini terdiri dari 60 judul dan akan diterima oleh 658 TBM wilayah 3T yang terdaftar di Kemdikbud, 47.000 sekolah, dan 40 perpustakaan daerah.