Keberpihakan Pemerintah kepada Masyarakat Adat di Toba Dinanti
Pembangunan kawasan Danau Toba di Sumatera Utara dinilai tidak berpihak kepada masyarakat adat. Pembangunan kawasan hampir selalu mengorbankan hak ulayat masyarakat demi kepentingan pemodal.
Oleh
NIKSON SINAGA
·3 menit baca
MEDAN, KOMPAS — Pembangunan kawasan Danau Toba di Sumatera Utara dinilai tidak berpihak kepada masyarakat adat. Pembangunan kawasan hampir selalu mengorbankan hak ulayat masyarakat demi kepentingan pemodal. Penetapan 279 hektar zona otorita Danau Toba di Kabupaten Toba Samosir menambah daftar konflik masyarakat adat dengan pemerintah dan perusahaan.
”Pemerintah seharusnya tahu bahwa kawasan Danau Toba sejak dulu dikelola dengan sistem hukum adat. Sistem ini juga diakui dalam sistem hukum di Indonesia. Namun, konflik masyarakat adat dengan pemerintah masih terus terjadi,” kata Koordinator Forum Sisada Ulaon Miduk Hutabarat, di Medan, Senin (4/11/2019).
Miduk mengatakan, konflik masyarakat adat Desa Sigapiton, Kecamatan Ajibata, Toba Samosir, dengan Badan Pelaksana Otorita Danau Toba (BPODT) menunjukkan belum ada perubahan perspektif pemerintah terhadap keberadaan masyarakat adat. Pemerintah hanya mengedepankan aspek legal formal dalam menguasai lahan, tanpa mempertimbangkan keberadaan dan hak masyarakat adat.
Pemerintah seharusnya tahu bahwa kawasan Danau Toba sejak dulu dikelola dengan sistem hukum adat.
Konflik dengan masyarakat adat Desa Sigapiton terjadi setelah BPODT mendapat sertifikat hak pengelolaan (HPL) dari Badan Pertanahan Nasional atas 279 hektar lahan di Toba Samosir. Lahan yang berada di perbukitan Danau Toba itu disiapkan untuk kawasan pembangunan hotel, restoran, dan fasilitas pariwisata lainnya. Pembangunan saat ini pun masih dalam proses pembukaan hutan untuk pembuatan jalan.
Miduk mengatakan, konflik antara masyarakat adat dan pemerintah atau korporasi sudah terjadi sejak awal 1980-an. Masyarakat adat pun selalu menjadi pihak yang dirugikan. Sejumlah konflik antara lain terjadi antara perusahaan hutan tanaman industri, perhotelan, pembangkit listrik tenaga air, dan taman hutan rakyat.
Mangatas Togi Butar-Butar, warga Desa Sigapiton, mengatakan, mereka sangat menyesalkan langkah pemerintah yang mengambil hak ulayat mereka untuk pembangunan kawasan bisnis tanpa menghormati keberadaan masyarakat adat. ”Kami menyesalkan sikap BPODT yang sejak awal tidak membangun komunikasi baik dengan masyarakat adat. Sejak awal, mereka bahkan mengajak masyarakat untuk beperkara di pengadilan,” katanya.
Togi mengatakan, mereka pun sedang menggugat penerbitan sertifikat HPL tersebut ke Pengadilan Tata Usaha Negara Medan.
Togi mengatakan, masyarakat adat Desa Sigapiton mengelola tanah adat seluas 900 hektar. Hanya 81 hektar yang kini berstatus areal penggunaan lain (APL), yakni lembah di tepi Danau Toba yang mereka gunakan sebagai permukiman. Lahan lainnya berstatus kawasan hutan dan dikelola lembaga adat untuk fungsi konservasi.
Masyarakat menetapkan hutan larangan karena merupakan sumber air dan pengairan sawah. Kawasan itu pun dimanfaatkan untuk makam, beternak lebah hutan, dan menanam kopi di bawah kanopi hutan.
Direktur Keuangan, Umum, dan Komunikasi BPODT Bambang Cahyo Murdoko mengatakan, mereka sudah mempunyai sertifikat hak pengelolaan dari BPN atas lahan 279 hektar dari total 386,72 hektar lahan yang disiapkan untuk Kawasan Otorita Danau Toba. ”BPODT sudah memegang sertifikat hak pengelolaan dan sudah sah secara aturan untuk melakukan pembangunan,” katanya.
Bambang mengatakan, mereka mendapat sertifikat hak pengelolaan dari BPN pada Desember 2018. Sertifikat itu dibuat berdasarkan penetapan kawasan otorita melalui Peraturan Presiden Nomor 49 Tahun 2016 tentang Badan Otorita Pengelola Kawasan Pariwisata Danau Toba. Putusan itu pun telah ditindaklanjuti dengan pelepasan hutan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Menurut Bambang, sebagai tergugat intervensi, mereka siap menghadapi gugatan masyarakat adat di PTUN.