Geliat Sukarelawan di Tenda Bencana
Penyintas di Palu dan Lombok mengapresiasi uluran sukarelawan, baik tenaga maupun material bagi korban. Kerja ikhlas mereka mengingatkan tetap adanya sosok pahlawan bangsa di masa kini.
Di tengah gulita bencana, solidaritas sosial warga muncul meringankan beban para korban. Penyintas di Palu dan Lombok mengapresiasi uluran sukarelawan, baik tenaga maupun material bagi korban. Kerja ikhlas mereka mengingatkan tetap adanya sosok pahlawan bangsa di masa kini.
Lebih dari 5.400 nyawa melayang akibat bencana alam di Sulawesi Tengah dan Nusa Tenggara Barat yang terjadi tahun lalu. Gempa, tsunami, dan likuefaksi di Kota Palu, Kabupaten Sigi, dan Donggala terjadi pada 28 September 2018. Bencana ini merenggut 3.124 jiwa, 705 orang lainnya hilang, dan 1.016 korban tanpa identitas dimakamkan massal.
Di Pulau Lombok, berdasarkan data Badan Nasional Penanggulangan Bencana, gempa bermagnitudo 6,4 yang mengguncang Lombok pada 29 Juli 2018 mengakibatkan 20 orang meninggal. Selanjutnya, gempa bermagnitudo 7 pada 5 Agustus 2018 mengakibatkan 564 orang meninggal.
Bencana membawa simpati dan gerakan masyarakat dari berbagai lapisan untuk membantu korban bencana. Aksi kemanusiaan yang menjadi prioritas utama berupa pengiriman bantuan, seperti obat, uang, baju, atau makanan bagi para korban bencana.
Munculnya aksi kemanusiaan yang dilakukan kelompok warga, lembaga swadaya masyarakat, organisasi massa, dan aparat TNI menggambarkan solidaritas bangsa dan memberikan kesan mendalam di mata korban bencana.
Penilaian tersebut muncul dari hasil survei Kompas terhadap 200 responden pada 22-29 Oktober 2019 di Kabupaten Lombok Barat dan Kabupaten Lombok Utara, Nusa Tenggara Barat, serta Kota Palu dan Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah.
Bagi para penyintas, kiprah kemanusiaan yang dilakukan warga bangsa menjadi gambaran sosok pahlawan. Bagian terbesar responden (42 persen) menyebutkan organisasi masyarakat, lembaga swadaya masyarakat (LSM), dan sukarelawan sebagai pihak yang paling membantu saat terjadinya bencana. Figur penolong saat bencana juga diberikan kepada masyarakat sekitar dan tetangga yang juga tanpa pamrih menolong korban dan penyintas.
Survei ini juga mencatat bahwa bukan hanya saat terjadinya bencana saja bantuan dari pihak-pihak tersebut dilakukan. Namun, hingga saat ini, gerakan kemanusiaan kepada korban bencana dilakukan tanpa henti. Inilah yang menimbulkan kesan mendalam bagi para penyintas.
Aksi kemanusiaan
Ragam bantuan sukarelawan di daerah bencana Palu dan Lombok. Arsip Kompas merekam kiprah sukarelawan meringankan beban korban bencana. Sebanyak 1.034 sukarelawan PT PLN dari seluruh Indonesia bekerja memulihkan jaringan listrik di tiga kabupaten/kota di Sulawesi Tengah. Seminggu pascabencana listrik di Palu, Sigi dan Donggala kembali pulih.
Ada pula sepasang suami istri chef, pemilik sebuah restoran di Jimbaran, Bali, membuat dapur umum bagi para pengungsi di Palu. Mereka prihatin melihat bantuan bagi korban kebanyakan berupa mi instan, beras, dan minyak goreng. Padahal tidak semua orang di pengungsian punya kompor. Dibantu warga setempat, sekitar 2.000 nasi bungkus mereka masak setiap hari. Nasi bungkus tidak hanya dibagikan ke para pengungsi, tetapi juga kepada aparat polisi, TNI, dan satpol PP.
Aksi sosial juga dilakukan Serikat Karyawan (Sekar) Telkom yang mengirimkan paket bahan pokok dengan cara dititipkan ke petugas teknis Telkom yang akan memperbaiki jaringan telekomunikasi di Palu. Melalui model seperti ini bantuan bisa segera sampai ke pengungsi tanpa ribet prosedur dan birokrasi.
Kelompok masyarakat sipil yang tergabung dalam gerakan Sulteng Bergerak berkolaborasi membuat portal manajemen informasi terkait gempa dan tsunami di Sulawesi Tengah. Portal ini bertujuan memperkuat kolaborasi dan memudahkan komunikasi antarsukarelawan di lokasi pengungsian.
Gerakan serupa juga dilakukan di Lombok, NTB. Lewat gerakan #LombokBangkit, pengurus dan sukarelawan Bale Anak Desa (BaleAde) yang merupakan wadah belajar tentang kreasi dan literasi di Dusun Medas Bedugul, Desa Taman Sari, Kecamatan Gunung Sari, Kabupaten Lombok Barat, mengajak masyarakat bangkit kembali, punya kegiatan, dan tidak bengong di pengungsian.
Keberadaan
Keterlibatan sukarelawan hampir pasti ada dalam setiap musibah bencana. Undang-undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana menyebutkan bahwa setiap orang berkewajiban untuk melakukan kegiatan penanggulangan bencana. Aturan tersebut juga mengatur keterlibatan pihak swasta, lembaga nonpemerintah, dan lembaga internasional dalam penganggulangan bencana.
Definisi sukarelawan adalah seseorang atau sekelompok orang yang memiliki kemampuan dan kepedulian untuk bekerja secara sukarela dan ikhlas dalam upaya penanggulangan bencana. Sukarelawan harus memiliki kecakapan atau keterampilan khusus yang diperlukan dalam penanggulangan bencana.
Keterampilan sukarelawan, di antaranya memiliki kecakapan dalam menyelenggarakan pendidikan dalam situasi darurat, punya kemampuan pemetaan, penyelamatan dan evakuasi, distribusi logistik, pengelolaan dapur umum, memiliki pengalaman di bidang medis, penyembuhan trauma, hingga memiliki kemampuan bahasa asing.
Tidak ada syarat khusus untuk menjadi sukarelawan. Intinya semua warga negara bisa turut ambil bagian dalam kegiatan kemanusiaan ini. Persyaratan umum yang harus dipunyai sukarelawan adalah berusia 18 tahun ke atas, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki dedikasi tinggi. Agar tercatat dengan baik, sukarelawan dianjurkan bergabung dan melakukan registrasi ke induk organisasi relawan dan melaporkannya ke BNPB/BPBD.
Tidak menutup kemungkinan munculnya sukarelawan asing yang memberikan bantuan kepada korban bencana di Indonesia. Saat bencana gempa, tsunami, dan likuefaksi di Sulawesi Tengah, sejumlah negara dan organisasi internasional turut memberikan bantuan.
Bantuan internasional salah satunya berupa bantuan personel. Tentu saja personel tersebut bisa diterjunkan ke lokasi bencana setelah memenuhi kualifikasi yang dibutuhkan sesuai persyaratan yang ditetapkan oleh kementerian/lembaga yang berwenang. Saat mendaftar sukarelawan asing harus menyerahkan salinan surat tugas dari pemerintah atau organisasi yang mengutus beserta kartu tanda pengenal dan paspor.
Prosedur penerimaan bantuan personel asing dilakukan melalui beberapa tahap, dimulai dengan pendaftaran di posko nasional penanganan darurat bencana. Selanjutnya, posko nasional menerbitkan kartu identitas untuk setiap personil yang telah terdaftar. Kartu tersebut wajib digunakan setiap personel selama bertugas di Indonesia.
Biaya untuk penyediaan personel menjadi tanggung jawab pemberi bantuan internasional. Dalam menjalankan tugasnya, personel asing dapat didampingi oleh pihak Indonesia.
Solidaritas sosial
Keterlibatan sukarelawan bencana merupakan bentuk solidaritas sosial warga. Sebagai negeri dengan potensi rentan bencana, keberadaan sukarelawan menjadi hal yang patut dicermati untuk dikelola dengan sungguh-sungguh.
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat, sepanjang 1 Januari 2019 hingga 30 September 2019, sudah terjadi 2.190 kejadian bencana. Lebih dari 1 juta orang terdampak dan harus mengungsi dari tempat tinggalnya karena bencana. Melihat tingginya frekuensi kejadian bencana tersebut, tentu diperlukan banyak sukarelawan untuk memberikan bantuan terhadap korban bencana di negara ini.
Berkaca dari pengalaman bencana tsunami di Aceh pada 2004, seharusnya Pemerintah Indonesia sudah mampu mengelola bencana dengan lebih baik dan lebih tanggap. Peristiwa 15 tahun yang telah berlalu memberikan pelajaran bagaimana sebaiknya menangani bencana dan pemulihan setelah bencana.
Tingginya apresiasi penyintas kepada kelompok sukarelawan dibandingkan kepada pemerintah menjadi momentum perbaikan manajemen bencana di Tanah Air. Modal solidaritas sosial yang dimiliki masyarakat dapat menjadi kemampuan andal membuat jaringan sukarelawan bencana.
BNPB telah merintis dengan mengumpulkan data partisipan bencana. Selain itu, juga ada program Desa Tangguh Bencana yang tahun lalu sebanyak 553 desa. Tentu ini menjadi modal solidaritas sosial yang potensial untuk menangani bencana, sekaligus menghadirkan figur kepahlawanan masa kini bagi penyintas bencana yang masih nelangsa di tenda pengungsian atau hunian sementara. (LITBANG KOMPAS)