Meski Punya Hak Veto, Menko Tak Bisa Langsung Batalkan Program Menteri
Hak veto menteri koordinator (menko) yang diberikan oleh Presiden Joko Widodo tidak serta-merta bisa menghentikan langsung program kementerian. Menko hanya memberi masukan.
Oleh
Insan Al Fajri
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS—Hak veto menteri koordinator (menko) yang diberikan oleh Presiden Joko Widodo tidak serta-merta bisa menghentikan langsung program kementerian. Menko hanya memberi masukan. Keputusan terakhir tetap berada di tangan Presiden.
Hal itu disampaikan Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD, Kamis (30/10/2019), di Jakarta, seusai memimpin rapat koordinasi pertama di bidang Polhukam. Ia menjelaskan, hak veto, sebagaimana yang dikatakan Presiden, merupakan bahasa politik dan organisasi. Dalam istilah hukum, hal ini disebut dengan pengendalian.
Menurut Mahfud, fungsi pengendalian itu sejalan dengan tugas Kemenko Polhukam yang diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 43 Tahun 2015. Pasal 2 menyatakan Kemenko Polhukam bertugas untuk menyelenggarakan koordinasi, sinkronisasi, dan pengendalian urusan kementerian dalam penyelenggaraan pemerintahan di bidang politik, hukum, dan keamanan.
Mahfud menerangkan, pengendalian bertujuan untuk mendorong kementerian atau lembaga yang berkinerja lambat. Sebaliknya, menko juga bisa menahan kementerian yang terlalu progresif. Ini bertujuan agar semua program di kementerian sesuai dengan visi-misi Presiden dan Wakil Presiden.
Dia melanjutkan, meski memiliki hak veto, menko tidak bisa langsung memberhentikan program kementerian yang melenceng dari visi-misi Presiden dan Wakil Presiden. Menko hanya memberi masukan ke Presiden.
“Praktisnya, menko memang (berkontribusi) memveto. Tetapi tidak bisa langsung, tetap yang memveto itu atasan menteri, yaitu Presiden,” katanya.
Dalam rapat itu, kata Mahfud, semua perwakilan kementerian dan lembaga yang berkoordinasi dengan Kemenko Polhukam hadir. Jumlahnya ada 17. Mereka ingin menyamakan persepsi bahwa program yang akan dirancang adalah program Presiden yang diturunkan menjadi program menteri.
Koordinasi
Sejumlah pengamat menekankan tentang perlunya terobosan dalam hal koordinasi antarkementerian. Kepala Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Firman Noor, misalnya, berharap Mahfud bisa menjalankan fungsi koordinasi dengan kementerian dan lembaga terkait. Menurutnya, fungsi koordinasi antarlembaga ini penting agar iklim politik Indonesia stabil dan demokratis.
Selain itu, peneliti senior Imparsial, Anton Ali Abbas menyatakan, Mahfud harus mampu menjadi pemimpin yang punya inisiatif. Butuh terobosan agar sejumlah masalah bisa diselesaikan. Selain itu, Mahfud juga harus membuka ruang dialog dengan kementerian dan instansi lain. Hal ini untuk menyelesaikan masalah multidimensi, seperti HAM dan kerusuhan di Papua beberapa waktu lalu.
Dalam pantauan Kompas, tidak semua kementerian yang hadir diwakili oleh menteri. Menteri Pertahanan Prabowo Subianto dan Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian, misalnya, tidak hadir.
Fungsi koordinasi antarlembaga penting agar iklim politik Indonesia stabil dan demokratis.
Menteri yang terlihat hadir, antara lain Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Tjahjo Kumolo dan Menteri Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo) Johnny G Plate. Selain itu, ada juga Jaksa Agung ST Burhanuddin.
Johnny menyatakan, jika internet digunakan untuk menjual narkoba, terorisme, dan kriminal lainnya, Kemkominfo tak segan-segan untuk melakukan pemblokiran.
Dia juga menjelaskan tentang kebijakan pembatasan akses layanan data di masa depan. Saat terjadi kekacauan di masyarakat, seperti kerusuhan di Papua sebulan lalu, katanya, Kominfo akan tetap menjaga hak-hak sipil sembari mengikuti perkembangan situasi sosial politik di wilayah tersebut.
"Dalam keadaan civil disorder, ada masyarakat yang ingin haknya tetap dijaga. Tetapi tugas negara juga untuk mengantisipasi rusaknya ikatan masyarakat dalam kondisi civil disorder,” katanya.