Kesepakatan kerja sama untuk mengkritisi pemerintah dari parlemen telah terbentuk antara Partai Nasdem dan Partai Keadilan Sejahtera menyusul pertemuan tingkat tinggi yang digelar pada Rabu (30/10/2019) sore.
Oleh
Satrio Wisanggeni/Agnes Theodora
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kesepakatan kerja sama untuk mengkritisi pemerintah dari parlemen telah terbentuk antara Partai Nasdem dan Partai Keadilan Sejahtera menyusul pertemuan tingkat tinggi yang digelar pada Rabu (30/10/2019) sore. Pertemuan juga membuka peluang kerja sama yang lebih jauh di antara kedua partai tersebut. Konstelasi politik pun berpeluang berubah.
Dalam pertemuan tingkat tinggi yang digelar di Kantor Dewan Pimpinan Pusat (DPP) PKS itu, Nasdem menunjukkan keseriusannya. Ketua Umum Nasdem Surya Paloh hadir didampingi Sekjen DPP Nasdem Johnny G Plate dan politisi Nasdem lainnya, seperti Wakil Ketua DPR Rachmat Gobel, Sekretaris Fraksi Nasdem di DPR Saan Mustopa, dan Ketua DPP Willy Aditya.
Presiden PKS Sohibul Iman didampingi Ketua Majelis Syuro PKS Salim Segaf Al’Jufrie, Sekjen DPP PKS Mustafa Kamal, dan sejumlah politikus PKS lainnya.
Pertemuan tersebut berlangsung sekitar satu jam. Lalu, Paloh dan Sohibul pun memberikan keterangan pers didampingi oleh sekjen masing-masing. Mustafa mengatakan, pertemuan tersebut berujung pada kesepakatan antara PKS dan Nasdem guna menjalin kerja sama di DPR untuk sama-sama mengawasi kinerja pemerintah.
”Perbedaan sikap politik kedua partai tersebut tidak menjadi penghalang bagi Nasdem dan PKS untuk berjuang bersama-sama menjaga demokrasi agar tetap sehat dengan memperkuat fungsi checks and balances di DPR,” kata Mustafa.
Komposisi rasio antara pendukung pemerintah dan oposisi di DPR semakin timpang setelah bergabungnya Gerindra ke dalam pemerintahan.
Koalisi pengusung pemerintah yang beranggotakan enam partai itu menguasai 427 kursi atau 74,26 persen kursi parlemen. Sementara tiga partai lainnya, yakni Demokrat, PKS, dan PAN, hanya mendapat 148 kursi.
Paloh mengatakan, kerja sama Nasdem-PKS untuk turut mengawasi kerja pemerintah merupakan sebuah upaya untuk merawat demokrasi dengan baik. Meski demikian, ia memastikan bahwa partainya masih dalam barisan pendukung pemerintah.
”Pemerintah yang sehat juga harus bisa menerima pikiran-pikiran yang mengkritisi. Apabila pikiran yang mengkritisi itu tidak ada lagi, artinya kita khawatir jalannya pemerintahan itu tidak sehat,” ucap Paloh.
Akan tetapi, Sohibul mengatakan, bukan berarti pertemuan ini akan bermuara pada sebuah arahan formal yang tegas dari DPP kepada fraksi masing-masing untuk berkonsolidasi di DPR.
Pertemuan itu, ujar Sohibul, hanyalah sebatas pertemuan penjajakan. Peluang untuk membangun kerja sama yang lebih konkret, seperti pada Pilkada 2020, lanjutnya, terbuka lebar setelah pertemuan ini.
”Nah, nanti dalam komunikasi lanjutan itulah mungkin ada peluang-peluang untuk bekerja sama, misalnya di pilkada,” kata Sohibul.
Meningkatkan posisi tawar
Pengajar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada, Nyarwi Ahmad, mengatakan, kerja sama Nasdem-PKS ini dapat dilihat dari dua sisi. Pertama, menurut dia, apabila ini dimaksudkan untuk mendukung kehadiran blok partai politik yang bisa secara sehat memberikan kritik konstruktif, kerja sama ini pantas diapresiasi.
Namun, jika langkah itu hanyalah sebuah bentuk untuk menaikkan bargaining position Nasdem terkait jatah menteri, atau bahkan dimaksudkan untuk memberikan tekanan kepada Presiden untuk menuruti keinginan Nasdem, hal itu dapat menghambat pemerintahan dalam bekerja secara efektif.
Peneliti Populi Center, Jefri Adriansyah, pun berpendapat, langkah Nasdem untuk menjajaki kerja sama dengan PKS merupakan sebuah upaya Nasdem untuk memperkuat posisi tawar partai tersebut di antara partai koalisi pendukung pemerintah.
Selain itu, bentuk kerja sama yang dibangun antara Nasdem dan PKS pun dinilai Jefri tidak alamiah sebab kedua partai tersebut memiliki platform yang berbeda.
Perbedaan platform politik antara Nasdem dan PKS pun menimbulkan pertanyaan mengenai bentuk konkret kerja sama yang disebut akan dibangun di parlemen. Akan sulit membangun kritik bersama terhadap kebijakan pemerintah melalui platform kedua partai yang berbeda tersebut.
Selain itu, posisi tiga menteri Nasdem pada kabinet Jokowi-Amin, berarti mengikat mereka untuk mengikuti dan menjalankan visi-misi Presiden. Adapun pihak oposisi sejatinya memiliki visi-misi yang berbeda.
”Ini menandakan bahwa bukan ideologi ataupun gagasan yang dibahas, tetapi kepentingan di luar itu. Sangat mungkin ada komunikasi mengenai kepentingan politik transaksional semata,” ucap Jefri.
Sebelumnya, Paloh pernah memberikan ultimatum kepada barisan partai pemerintah untuk tidak memperluas koalisi. Saat menghadiri pelantikan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Ma’ruf Amin pada 20 Oktober lalu pun Paloh menyatakan Nasdem siap beroposisi.
Pada saat itu, berbagai pihak berpendapat, ultimatum tersebut merupakan bentuk kegundahan Nasdem yang khawatir jatah menterinya berkurang apabila Gerindra bergabung.