Tujuan pendidikan tinggi hendaknya digabungkan dengan tujuan pembangunan nasional yang di dalamnya ada rencana pengembangan sumber daya manusia.
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·4 menit baca
Tujuan pendidikan tinggi hendaknya digabungkan dengan tujuan pembangunan nasional yang di dalamnya ada rencana pengembangan sumber daya manusia.
JAKARTA, KOMPAS — Pengembalian pendidikan tinggi kepada Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan setelah lima tahun berada di bawah Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi menunjukkan tidak ada konsistensi dalam pengelolaan pendidikan tinggi. Diperlukan cetak biru pendidikan tinggi yang sejalan dengan tujuan pembangunan.
Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Ma\'ruf Amin memutuskan mengembalikan pendidikan tinggi ke bawah naungan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan pada masa kerja Kabinet Indonesia Maju periode 2019-2024. Sistem ini berarti kembali seperti sebelum masa Kabinet Indonesia Kerja 2014-2019.
Pada tahun 2014, pendidikan tinggi dipisah dari Kemdikbud dan digabungkan ke Kementerian Riset, Teknologi, dan Dikti dengan Mohamad Nasir sebagai menterinya. Pada masa pemerintahan sekarang, Kementerian Riset dan Teknologi disatukan dengan Badan Riset dan Inovasi Nasional dengan Bambang Brodjonegoro sebagai menterinya.
”Visi mengenai dikti (pendidikan tinggi) tampaknya tidak ada cetak biru yang diakui dan ditaati. Dari segi PT (perguruan tinggi) sebenarnya tidak terlalu berpengaruh karena kami bersifat otonom untuk perancangan kurikulum, tetapi sebagai visi negara secara keseluruhan ternyata belum ada acuan resminya,” kata Rektor Universitas Syiah Kuala Samsul Rizal ketika dihubungi di Banda Aceh, Minggu (27/10/2019).
Visi mengenai dikti (pendidikan tinggi) tampaknya tidak ada cetak biru yang diakui dan ditaati.
Menurut dia, manuver memingpong pendidikan tinggi dari satu kementerian ke kementerian lain akan menghambat birokrasi karena harus dilakukan penyesuaian ulang kelembagaan. Selama lima tahun Kemristek dan Dikti, PT dikelola oleh lima direktorat jenderal, yaitu Ditjen Pembelajaran dan Kemahasiswaan, Ditjen Sumber Daya Iptek dan Dikti Kelembagaan, Ditjen Riset dan Pengembangan, serta Ditjen Penguatan Inovasi. Saat serah terima dengan Bambang pada 23 Oktober, Nasir mengatakan, kemungkinan yang kembali ke Kemdikbud adalah Ditjen Pembelajaran dan Kemahasiswaan, sisanya berada di Kementerian Ristek/BRIN.
Samsul Rizal mengkritisi pemerintah yang memiliki sejarah mengubah-ubah nomenklatur serta struktur kelembagaan kementerian, bahkan pada masa Presiden Abdurrahman Wahid sempat menghilangkan Kementerian Sosial.
”Semestinya ada aturan mengikat lintas administrasi pemerintahan bahwa struktur kelembagaan negara tidak boleh berubah karena akan mengacaukan sistem lembaga-lembaga di bawahnya. Kalau mencontoh dari negara-negara lain, mereka skema kementeriannya tetap sama meskipun kepala negara berganti. Pembenahan ada di visi, misi, program, pola kerja, dan penerapan kebijakan,” tuturnya.
Ia memaparkan, tujuan pendidikan tinggi hendaknya digabungkan dengan tujuan pembangunan nasional yang di dalamnya berupa rencana pengembangan dan pemberdayaan sumber daya manusia, pengembangan akademik, dan penelitian. Hal ini dipraktikkan melalui tridharma perguruan tinggi, yaitu mendidik, meneliti, dan mengabdi kepada masyarakat.
Tujuan pendidikan tinggi hendaknya digabungkan dengan tujuan pembangunan nasional.
”Bukan kementeriannya yang diganti, tapi pemerintah memastikan sinergi perguruan tinggi dengan semua kementerian, badan usaha milik negara maupun industri untuk mewujudkan tujuan. Hal ini menghemat waktu dan energi birokrasi,” ujar Syamsul.
Sementara itu, Rektor Universitas Negeri Padang Ganefri mengutarakan, pengaruh positif PT di bawah Kemristek dan Dikti ialah berkembangnya budaya riset di kalangan dosen. Riset yang dilakukan bukan sekadar untuk dokumentasi kenaikan pangkat struktural, tetapi yang bermakna mengembangkan teori, metode, dan praktik baru.
”Jangan sampai budaya riset ini memudar karena dikti kembali ke Kemdikbud dan riset secara formal berada di bawah Kemristek/BRIN. Harus ada jaminan budaya riset dari hulu ke hilir tetap berjalan,” ujarnya.
Rektor Universitas Tarumanagara Agustinus Purna Irawan juga mengatakan, jangan sampai tujuan dikti terbatas kepada pemenuhan pasar tenaga kerja dan riset berbasis kebutuhan industri semata. Riset hendaknya berwujud dua arah, ada yang berdasarkan permintaan industri sesuai kebutuhan mereka, tetapi ada pula riset yang lahir murni dari PT dan pemerintah bertindak sebagai mediator yang mempromosikan hasil riset tersebut kepada industri.
Jangan sampai tujuan dikti terbatas kepada pemenuhan pasar tenaga kerja dan riset berbasis kebutuhan industri semata.
Rektor Universitas Negeri Jakarta Komarudin memandang kembalinya dikti ke Kemdikbud sebagai hal positif bagi lembaga pendidikan tenaga kependidikan (LPTK). ”Pendidikan bagi calon guru kini bisa sinkron dengan kebutuhan lapangan sehingga kurikulum LPTK sejalan dengan perkembangan lapangan di sekolah-sekolah,” ucapnya.
Terkait dengan perekrutan calon mahasiswa, baik Komarudin maupun Ganefri sepakat untuk seleksi calon guru harus memperhatikan minat dan bakat untuk mengabdi sebagai pendidik. Sejatinya profesi guru harus diisi oleh mereka yang mumpuni dari segi kompetensi dan motivasi mendidik.