Label pada Perempuan
Peran sosial dan posisi perempuan masih menjadi isu krusial dalam masyarakat modern.
Peran sosial dan posisi perempuan masih menjadi isu krusial dalam masyarakat modern. Di tengah persepsi publik yang relatif menempatkan perempuan tak berbeda dengan laki-laki di sebagian sisi, di sisi lain sejumlah stereotip masih membelenggunya. Apalagi, label yang disematkan kepada perempuan sering kali bersifat negatif dan menjadi penghalang untuk mewujudkan kesetaraan jender.
Perempuan, dalam benak publik, masih diasosiasikan dengan penggambaran feminin. Temuan ini terungkap dari hasil jajak pendapat Kompas terhadap responden nasional di 16 kota besar. Perempuan sebagai sosok ibu muncul sebagai jawaban terbanyak ketika responden diminta menyebut kata yang pertama kali terlintas saat mendengar kata perempuan (37 persen).
Asosiasi feminitas diwakili kata lain yang muncul seperti ”cantik” (18,1 persen), feminin (7,8 persen), dan lembut (5,6 persen). Jawaban lain adalah ”kuat dan hebat” (7,8 persen) dan ada yang menyebut ”lemah” sebanyak 4,9 persen. Pandangan umum terhadap atribut atau karakteristik yang dimiliki oleh kelompok tertentu inilah yang dikenal dengan istilah stereotip.
Sayangnya, tak sedikit stereotip yang bersifat negatif atau menyakitkan, seperti perempuan itu lemah sebagaimana ditemukan dalam jajak pendapat. Sterotip jender ini yang kemudian menjadi kepercayaan di masyarakat untuk membuat asumsi terhadap perempuan. Tak pelak, hal ini bisa berefek terhadap kebebasan dan hak asasi perempuan.
Peran domestik
Salah satu isu penting terkait dengan peran jender perempuan dalam posisinya di ranah domestik keluarga. Label perempuan menjadi ibu rumah tangga (IRT), misalnya, tak lepas dari konstruksi budaya yang telah mengakar di masyarakat. Pembagian kerja yang dipercayai adalah bahwa perempuan sebagai pekerja domestik, sedangkan laki-laki adalah kepala rumah tangga yang bertugas mencari nafkah.
Kabar baiknya, hasil jajak pendapat menunjukkan lebih dari tiga perempat responden mengaku tidak setuju bahwa perempuan lebih baik menjadi IRT saja. Bahkan, jika ditelisik lebih jauh berdasarkan jenis kelamin, baik itu responden laki-laki maupun perempuan lebih banyak yang tidak setuju mengenai pandangan ini.
Sayangnya, meski terbilang sedikit, masih terdapat 24,7 persen responden yang berpendapat sebaliknya. Bahkan dalam kategori responden perempuan, terdapat 15,5 persen yang setuju bahwa perempuan lebih baik jadi IRT saja. Hal ini menunjukkan bahwa mendobrak stereotip terhadap perempuan juga menjadi kendala di kalangan perempuan itu sendiri.
Bahkan, dalam kategori responden perempuan, terdapat 15,5 persen yang setuju bahwa perempuan lebih baik jadi IRT saja.
Hal yang melatarbelakangi persepsi ini karena keberadaan perempuan di ruang publik dianggap tidak aman. Di satu sisi, alasan yang muncul adalah perlindungan terhadap perempuan sehingga sebaiknya tinggal di rumah saja. Akan tetapi, di sisi lain hal ini merupakan bentuk kekerasan berupa pembatasan terhadap ruang gerak perempuan.
Bahkan, peran perempuan sebagai pekerja domestik diperkuat dalam UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Pada Pasal 31 Ayat (3) dinyatakan bahwa suami adalah kepala keluarga dan istri ibu rumah tangga. Selain itu, pada Pasal 34 Ayat (2) dinyatakan juga bahwa istri wajib mengatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya.
Tunggal Pawestri, aktivis perempuan dan konsultan jender, mengungkapkan bahwa menjadi IRT bisa menjadi pilihan apabila perempuan terus berdaya. Berdaya berarti tetap mampu menegosiasikan apa yang menjadi kehendak dirinya dan mengamankan aset yang dimiliki karena tidak ada yang bisa memastikan apa yang akan terjadi nanti.
”Menjadi IRT tidak masalah, asalkan itu merupakan pilihan sadar dan tetap pembagian kerja domestik harus dibagi secara setara antara perempuan dan laki-laki,” ujarnya.
Hal ini sejalan dengan laporan dari UN Women mengenai Projected Gender Impact of the ASEAN Economic Community tahun 2016 bahwa perempuan tidak dalam posisi yang beruntung untuk mengakuisisi tanah maupun aset karena lelaki yang memiliki hak sebagai kepala rumah tangga untuk mengontrol harta.
Berdaya berarti tetap mampu menegosiasikan apa yang menjadi kehendak dirinya dan mengamankan aset yang dimiliki karena tidak ada yang bisa memastikan apa yang akan terjadi nanti.
Selain itu, laporan dari UNDP tentang Change Makers: Programming for Gender Equality and Helping Men and Women in Indonesia Shape a Fairer World 2017-2020 juga menyatakan bahwa minimnya pendidikan, tanggung jawab domestik, dan stereotip di masyarakat sekitar yang membuat perempuan tidak bekerja atau bekerja dalam industri formal. Seperempat dari perempuan di Indonesia yang tidak bekerja mengatakan akan bekerja jika bisa menemukan pekerjaan.
Label yang dilekatkan kepada perempuan merugikan apabila sampai membatasi kapasitas untuk berkembang, mengejar keinginan, dan rencana hidup. Padahal, setiap orang memiliki hak dan kesempatan yang sama terlepas apa pun jendernya.
Kedudukan setara
Hasil jajak pendapat juga menunjukkan persepsi positif dari responden mengenai pendidikan perempuan. Mayoritas responden mengaku tidak setuju bahwa perempuan tidak perlu sekolah tinggi-tinggi.
Hal ini mengingat kebebasan menempuh pendidikan merupakan hak setiap orang. Sungguh sangat disayangkan apabila untuk mengakses pendidikan saja harus dilihat dari jenis kelamin.
Di sisi lain terdapat 20,8 persen responden yang setuju bahwa kedudukan perempuan lebih rendah dari laki-laki. Angka ini sebenarnya tidak terlalu mengagetkan mengingat kesetaraan jender masih menjadi pekerjaan panjang di seluruh dunia termasuk di Indonesia.
Berdasarkan laporan Global Gender Gap 2018, Indonesia menduduki peringkat 85 dari 149 negara dengan skor 0,691. Skala yang digunakan antara 0 (disparitas) dan 1 (persamaan). Terdapat empat dimensi yang dinilai, yakni partisipasi dan kesempatan dalam ekonomi, tingkat pendidikan, kesehatan, dan pemberdayaan politik. Jika ditelisik per dimensi, nilai terburuk berada pada tingkat pendidikan dan terbaik pada pemberdayaan politik.
Budaya patriarki yang telah mendarah daging hingga melahirkan stereotip negatif di masyarakat tentu semakin memperlebar jarak kesenjangan jender. Kedudukan perempuan yang dipercaya lebih rendah dari laki-laki membuat perempuan dianggap tidak berkuasa atas dirinya sendiri dan dapat diatur oleh laki-laki.
”Budaya patriarki itu sudah begitu embedded di tiap napas dan kehidupan kita,” ujar Tunggal Pawestri. Ia juga menambahkan, ketika lahir anak perempuan dianggap milik orangtuanya. Saat dibesarkan di keluarga, akan muncul perbedaan perlakuan antara anak laki-laki dan perempuan. Baik dari tingkatan keluarga, sekolah, lingkungan sekitar, maupun negara akan masuk pandangan-pandangan bahwa perempuan bukan makhluk yang punya kuasa atas tubuh dan dirinya sendiri.
Hal ini yang membuat banyak pihak merasa memiliki hak untuk mengatur tubuh perempuan, misalnya penggunaan pakaian tertentu di sekolah bahkan peraturan daerah yang mengatur pakaian perempuan di ruang publik. Padahal, seyogianya perempuan berdaulat atas tubuhnya sendiri.
Budaya patriarki yang telah mendarah daging hingga melahirkan stereotip negatif di masyarakat tentu semakin memperlebar jarak kesenjangan jender.
Sebuah studi yang dilakukan London School of Economics and Political Science selama 20 tahun yaitu dari tahun 1991 hingga 2012 menyatakan bahwa seorang ayah akan lebih kecil kemungkinannya terikat pandangan tradisional dalam jender apabila membesarkan anak perempuan.
Laporan penelitian ini menunjukkan pandangan ayah terhadap peran jender tradisional turun 8 persen ketika anaknya masuk sekolah dasar dan menjadi 11 persen saat masuk sekolah menengah.
Kesimpulan yang didapat dari studi ini bahwa stereotip jender dapat dibentuk pada saat usia dewasa, yakni saat seseorang (khususnya laki-laki) membesarkan anak perempuan. Paparan tidak langsung terhadap label yang merugikan dapat berpotensi untuk mengubah sikap seseorang. Terlebih pandangan tradisional terhadap peran jender dapat menjadi penghalang untuk keseteraan jender.
Pada akhirnya mengubah stereotip jender bukan tidak mungkin dilakukan. Meski membutuhkan proses yang panjang, hal itu bisa dimulai dari kita sendiri. Tidak ada lagi label bahwa perempuan lemah atau berada di bawah laki-laki. Perempuan itu bebas menjadi dirinya sendiri. (Ida Ayu Grhamtika Saitya/Litbang Kompas)