Oposisi Berharap Meraup Ceruk Konstituen di Pemilu 2024
Perubahan lanskap politik nasional masih membuka peluang bagi partai oposisi. Sejumlah elite partai meyakini dapat mendulang ceruk konstituen di Pemilu 2024, terutama dari kalangan yang kritis kepada pemerintah.
Oleh
DHANANG DAVID ARITONANG/SHARON PATRICIA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Partai oposisi di luar pemerintahan Joko Widodo-Ma’ruf Amin berharap mendapat ceruk konstituen di Pemilu 2024. Mereka ingin memanfaatkan peluang setelah bergabungnya Partai Gerindra ke dalam kabinet. Sejumlah elite parpol oposisi yakin bisa meraup suara dari masyarakat yang kritis terhadap pemerintahan.
Sekretaris Jenderal Partai Amanat Nasional Eddy Soeparno menyampaikan, meski menjadi pihak di luar pemerintahan, PAN tetap akan menjadi rumah besar bagi seluruh masyarakat Indonesia. Partai ini tidak ingin terjebak dalam persepsi politik aliran, tetapi bertarung pada tataran politik gagasan. Karena itu, fokus PAN saat ini adalah untuk mencari ceruk pasar dalam peluang 2024.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
”Inilah ceruk pasar PAN, kami harus masuk ke dalam itu kembali. Jangan sampai ada persepsi PAN memainkan politik aliran yang notabenenya politik identitas. Kami tidak mau terperangkap dalam politik identitas, yang kami mau itu politik gagasan,” ujarnya saat dihubungi dari Jakarta, Rabu (23/10/2019).
Menurut Eddy, para pemilih 2024 yang akan didominasi pemilih muda penting untuk disikapi agar PAN dapat menjaring kembali pemilih tradisional. Para pemilih muda ini biasanya kritis terhadap pemerintahan.
Pada pilpres lalu, pasangan Joko Widodo-Amin Ma’ruf mendapat perolehan suara sebanyak 55,50 persen atau 85.607.362 suara. Sementara itu, pasangan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno 44,50 persen atau sebanyak 68.650.239 suara. Para elite parpol di luar pemerintahan pun berharap agar suara untuk Prabowo-Sandi ini bisa beralih ke kubu oposisi pada Pemilu 2024.
Sementara itu, Wakil Ketua Majelis Syuro Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Hidayat Nur Wahid mengatakan, PKS tetap berada di barisan oposisi untuk menjaga suara rakyat. Menurut dia, akan ada kekacauan dalam proses demokrasi jika nantinya semua partai bergabung dalam pemerintahan.
”Masyarakat akan kecewa jika PKS bergabung dalam barisan pemerintah karena mereka tidak akan percaya lagi terhadap demokrasi. Nyatanya, PKS tidak sendiri, ada kawan-kawan dari Partai Demokrat dan PAN yang akhirnya berada di luar pemerintahan,” ucapnya.
Hidayat pun mengaku tidak kecewa dengan bergabungnya Gerindra dalam kabinet pemerintah. Ia pun menghormati keputusan Prabowo untuk menjadi Menteri Pertahanan. ”Sekali lagi, Gerindra bukanlah bawahan PKS dan PKS bukanlah bawahan Gerindra. Tiap parpol memiliki independensi dan masing-masing harus saling menghormati,” ujarnya.
Secara terpisah, Sekjen Partai Demokrat Hinca Panjaitan mengatakan, Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono nantinya akan menyatakan sikap terkait posisinya yang berada di luar pemerintahan. Demokrat akan segera menentukan sikap setelah Agus Harimurti Yudhoyono gagal menjadi menteri dalam kabinet Jokowi-Ma’ruf.
”Sesuai dengan hasil rapat pleno terbatas DPP Partai Golkar pada 23 Oktober 2019, Yudhoyono akan menyampaikan sikap resmi terkait posisi Demokrat ke depannya. Demokrat juga akan serius memperjuangkan aspirasi rakyat agar rakyat bisa memegang kedaulatan yang sejati, mendapat keadilan, dan kebebasan hakiki yang dijamin oleh konstitusi,” ujarnya.
Peneliti politik Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Arya Fernandes, menyampaikan, memang porsi dalam pemerintahan saat ini didominasi oleh partai politik koalisi. Namun, tidak berarti oposisi lemah.
”Meski jumlahnya kecil, tetapi akan cukup aktif mengontrol pemerintahan. Dugaan saya, jumlah yang kecil itu cukup memberikan tantangan juga bagi pemerintah karena tiga partai akan berusaha menjadi oposisi yang ingin berbeda dengan partai di pemerintahan,” tuturnya.
Para oposisi juga tentunya akan memanfaatkan momen ini untuk mengambil ceruk pemilih yang lebih besar menjelang 2024. Namun, memang hingga tahun keempat nanti, posisi pergantian posisi partai politik akan selalu terbuka.
Keadaan ini disebabkan oleh desain kepemiluan yang memang tidak secara pasti akan membentuk partai oposisi yang solid. Tidak juga secara alamiah akan membentuk koalisi yang permanen. Salah satunya ditunjukkan oleh Partai Gerindra yang mengubah posisinya.
Dengan begitu, tentu tidak dapat hanya mengandalkan oposisi untuk menjalankan fungsi check and balances. Namun, peran dari masyarakat sangatlah penting agar setiap kebijakan yang dibuat pemerintah tetap melibatkan masyarakat.
”Kita butuh masyarakat sipil yang kuat, publik yang aktif, dan media yang melakukan fungsi sebagai watch dog atau control pemerintah agar cross check pembuatan kebijakan publik tidak hanya menjadi isu elite tapi ada keterlibatan dari masyarakat,” kata Arya.
Tantangan ke depan bagi Presiden Joko Widodo adalah bagaimana membuat kabinetnya dapat bekerja efektif dengan koalisi yang meski gemuk, tetapi terdiri dari berbagai kepentingan partai politik. Memang tidak mudah, ditambah akan ada kepentingan partai politik menghadapi 2024.
”Maka, Presiden Jokowi harus menjadi presiden yang kuat, yang dapat menjadi jembatan antarkementerian dan lembaga agar program-program pemerintah dapat tetap terealisasi,” tutur Arya.