Produktivitas dan kompetensi dinilai menjadi problem krusial sektor ketenagakerjaan. Pemerintah perlu fokus membenahi mutu tenaga kerja.
Oleh
MEDIANA
·3 menit baca
KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN
Ilustrasi
JAKARTA, KOMPAS — Produktivitas dan kompetensi dinilai menjadi problem krusial sektor ketenagakerjaan. Pemerintah perlu fokus membenahi mutu tenaga kerja.
Sejumlah data menunjukkan bahwa pasar tenaga kerja Indonesia belum memenuhi kebutuhan industri. Kompetensi, produktivitas, dan etos kerja menjadi masalah yang berulang disuarakan dan dinilai mendesak dibenahi untuk mengoptimalkan jumlah angkatan kerja yang relatif besar.
Sebanyak 85-90 persen tenaga kerja yang dibutuhkan industri merupakan tenaga pelaksana. Namun, mayoritas lulusan perguruan tinggi dicetak jadi perencana dan pemikir. Tenaga pelaksana umumnya lulusan politeknik atau program diploma perguruan tinggi. Namun, jumlah politeknik hanya 6 persen dari total perguruan tinggi (Kompas, 12/9/2019).
Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri Indonesia Bidang Ketenagakerjaan dan Hubungan Industrial Anton J Supit, di Jakarta, Senin (21/10/2019), menekankan perlunya desain besar sistem vokasi yang menyasar industri sekaligus institusi pendidikan. Kurikulumnya terdiri dari 70 persen praktik dan 30 persen teori yang berkaitan dengan praktik.
Selain melibatkan pemerintah pusat, pemerintah daerah, pelaku industri, dan kelompok pekerja, desain sistem vokasi juga mesti melihat kebutuhan industri di daerah. Sekolah vokasi idealnya berdekatan dengan lokasi perusahaan. Kompetensi yang diajarkan memperhatikan kebutuhan industri.
Menurut Anton, Indonesia bisa mulai dari mengubah pola pikir vokasi dari program ke sistem. Pelaku industri pun perlu mengganti paradigma dari ”membajak” tenaga terampil menjadi menyediakan diri melatih dan terlibat mendidik.
Ekonom Institute For Development of Economics and Finance Ahmad Heri Firdaus menyoroti alokasi anggaran pendidikan yang mencapai 20 persen APBN, tetapi hasilnya terhadap pasar tenaga kerja masih belum sesuai harapan. Dia mencontohkan, lebih dari 50 persen angkatan kerja nasional berlatar belakang pendidikan SMP dan SD.
Sebagian besar pengangguran merupakan lulusan SMU (27,57 persen) dan SMK (24,74 persen). Selain itu, pengangguran dari lulusan universitas juga besar (10,42 persen). Tingkat pengangguran dari SMK dan universitas mengalami tren kenaikan sejak 2013.
Perencanaan
Tahun lalu, Bank Dunia merilis Indeks Pembangunan Manusia (IPM) 2018 di mana Indonesia berada di peringkat ke-87 dari 157 negara. Sementara Vietnam di peringkat ke-48, Malaysia ke-55, Thailand ke-65, dan Filipina ke-84. Indonesia memperoleh skor 0,53 yang berarti dari anak yang lahir, 53 persen di antaranya akan jadi manusia produktif dengan tingkat pendidikan dan kesehatan memadai. Bandingkan dengan Vietnam 63 persen, Malaysia 62 persen, dan Thailand 60 persen.
Indeks Pembangunan Ketenagakerjaan (IPK) nasional juga belum beranjak signifikan. Pada tahun 2011, IPK nasional 49,92 dan termasuk kategori rendah. Pada tahun ini, IPK secara nasional mencapai 61,01 (kategori menengah bawah) dengan indikator yang memperoleh nilai rendah yakni kondisi lingkungan kerja, hubungan industrial, dan produktivitas tenaga kerja.
KOMPAS/WAWAN H PRABOWO
Pekerja menyelesaikan produksi sepatu di industri pembuatan sepatu di Tangerang, Banten, Selasa (30/4/2019).
IPK dikeluarkan Kementerian Ketenagakerjaan dengan tujuan utama mengetahui kualitas pembangunan tenaga kerja di provinsi. Pengukurannya menggunakan kuesioner dengan sembilan indikator, antara lain perencanaan, pelatihan, dan produktivitas tenaga kerja. Indikator diklaim menyesuaikan tujuan kedelapan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs), yaitu kerja layak dan pertumbuhan ekonomi.
Kepala Badan Perencanaan dan Pengembangan Ketenagakerjaan Kementerian Ketenagakerjaan Tri Retno Isnaningsih, yang ditemui di Jakarta, Jumat (18/10/2019), menilai, ketenagakerjaan masih dianggap isu pinggiran.
”Oleh karena belum menjadi arus utama, perencanaan ketenagakerjaan minim. Sejumlah provinsi mendapat nilai rendah di indikator itu. Padahal, perencanaan tenaga kerja merupakan hal mendasar,” ujar Tri.
Selain terkait perencanaan, terpinggirkannya isu ketenagakerjaan berpengaruh pada upaya memajukan balai-balai latihan kerja (BLK) sebagai tempat mengakselerasi kompetensi pekerja. Pada akhir 2018 terdapat 21 BLK milik kementerian dan 284 milik pemerintah daerah. Namun, lebih dari 100 BLK di antaranya membutuhkan perbaikan. (MED)