Pengamat pemerintahan menilai ketidakpastian pelantikan bupati dan wakil bupati Kepulauan Talaud terpilih, Elly Lasut dan Moktar Parapaga, sebagai malaadministrasi pemerintahan.
Oleh
Kristian Oka Prasetyadi
·4 menit baca
MANADO, KOMPAS — Pengamat pemerintahan menilai ketidakpastian pelantikan bupati dan wakil bupati Kepulauan Talaud terpilih, Elly Lasut dan Moktar Parapaga, sebagai malaadministrasi pemerintahan. Keputusan pemerintah provinsi Sulawesi Utara untuk melantik ataupun tidak melantik sama-sama dapat berujung pada pelanggaran hukum.
Pengajar Ilmu Pemerintahan Universitas Sam Ratulangi (Unsrat), Ferry Liando, menyebut langkah Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) merevisi surat keputusan (SK) pemberhentian Elly Lasut dari jabatan Bupati Kepulauan Talaud 2009-2014 sebagai bentuk malaadministrasi.
”Mendagri (Tjahjo Kumolo) mesti memberi jawaban mengapa SK itu dikeluarkan,” kata Ferry ketika dihubungi dari Manado, Sabtu (19/10/2019).
Elly Lasut terpilih dua kali sebagai Bupati Kepulauan Talaud pada periode 2004-2009 dan 2009-2014. Di periode kedua, ia diberhentikan sementara dari jabatannya per 27 Agustus 2010 karena menjadi terpidana korupsi dana Gerakan Daerah Orang Tua Asuh. Wakilnya saat itu, Constantine Ganggali, mengambil alih jabatannya dengan status pelaksana tugas.
Jabatan Plt bupati dipegang Constantine hingga akhir masa jabatan pada 2014. Posisi bupati Kepulauan Talaud beralih ke Sri Wahyumi Manalip, pemenang Pilkada 2013. Itu disahkan dengan SK Mendagri Nomor 131.71-3200 pada 24 Juni 2014 yang berisi pemberhentian Elly dan Constantine.
Ferry mengatakan, SK Mendagri itu adalah dasar utama untuk menetapkan Elly telah menjabat bupati Kepulauan Talaud selama dua periode. ”Jadi, dia digantikan bukan hanya karena masalah hukum (korupsi), melainkan juga karena habis masa jabatan,” katanya.
Kedua, Constantine tidak pernah diangkat menjadi bupati definitif menggantikan Elly, tetapi hanya pelaksana tugas. Artinya, kata Ferry, posisi bupati masih dipegang Elly hingga akhir masa jabatan pada 2014.
”Ketiga, Pemprov Sulut tidak pernah meminta Mendagri untuk menggantikan posisi bupati saat itu. Jadi, bisa kita simpulkan, Elly Lasut sudah menjabat dua periode,” kata Ferry.
Akan tetapi, pada 2 Juni 2017, Mendagri mengeluarkan SK Nomor 131.71-3241 untuk merevisi SK yang dikeluarkan pada 2014. Elly dinyatakan belum genap menjabat dua periode. SK ini dijadikan syarat pencalonan dalam Pilkada 2018.
”Dasar hukum, kajian hukum, dan motif politik Mendagri untuk merevisi SK itu harus dipertanyakan. Apalagi, revisi dikeluarkan saat Elly sedang menggugat SK itu di Mahkamah Agung. KPUD tidak menelusuri lebih dulu sebelum menerimanya sebagai syarat pencalonan,” tutur Ferry.
Dihubungi pada Juli lalu, Ketua KPUD Talaud 2019-2024 Aripatria Pandesingka menyatakan, proses pencalonan Elly Lasut sudah sesuai Pasal 4 Ayat (1) Peraturan KPU Nomor 3 Tahun 2017. ”Enggaklah kalau KPU kebobolan,” katanya (Kompas, 22 Juli 2019).
Sementara itu, Asisten I Gubernur Sulut Bidang Pemerintahan dan Kesejahteraan Rakyat Edison Humiang mengatakan, kajian hukum biro hukum pemprov juga menyimpulkan Elly telah menjabat dua periode.
”Berita acara serah terima jabatan pada 2014 terjadi antara Sri Wahyumi dan Elly Lasut, bukan dengan Constantine Ganggali,” kata Edison.
SK tahun 2014 itu juga menyebutkan putusan kasasi Mahkamah Agung (MA) Nomor 1122 K/Pid.Sus/2011 pada 10 Agustus 2011 sebagai dasar pemberhentian Elly karena terbukti terlibat korupsi. Artinya, pengumuman pemberhentian Elly berdasarkan putusan MA pada 2011 baru diumumkan pada 2014, bertepatan dengan akhir masa jabatan. Sebelumnya, ia hanya diberhentikan sementara per 27 Agustus 2010.
Elly sudah menggugatnya ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Jakarta pada 2016, tetapi ditolak. Ia lalu mengajukan banding ke MA. Sebelum MA memutus gugatan banding Elly, Mendagri menerbitkan revisi pada 2017 yang berlaku surut sejak 10 Agustus 2011. MA pun akhirnya tetap menolak gugatan Elly.
”Itu fakta hukum yang telah kami temukan. Elly Lasut sudah menjabat dua periode,” kata Edison.
Dilantik
Atas dasar kajian itu, Biro Hukum Pemprov Sulut merekomendasikan Gubernur Sulut Olly Dondokambey agar berhati-hati mengambil keputusan pelantikan Elly-Moktar. Kajian hukum itu dibuat atas permintaan Welly Titah dan Heber Pasiak, lawan elektoral Elly-Moktar di Pilkada 2018.
Ferry mengatakan, revisi SK ini menimbulkan dilema bagi pemprov Sulut. ”Harus hati-hati dalam melantik orang yang bermasalah hukum. Kalau jadi melantik, bisa saja akan ada pihak yang menggugat gubernur,” katanya.
Harus hati-hati dalam melantik orang yang bermasalah hukum. Kalau jadi melantik, bisa saja akan ada pihak yang menggugat gubernur.
Di saat yang sama, Elly-Moktar sudah terpilih dan Olly tidak punya pilihan lain untuk melantik. Gubernur wajib melantik bupati dan wali kota sesuai UU No 24/2014 tentang Pemerintah Daerah. UU No 10/2016 tentang Pilkada juga tidak menyebutkan cara membatalkan keterpilihan seorang kepala daerah kecuali karena meninggal dunia, ada putusan hukum inkrah, atau mengundurkan diri.
”Ada kekosongan norma hukum di sini sehingga situasi jadi dilematis. Gubernur melantik salah, tidak melantik juga salah. Pihak yang harus bertanggung jawab di sini adalah Mendagri,” kata Ferry.
Di lain pihak, Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Otonomi Daerah di Kemendagri Akmal Malik enggan memberi tanggapan. Pihaknya sudah meminta Olly melantik Elly-Moktar dua kali dengan mengirim surat pada 1 Juli dan 5 Agustus.
Ia hanya menegaskan, UU Pemda mewajibkan gubernur melantik bupati. ”Kalau gubernur tidak melantik, apa maknanya? Ya, melanggar UU,” katanya.
UU Pemda tidak menyebutkan sanksi yang dapat dijatuhkan kepada gubernur jika menolak melantik bupati. Namun, tugas itu bisa diambil alih oleh Mendagri.