Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, agama mestinya menjadi faktor pemersatu antarelemen masyarakat. Persatuan adalah modal penting dalam membangun negeri dan menghadapi berbagai tantangan.
Oleh
Rini Kustiasih
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, agama mestinya menjadi faktor pemersatu antarelemen masyarakat. Persatuan adalah modal penting dalam membangun negeri dan menghadapi berbagai tantangan.
Imam Besar Masjid Istiqlal Nasaruddin Umar mengatakan, agama menjadi salah satu isu yang perlu ditanggapi dan diurus dengan serius oleh para pemimpin negeri. Pasalnya, upaya memecah belah bangsa atas dasar sentimen agama dapat diembuskan pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab.
”Kita harus menjadikan agama sebagai faktor sentripetal, bukan faktor sentrifugal, dalam memandang persatuan. Faktor sentripetal itu artinya ada pergerakan naik ke atas, seperti teori jari-jari. Jadi, yang berbeda-beda itu menyatu, bukan sentrifugal yang pergerakannya menyebar ke luar,” kata Nasaruddin saat memberikan kuliah kebangsaan bersama dengan Uskup Agung Jakarta Kardinal Ignatius Suharyo, dalam acara syukuran empat tahun PARA Syndicate, Kamis (17/10/2019), di Jakarta.
Kita harus menjadikan agama sebagai faktor sentripetal, bukan faktor sentrifugal, dalam memandang persatuan.
Acara kuliah kebangsaan dengan tema ”Kita Bersatu Membangun Indonesia” itu dipandu budayawan Mohamad Sobary yang juga membawakan dongeng kebudayaan.
Nasaruddin mengatakan, agama sebagai faktor sentripetal, antara lain, telah berhasil mengantarkan Indonesia pada kemerdekaan. Semua warga, apa pun agamanya, sama-sama berjuang dan memompakan semangat untuk mencapai kemerdekaan. ”Jangan menekankan perbedaan agama satu dengan yang lain karena itu dampaknya dahsyat. Agama itu seperti nuklir, yang bisa menghancurkan Hiroshima dan Nagasaki. Namun, di sisi lain, nuklir juga bisa menjadi tenaga listrik yang murah,” tuturnya.
Cinta Tanah Air
Kardinal Ignatius Suharyo mengatakan, setiap manusia yang beriman, yang berwatak ilahiah, pasti mencari jalan persatuan. Rasa cinta Tanah Air menjadi hal yang perlu terus dijaga, yang di kalangan umat Katolik antara lain ditunjukkan dengan adanya doa syukur Tanah Air.
Hanya di Gereja Katolik Indonesia ada doa syukur untuk Tanah Air. Di negara lain, tidak ada. Isi dari doa itu menggambarkan tiga tonggak perjuangan bangsa, mulai dari pergerakan nasional, Sumpah Pemuda, dan proklamasi. Ingatan bersama itu dinilai sangat penting dan dimaknai mendalam oleh umat Katolik.
Hanya di Gereja Katolik Indonesia ada doa syukur untuk Tanah Air. Di negara lain, tidak ada.
Sementara itu, Mohamad Sobary dalam dongeng kebudayaannya mengingatkan pentingnya hati nurani dalam menciptakan keadilan. Ia mengutip syair yang ditulis Ronggowarsito, yang mengisahkan bahaya keserakahan yang membingkai rohani. ”Indonesia memerlukan orang-orang yang mengabdi untuk kepentingan bangsa dan negara. Mereka yang tidak takut pada apa yang menghalangi di depan, sekalipun ia tidak memiliki pelindung,” ujarnya.
Direktur Eksekutif PARA Syndicate Ari Nurcahyo mengatakan, persatuan Indonesia harus menjadi pesan yang hidup dalam tindakan bernegara dan berpolitik di Indonesia.