Lahan Terdampak Meluas, Petakan Stok Beras secara Akurat
Kemarau panjang dinilai mengganggu produksi pangan. Jadwal tanam mundur dan terganggu, sementara luas panen dan produksi berkurang. Oleh karena itu, pemerintah perlu memetakan stok secara akurat untuk antisipasi gejolak.
Oleh
M Paschalia Judith
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kemarau panjang dinilai mengganggu produksi pangan. Jadwal tanam mundur dan terganggu. Sementara luas panen dan produksi berkurang. Oleh karena itu, pemerintah perlu memetakan stok secara akurat untuk mengantisipasi potensi gejolak di masa paceklik, terutama pada akhir 2019 hingga awal 2020.
Sejumlah petani, kelompok tani, peternak, pengusaha penggilingan, pedagang, dan pemerintah daerah di Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Sulawesi Selatan, yang ditemui Kompas, pada Rabu-Minggu pekan lalu, menyatakan, kekeringan menyebabkan penurunan luas panen, produktivitas, dan kerugian produsen.
Menurut data Kementerian Pertanian, luas lahan padi yang terdampak kekeringan sepanjang Januari hingga awal Oktober 2019 mencapai 264.968 hektar, seluas 70.201 hektar di antaranya puso. Angka itu lebih tinggi dibandingkan lahan terdampak kekeringan pada Januari-Oktober 2018 yang mencapai 180.880 hektar dan luas tanaman padi puso 38.455 hektar.
Luas panen dan produksi pun terganggu. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, luas panen padi sepanjang Januari-September 2019 mencapai 8,99 juta hektar, turun dibandingkan periode yang sama tahun lalu yang 9,53 juta hektar. Adapun produksi beras selama kurun Januari-September turun dari 28,48 juta ton (2018) menjadi 26,91 juta ton (2019).
Menurut Ketua Dewan Penasihat Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia Bayu Krisnamurthi, dampak kekeringan terhadap produksi pangan perlu disadari bersama sebagai masalah yang tak bisa disepelekan. ”Dalam jangka pendek, perlu konsolidasi antara pemerintah dan pelaku usaha sektor pangan, tak cukup dengan melihat stok (beras) Perum Bulog yang hanya 8-9 persen dari stok dan stok Pasar Induk Beras Cipinang,” ujarnya.
Konsolidasi itu berupa pendataan stok gabah dan beras secara obyektif. Termasuk stok beras yang ada di pedagang dan gudang milik swasta. Selanjutnya, pemerintah bersama pelaku usaha memetakan ketersediaan beras dan gabah secara nasional. Dengan demikian, daerah yang surplus dan defisit teridentifikasi.
Daerah yang defisit beras mesti langsung memperoleh penyaluran dari daerah surplus terdekat. Apabila stok di tingkat nasional berpotensi defisit, keputusan impor menjadi pilihan terakhir.
Pemerintah dinilai perlu berkaca pada situasi tahun 2015 dan 2017. Ketidakakuratan data pangan dianggap mengacaukan pengambilan keputusan. Termasuk keputusan untuk mengimpor beras yang dinilai terlambat. Beras impor tiba ketika petani panen dan gejolak harga telah berlangsung di pasar.
Sejak tahun lalu, pemerintah menggunakan metode kerangka sampel area untuk menghitung produksi beras. Metode ini dinilai lebih akurat untuk menggambarkan situasi lapangan. Menurut Deputi Bidang Statistik Produksi BPS M Habibullah, angka proyeksi produksi Oktober-Desember 2019 masih menunggu verifikasi luas baku sawah di Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional.
Tak khawatir
Kepala Badan Ketahanan Pangan Kementerian Pertanian Agung Hendriadi menyatakan, stok beras mencukupi kebutuhan hingga Maret 2020. ”Indikatornya, stok (beras) Bulog yang saat ini sekitar 2,5 juta ton. Penyerapannya 3.000-4.000 ton per hari, sedangkan jumlah beras yang keluar 2.000-3.000 ton per hari. Artinya, keseimbangan stok terjaga. Selain itu, belum ada provinsi yang meminta operasi pasar hingga saat ini,” kata Agung.
Dalam rangka mengatasi dampak kekeringan pada Januari-Maret 2020, lanjut Agung, Kementerian Pertanian merealisasikan luas tanam 1 juta hektar pada September 2019. Pihaknya juga menargetkan luas tanam 1 juta hektar per bulan selama kurun Oktober-Desember 2019.
”Kami telah mengidentifikasi wilayah-wilayah yang curah hujannya rendah untuk ditanami padi gogo. Perkiraannya, 1 juta hektar lahan tanam itu menghasilkan 3 juta ton beras. Angka ini berada di atas rata-rata konsumsi beras nasional yang berkisar 2,5 juta ton per bulan,” ujarnya.
Menurut Direktur Utama Perum Bulog Budi Waseso, pihaknya menjaga stok beras setidaknya 1 juta ton pada akhir Maret 2020. Dia optimistis stok beras yang ada saat ini mencukupi kebutuhan hingga panen raya pada April 2020.
Sebelumya, Direktur Pengadaan Perum Bulog Bachtiar menyatakan, penyerapan gabah/beras dari produksi dalam negeri akan mengandalkan sentra-sentra di luar Jawa yang relatif tidak terdampak kekeringan. Bulog memperkirakan menyalurkan cadangan beras pemerintah sebanyak 1,15 juta ton untuk operasi pasar dan bantuan pangan nontunai sepanjang Oktober-Desember 2019.
Menurut Deputi Bidang Koordinasi Pangan dan Pertanian Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Musdhalifah Machmud, kondisi stok Bulog saat ini cenderung lebih baik dibandingkan tahun 2017. Dia optimistis potensi kelangkaan stok beras dapat diantisipasi melalui operasi pasar dengan mengandalkan cadangan beras pemerintah yang dikelola Perum Bulog. (JUD/MEL/IKI/XTI/BRO/GER/REN)