JAKARTA, KOMPAS - Rencana Majelis Permusyawaratan Rakyat mengamendemen terbatas Undang-Undang Dasar 1945 demi menghidupkan lagi kewenangan mengatur pokok-pokok haluan negara perlu diwaspadai. Hal itu dalam jangka panjang bisa menyandera sistem presidensial serta menyebabkan instabilitas politik.
Untuk menghindari hal itu, pedoman pembangunan nasional jangka panjang dinilai tak perlu diatur lewat amendemen terbatas UUD 1945. Undang-Undang Nomor 17 tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005-2025 dinilai sudah cukup untuk mengatur konsep pembangunan jangka menengah dan jangka panjang.
Menurut Peneliti Pusat Studi Konstitusi Universitas Andalas Khairul Fahmi, Kamis (10/10/2019), menghidupkan lagi kewenangan MPR mengatur pokok-pokok haluan negara, bertentangan dengan penguatan sistem presidensial. Meski tidak secara gamblang memosisikan Presiden sebagai mandataris MPR, wacana itu tetap akan kembali menjadikan MPR sebagai lembaga tertinggi.
Terlebih, jika pokok-pokok haluan negara yang ditetapkan MPR itu bersifat mengikat Presiden. Kekuatan oligarki partai-partai politik yang ada di MPR bisa menyandera Presiden jika Presiden dianggap melenceng dari pokok haluan negara yang sudah diatur MPR.
“Kita sudah pernah memiliki pengalaman buruk dengan sistem seperti itu, maka jangan kembali lagi. Kalau sekarang ada kelemahan dalam sistem presidensial kita, perbaikannya tidak perlu sampai mengamendemen UUD 1945,” katanya.Khairul mengatakan, rencana amendemen perlu diwaspadai karena ditengarai ada agenda politik lain di balik itu.
Dua opsi
MPR Periode 2019-2024 masih berkukuh pada rencana awal mengkaji rekomendasi amendemen UUD 1945. Ada dua opsi yang muncul, yakni antara mengamendemen UUD 1945 dan mengembalikan kewenangan MPR untuk mengeluarkan pokok haluan negara, atau mengaturnya melalui undang-undang saja.
Menurut Wakil Ketua MPR Arsul Sani, jika pokok haluan negara diatur melalui ketetapan MPR, konsekuensinya ialah presiden sampai kepala daerah terikat pada peta jalan itu. “Kalau bentuknya TAP MPR, maka seharusnya memang ada sanksi. Tetapi, tidak harus dalam bentuk pemakzulan,” kata Arsul.
Untuk menindaklanjuti rekomendasi amendemen UUD 1945, kemarin, pimpinan MPR berkunjung ke kediaman Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarnoputri. Di samping menyampaikan undangan pelantikan presiden-wakil presiden, pimpinan MPR juga meminta masukan Megawati terkait wacana amendemen. Pimpinan MPR juga akan mengunjungi ketua umum partai politik lain selain Megawati.
Ketua MPR Bambang Soesatyo mengatakan, semua unsur pimpinan MPR bersama Megawati sepakat, amendemen dilakukan secara terbatas hanya untuk menghidupkan lagi haluan negara. Menurut dia, haluan negara perlu dikembalikan sebagai acuan pembangunan lintas periode kepemimpinan.
Ke depan, visi-misi pemimpin, mulai dari Presiden sampai kepala daerah, harus mengacu pada satu peta jalan pembangunan nasional yang digariskan MPR.
Dengan begitu, pembangunan nasional bisa berjalan berkesinambungan meski berganti periode kepresidenan.
Saat ini, Badan Pengkajian MPR ditugaskan menampung masukan publik, termasuk dari akademisi.