Bioskop Rakyat di Pasar Tradisional Belum Ramai Penonton
Setelah beroperasi selama hampir empat bulan, jumlah penonton bioskop rakyat di Pasar Jaya Teluk Gong, Jakarta Utara, masih sedikit. Hal itu terjadi karena masih banyak masyarakat yang belum mengetahui biokop itu.
Oleh
Ayu pratiwi
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Setelah beroperasi selama hampir empat bulan, jumlah penonton bioskop rakyat di Pasar Jaya Teluk Gong, Jakarta Utara, masih sedikit. Hal itu terjadi karena masih banyak masyarakat yang belum mengetahui keberadaan bioskop tersebut.
Meskipun begitu, bioskop rakyat itu berpotensi menarik penonton dari kalangan menengah ke bawah dan generasi muda. Sebab, harga tiket bioskop rakyat itu lebih murah dari bioskop-bioskop pada umumnya.
Petugas tiket Indiskop Pasar Jaya Teluk Gong, Citra Wulandari, Rabu (9/10/2019), mengatakan, jumlah penonton bioskop saat ini masih sedikit, yaitu rata-rata sekitar 20 orang per hari. Jumlah penonton terbanyak dalam sehari sekitar 50 orang.
Padahal bioskop itu mampu memuat 110 penonton. "Keberadaan bioskop itu belum banyak diketahui warga sekitar. Kami terus berusaha mempromosikan bioskop dengan menyebarkan pamflet," kata dia.
Indiskop diresmikan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan pada Senin lalu. Bioskop itu disebut sebagai "Bioskop Rakyat pertama di Jakarta". Bioskop itu dibangun melalui kerja sama antara Perumda Pasar Jaya, PT Kreasi Anak Bangsa (Keana Films-Production), dan Badan Ekonomi Kreatif Indonesia (Bekraf).
Tiket bioskop yang memiliki dua studio itu lebih murah dibandingkan bioskop-bioskop pada umumnya. Pada Senin-Jumat, harga tiket Rp 18.000 per orang, sedangkan pada Sabtu-Minggu Rp 25.000 per orang. Bioskop dibuka pada pukul 13.00 hingga 19.00.
Ke depan, bioskop rakyat juga akan dibangun di pasar lain di Jakarta. "Indiskop ini menjadi kesempatan bagi masyarakat Jakarta untuk bisa menonton di bioskop dengan harga terjangkau. Jadi, ini sebuah babak baru untuk membangun kesetaraan," kata Anies dalam keterangan pers.
Virna (20), warga yang tinggal tidak jauh dari Pasar Jaya Teluk Gong, menyambut baik bioskop yang baru dibuka di pasar itu. "Harganya murah. Lumayan buat iseng-iseng sama teman," ujarnya.
Sayangnya, suasana bioskop masih sepi dan hampir tidak ada penonton. Virna dan temannya pun menunda nonton film di sana karena merasa kurang nyaman apabila hanya ada mereka berdua yang nonton.
Salah satu pengunjung, Alifia (14) mengaku senang dengan bioskop itu karena harga tiketnya murah dan lokasinya dekat rumah. “Senang, soalnya harga tiketnya murah dan dekat dari rumah, jadi kalau mau menonton mudah,” kata dia.
Film Indonesia
Saat ini, bioskop rakyat menayangkan film-film nasional. Beberapa film karya anak bangsa yang dityangkan adalah Ambu yang dirilis pada Mei 2019 dan Nina Bobo yang dirilis pada Maret 2014.
Citra mengatakan, untuk sementara ini, bioskop itu hanya menayangkan film lokal. Film itu akan diganti setiap seminggu atau sebulan.
"Selain menayangkan film, bioskop ini ke depan juga akan menggelar ruang kreatif, di mana peserta bisa belajar mengenai pembuatan film," kata dia.
Selain menayangkan film, bioskop ini ke depan juga akan menggelar ruang kreatif, di mana peserta bisa belajar mengenai pembuatan film.
Ketua Gabungan Pengusaha Bioskop Indonesia (GPBSI) Djonny Syafruddin menyambut baik kehadiran bioskop rakyat. Bioskop itu memberikan lebih banyak kesempatan kepada masyarakat menengah ke bawah untuk bisa menikmati hiburan menonton film.
"Harga tiket di bioskop itu lebih murah ketimbang bioskop besar yang harga tiketnya berkisar antara Rp 35.000 per orang-Rp 50.000 per orang. Ini menjadi suatu hadiah tersendiri bagi rakyat untuk mendapatkan hiburan di bioskop," ucap Djonny.
Sementara itu, Pengamat Film Tony Arief menyampaikan, bioskop di pasar bisa menjadi tujuan yang cukup menarik bagi kaum muda. Mereka kerap dan senang mencoba hal-hal baru.
"Enggak selamanya anak muda nonton di bioskop grup besar, seperti Cinema XXI. Yang dikejar adalah filmnya," ujarnya.
Enggak selamanya anak muda nonton di bioskop grup besar, seperti Cinema XXI. Yang dikejar adalah filmnya.
Meskipun Indoskop hanya menayangkan film lokal, bagi Tony, hal tersebut bukan masalah karena film lokal sudah mampu menyaingi film luar negeri. "Film nasional sudah cukup kuat. Film Dilan 1990 misalnya sukses ditonton sekitar 6 juta orang," ujarnya.
Kenyamanan dan kebersihan
Djonny menekankan, meskipun harga tiket bioskop di pasar lebih murah, bukan berarti kenyamanan serta kebersihan penonton dikompromikan. Saat ini misalnya, kualitas layar serta sistem audio Indiskop tidak sebagus bioskop besar lain yang tiketnya lebih mahal.
Pendingin udara atau AC juga tidak disediakan di lobi dan hanya di dalam studio. Kebersihan dan kenyamaan toilet juga masih menjadi pekerjaan rumah.
"Kekurangan itu mungkin sesuai dengan harga tiket yang lebih rendah. Namun, kita tidak boleh mengabaikan pelayanan. Tiket yang terlalu murah bisa menimbulkan risiko operasional pada jangka panjang," kata Djonny.
Tony menambahkan, lokasi dan kualitas bioskop merupakan beberapa faktor yang dipertimbangkan pengusaha saat memutuskan di mana filmnya hendak ditayangkan. Pengusaha film juga ingin mendapatkan uang.
"Harga tiket juga diperhitungkan, karena bagi-bagi hasil. Kalau bioskopnya biasa saja, malas kan? Bioskop itu harus nyaman. Kenikmatan nonton film harus diutamakan," tuturnya.