Ketimpangan Penyetaraan Pangkat Prajurit TNI dan Polri ke PNS Disebut Hoaks
Ketimpangan prajurit TNI dan Polri saat disetarakan dengan pangkat pegawai negeri sipil dibantah pemerintah dan disebut hoaks. Hoaks dikhawatirkan jadi alasan dan alat perlindungan bagi kebijakan yang tidak tepat.
Oleh
INSAN ALFAJRI dan NIKOLAUS HARBOWO
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi dan Kepolisian RI membantah surat tertanggal 18 Juli 2019 dan 3 September 2019 berisi susunan penyetaraan pangkat personel TNI-Polri dengan pangkat pegawai negeri sipil. Dalam surat itu, ada ketimpangan antara personel TNI dan Polri saat disetarakan dengan pangkat pegawai negeri sipil.
Markas Besar Kepolisian RI melalui akun resminya di Twitter, @DivHumas_Polri, mengunggah foto yang menunjukkan kedua surat itu, dan tertulis kata hoaks di atasnya. Gambar foto kedua surat pun dibuat buram. Di sampingnya, diunggah surat yang benar, tertanggal 7 Oktober 2019. Cuitan Divisi Humas Polri itu diunggah pada Senin (7/10/2019) malam.
Namun belum ada respon dari Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri Brigadir Jenderal Dedi Prasetyo terkait hal ini. Begitu pula Kepala Bagian Penerangan Umum Humas Polri Komisaris Besar Asep Adi Saputra. Kompas berulangkali menghubungi keduanya tetapi belum diberi ruang untuk menjelaskan permasalahan tersebut.
Sementara Sekretaris Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan RB) Dwi Wahyu Atmaji, Selasa (8/10/2019), membenarkan kedua surat yang dikeluarkan Juli dan September 2019, merupakan hoaks. Menurutnya, yang betul, surat tertanggal 7 Oktober 2019.
Namun dia pun enggan menjelaskan lebih lanjut, termasuk terkait beredarnya dua surat yang disebut hoaks.
Adapun saat Kompas mengonfirmasi surat itu ke Badan Kepegawaian Negara (BKN), Kepala BKN Bima Haria Wibisana justru menyatakan, tidak mengetahuinya. Padahal BKN menjadi salah satu pihak penerima surat dalam surat tertanggal 7 Oktober 2019. "Saya baru lihat," ujar Bima.
Pada Senin (7/10/2019), saat kedua surat beredar di publik, Kompas sudah mencoba menghubungi pejabat-pejabat di Kemenpan RB. Namun mereka pun menolak menjelaskan. Kepala Biro Hukum, Komunikasi, dan Informasi Publik Kemenpan RB Andi Rahadian berdalih akan menceknya.
"Saya cek dulu ke deputi terkait," katanya. Menurutnya, hal itu diurus oleh Kedeputian Sumber Daya Manusia (SDM) Aparatur Kemenpan RB. Namun hingga hari ini, tak ada penjelasan darinya ataupun pejabat lain di Kemenpan RB. Ini termasuk Menpan RB Syafruddin. Pesan singkat Kompas ke nomor ponselnya, tak dibalas olehnya.
Dalam surat bernomor B/144/M.SM.02.03/2019, tertanggal 18 Juli 2019, berisi susunan penyetaraan pangkat prajurit TNI dengan pegawai negeri sipil, dan surat bernomor B/225/M.SM.02.03/2019, 3 September 2019, yang berisi susunan penyetaraan untuk Polri, terdapat ketimpangan saat pangkat prajurit TNI dan Polri disetarakan dengan pangkat pegawai negeri sipil (PNS).
Personel TNI berpangkat kolonel misalnya, saat disetarakan ke pangkat PNS, menjadi pembina tingkat I atau pembina yang bisa mengisi jabatan administrator. Adapun personel Polri berpangkat komisaris besar yang pangkatnya setara dengan kolonel, justru mendapat pangkat lebih tinggi saat disetarakan ke pangkat PNS, yaitu pembina utama muda, dan dapat mengisi jabatan pimpinan tinggi pratama yang lebih tinggi dari administrator.
Selain itu, mayor ditulis setara dengan pangkat penata di PNS yang dapat mengisi jabatan pelaksana. Adapun level pangkat yang sama di Polri, yaitu komisaris polisi memperoleh pangkat lebih tinggi, pembina, dan dapat mengisi jabatan administrator yang lebih tinggi dari jabatan pelaksana.
Kedua surat ditandatangani oleh Menpan RB Syafruddin.
Namun ketimpangan penyetaraan itu tak terlihat di surat bernomor B/313/M.SM.02.03/2019 tanggal 7 Oktober 2019, yang berisi persetujuan penetapan pangkat prajurit TNI yang menduduki jabatan ASN tertentu pada instansi pusat tertentu, dan ditandatangani oleh Syafruddin.
Di surat tersebut, penyetaraan pangkat personel TNI ke pangkat PNS sudah setara dengan penyetaraan pangkat personel Polri ke PNS.
Hanya saja dalam surat itu diterangkan Kemenpan RB menyetujui usulan perubahan penyetaraan penetapan pangkat prajurit TNI dari yang semula tertuang dalam surat tertanggal 18 Juli 2019.
"Sebagaimana dengan surat persetujuan kami nomor B/144/M.SM.02.03/2019 tanggal 18 Juli 2019 tentang persetujuan penetapan pangkat prajurit TNI yang menduduki jabatan ASN pada instansi pusat tertentu, bersama ini kami sampaikan bahwa pada prinsipnya kami dapat menyetujui usulan perubahan penyetaraan penetapan pangkat prajurit TNI untuk menduduki jabatan ASN pada instansi pusat tertentu sebagaimana daftar susunan penyetaraan pangkat terlampir," demikian petikan surat dari Kemenpan RB yang ditujukan ke Panglima TNI tersebut.
Sebagaimana dengan surat persetujuan kami nomor B/144/M.SM.02.03/2019 tanggal 18 Juli 2019 tentang persetujuan penetapan pangkat prajurit TNI yang menduduki jabatan ASN pada instansi pusat tertentu, bersama ini kami sampaikan bahwa pada prinsipnya kami dapat menyetujui usulan perubahan penyetaraan penetapan pangkat prajurit TNI untuk menduduki jabatan ASN pada instansi pusat tertentu.
Hoaks jadi tameng
Dihubungi terpisah, pengamat komunikasi dari Universitas Paramadina, Hendri Satrio mendesak pemerintah untuk memberikan data dan fakta yang tepat. Masyarakat akan susah mempercayai klaim hoaks ketika surat-surat tersebut berkop dan bertanda tangan resmi.
Jika memang ada kebijakan yang masih diperdebatkan, alangkah baiknya tidak dibuat terlebih dulu suratnya. Kalaupun harus dibuat suratnya, seharusnya dibubuhkan keterangan bahwa surat masih dalam bentuk draf. Ini penting agar publik tak gaduh ketika surat-surat yang belum selesai itu tersebar.
Namun jika memang ada kebijakan yang keliru, pemerintah diminta lapang dada menerangkan bahwa ada revisi atas kebijakan tersebut.
"Yang saya takutkan, hoaks dijadikan alasan dan alat perlindungan bagi kebijakan yang tidak tepat. Begitu kebijakan dibikin terus memicu pergolakan publik, kemudian pejabat dengan tenang mengklaim itu hoaks," katanya.
Terlepas dari polemik surat tersebut, peneliti senior Imparsial Anton Ali Abbas melihat, surat Kemenpan RB tanggal 7 Oktober itu merupakan peraturan turunan dari Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 11 Tahun 2017 tentang Manajemen Pegawai Negeri Sipil.
"PP itu agak tricky karena membuka peluang jabatan-jabatan di kementerian diisi oleh personel TNI," katanya.
PP itu mengatur bahwa TNI dapat mengisi jabatan ASN tertentu di instansi pusat tertentu. Instansi pusat tersebut diatur pula dalam Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI. Dalam UU TNI, personel TNI hanya boleh ditempatkan di 10 instansi sipil dengan syarat ada permintaan dari instansi terkait. Sepuluh instansi dimaksud, Kemenko Polhukam, Kementerian Pertahanan, Setmilpres, BIN, Sandi Negara, Lemhannas, Wantanas, SAR, BNN, dan MA.
Jika prajurit TNI ingin menduduki jabatan sipil di luar 10 instansi itu, dia harus terlebih dulu mengundurkan diri dari dinas aktif militer.
"Yang harus dikawal, jangan sampai instansi di luar 10 kementerian/lembaga yang dibolehkan UU TNI, juga ingin menarik personel TNI," katanya.
Penempatan personel TNI di jabatan-jabatan sipil di kementerian atau lembaga dikhawiraatirkan akan mengembalikan fungsi kekaryaan TNI seperti masa Orde Baru. Selain itu, dikhawatirkan dapat memicu intervensi militer di ranah politik dan kontraproduktif terhadap upaya pembangunan profesionalisme TNI, Kompas (7/10/2019).