Ketidakjelasan Data Membuat Berbagai Program Penanganan Kebakaran tidak Efektif,
Karut marutnya tata ruang diduga menjadi salah satu penyebab terjadinya kebakaran lahan setiap tahun di Kalimantan Barat. Ketidakjelasan data tata ruang penyebab berbagai program tidak efektif.
Oleh
EMANUEL EDI SAPUTRA
·4 menit baca
PONTIANAK, KOMPAS – Karut marutnya tata ruang diduga menjadi salah satu penyebab terjadinya kebakaran lahan setiap tahun di Kalimantan Barat. Ketidakjelasan data tata ruang penyebab berbagai program tidak efektif, sehingga tidak bisa menyusun penanganan yang baik untuk mengatasi kebakaran.
Gubernur Kalimantan Barat Sutarmidji, dalam forum diskusi mengenai kebakaran lahan di Pontianak, Selasa (8/10/2019), menjelaskan, perlu adanya penataan, evaluasi, dan basis data yang benar terkait kepemilikan lahan. Sebagai contoh, data mengenai berapa luasan lahan yang dikuasai agar ada subjek hukum saat ada pelanggaran terutama korporasi.
“Realitanya dari sekitar 350 perusahaan perkebunan di Kalbar, yang bergabung dengan Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) hanya 59 perusahaan. Asosiasi semacam itu dibentuk biasanya untuk evaluasi dan kebaikan, tetapi mengapa sisanya tidak mau masuk. Ada apa ini. Hal itu juga harus dievaluasi oleh GAPKI dan pemberi konsesi,” ungkap Sutarmidji.
Tata ruang dan pemberian izin juga di kabupaten karut marut. Luas Kalbar 14,7 juta ha. Kemudian, lahan gambut totalnya 2,8 juta ha. Di lahan gambut izin konsesi 1,1 juta ha. Harusnya masih ada sisa 1,7 juta ha yang tidak masuk konsesi.
“Faktanya lahan di Kalbar yang tidak masuk konsesi perkebunan hanya 700.000 ha. Kemudian, yang sekitar 1 juta ha lagi ke mana. Harusnya secara umum lahan yang tersisa ada 1 juta ha. Ini tidak terdeteksi. Itu menunjukkan kesemrawutan dalam memberikan izin konsesi,” ungkapnya.
Jika dilihat dari data tersebut, artinya tidak ada lagi cadangan lahan untuk masyarakat. Hal ini perlu dibehani. Jika tidak dibenahi masalah akan terus terjadi. Kelolalah lahan dengan hati, bukan dengan nafsu.
“Sekarang hampir semua mengelola lahan dengan nafsu, tidak mementingkan masyarakat dan lingkungan. Jika dilihat dari penguasaan lahan seperti itu, yang paling banyak menguasai lahan adalah korporasi, bukan masyarakat,” ujarnya.
Belum lagi, kata Sutarmidji, kalau dihitung luasan konsesi, hutan tanaman industri (HTI), dan pertambangan justru lebih luas dari luasan administratif Kalbar. Berarti datanya tidak jelas. Jika data tidak jelas, program tidak efektif dan efisien kemudian tidak bisa menyusun penanganan yang baik soal kebakaran.
Izin dari kementerian
Pemberi izin perkebunan ada di kabupaten. Izin HTI ada di kementerian. Pemerintah provinsi tidak memiliki kewenangan. Maka, gubernur menerbitkan peraturan gubernur (pergub) beberapa waktu lalu agar bisa menindak pelanggaran dalam kebakaran lahan. Pergub sedang dalam proses menjadi peraturan daerah. Ada sekitar 100 perusahaan yang diberi peringatan.
Sebagai contoh, dalam peninjauan ulang tata ruang sekitar lima tahun lalu, dalam perubahan tata ruang banyak para bupati yang meminta agar wilayah tertentu diputihkan menjadi area penggunaan lain (APL). Hal itu dilakukan agar investasi bisa masuk, kata Anton.
Sutarmidji menuturkan lebih lanjut, untuk mengatasi masalah kebakaran lahan ini juga bisa disinergikan dengan program desa mandiri yang sedang digalakan Pemerintah Provinsi Kalbar lima tahun kedepan. Hampir semua indikator desa mandiri bisa berkontribusi terhadap pencegahan kebakaran lahan.
Dari 52 indikator desa mandiri, ada masalah lingkungan hidup, gotong-royong, ketertiban, dan keamanan. Indikator-indikator tersebut jika dioptimalkan bisa mengatasi masalah-masalah di akar rumput. Jika ekonomi dan infrastruktur baik maka ketika terjadi kebakaran lahan akan cepat ditangani.
Kepala Kepolisian Daerah Kalbar Inspektur Jenderal Didi Haryono, menuturkan, total lahan yang terbakar di Kalbar 29.500 ha. Polda Kalbar sudah menangani 99 kasus. Dari jumlah itu 35 korporasi, sisanya perorangan. Satu kasus sudah dilimpahkan kepada Kejaksaan Tinggi Kalbar dan 30-an kasus sudah tahap satu.
Senada dengan yang dikemukakan Sutarmidji, Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalbar Anton Widjaya, menilai, salah satu sumber masalah kebakaran lahan karena karut marut tata ruang. Di tingkat kabupaten, perspektif kepala daerahnya dalam menentukan perubahan tata ruang adalah untuk kepentingan investasi yang sebetulnya ilegal.
“Sebagai contoh, dalam peninjauan ulang tata ruang sekitar lima tahun lalu, dalam perubahan tata ruang banyak para bupati yang meminta agar wilayah tertentu diputihkan menjadi area penggunaan lain (APL). Hal itu dilakukan agar investasi bisa masuk,” kata Anton.
Hal itu mereka dorong karena izin yang diberikan kepada perkebunan sudah diberikan terlebih dahulu, sementara status hukum kawasan belum selesai diurus di Kementerian Kehutanan. Contoh, izin perkebunan diberikan di suatu wilayah kawasan hutan. Aturannya perlu ada izin pelepasan kawasan dari Kementerian Kehutanan terlebih dahulu. Namun, ketika izin dari bupati sudah diberikan, korporasi ada yang langsung membuka lahan.
Maka, diperlukan peninjauan ulang tata ruang setiap lima tahun. Tahun ini juga sebetulnya saatnya mengevaluasi tata ruang, sehingga setiap tahun tidak lagi dihadapkan pada permasalahan yang sama.
Dalam pertemuan Selasa itu, GAPKI dan Polda Kalbar menandatangani nota kesepakatan terkait pencegahan kebakaran lahan. Penandatanganan itu, disaksikan sejumlah pejabat Organisasi Perangkat Daerah.