Tahun 2020, Jalan Tol Bebas Kendaraan dengan Beban dan Muatan Berlebih
Kendaraan dengan beban dan ukuran berlebih menjadi perhatian otoritas dan operator jalan tol. Ditargetkan, mulai Januari 2020, tidak ada lagi kendaraan dengan beban dan ukuran berlebih yang melewati jalan tol.
Oleh
Norbertus Arya Dwiangga Martiar
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kendaraan dengan beban dan ukuran berlebih menjadi perhatian otoritas dan operator jalan tol. Ditargetkan, mulai Januari 2020, tidak ada lagi kendaraan dengan beban dan ukuran berlebih yang melewati jalan tol.
Kepala Badan Pengatur Jalan Tol (BPJT) Danang Parikesit, Rabu (2/10/2019), di Jakarta, mengatakan, permasalahan kendaraan dengan beban atau ukuran berlebih terkait erat dengan mutu infrastruktur dan usia rencana jalan tol. Selain itu, kendaraan dengan beban dan ukuran berlebih juga terkait erat dengan keselamatan pengguna jalan.
”Kami tidak punya fungsi penindakan kendaraan seperti ini di jalan tol. Kami harapkan ada nota kesepahaman dengan Korlantas Polri, Direktorat Jenderal Perhubungan Darat Kementerian Perhubungan, BPJT, Ditjen Bina Marga Kementerian PUPR, dan Asosiasi Tol Indonesia sehingga komitmen kita untuk bebas kendaraan semacam ini di jalan tol mulai 1 Januari 2020 bisa terwujud,” kata Danang.
Menurut Danang, selain melanggar peraturan, kendaraan dengan beban dan ukuran dapat berlebih berdampak negatif terhadap kinerja keselamatan, pelayanan, dan investasi di jalan tol.
Agar target bebas kendaraan dengan muatan dan ukuran berlebih dapat terlaksana, operator jalan tol akan diminta memasang peralatan, seperti kamera pengawas dan alat pemantau berat kendaraan (weigh in motion).
Melalui kerja sama dengan institusi yang berwenang, pelanggar dapat langsung ditindak dengan dikeluarkan dari jalan tol atau sebagian muatannya diturunkan. ”Mudah-mudahan setiap pihak setuju,” ujar Danang.
Sementara itu, Sekretaris Jenderal Asosiasi Jalan Tol Indonesia Kris Ade Sudiyono mengatakan, nota kesepahaman beberapa institusi untuk menangani kendaraan dengan beban dan ukuran berlebih merupakan bentuk penguatan tugas dan tanggung jawab. Kris berharap agar penanganan dan pengawasannya dilakukan secara berkesinambungan di setiap mata rantai pergerakan kendaraan.
Namun, Kris berharap agar upaya tersebut bukan merupakan penyederhanaan permasalahan hanya di jalan tol. Bahkan, jangan sampai hal itu menjadi upaya mengalihkan tanggung jawab dan kewajiban menangani kendaraan dengan muatan atau ukuran berlebih ke operator jalan tol.
”Kami para operator jalan tol sangat terdampak dengan fenomena kendaraan bermuatan dan ukuran berlebih ini. Pertama, dampak kerusakan jalan tol yang secara langsung meningkatan beban biaya pemeliharaan. Kedua adalah dampak bagi kenyamanan dan keselamatan berlalu lintas,” kata Kris.
Menurut Kris, penanganan kendaraan dengan muatan atau ukuran berlebih mesti terintegrasi di semua jaringan jalan baik non-tol maupun tol. Penanganan di jalan tol adalah upaya penanganan kuratif untuk kendaraan yang kebetulan lolos dari jalan nasional dan masuk ke jalan tol. Kris berharap agar upaya tersebut bukan justru membebani para operator jalan tol dengan berbagai beban operasi maupun penyediaan sarana dan prasarana.
Secara terpisah, Wakil Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Truk Indonesia (Aptrindo) Kyatmaja Lookman berpandangan, permasalahan truk bermuatan atau berukuran lebih terjadi karena beberapa faktor. Pertama, faktor harga pengangkutan yang ditentukan konsumen atau pasar lebih rendah daripada harga keekonomian. Sementara kompetisi ketat. Akibatnya, pengusaha angkutan akan mengoptimalkan beban yang diangkut agar mendapat keuntungan.
Di sisi lain, menurut Kyatmaja, kendaraan truk di Indonesia dirancang untuk mengangkut beban berat dan tidak untuk kecepatan tinggi. Hal itu tampak dari konsumsi bahan bakar baik lewat jalan tol maupun jalan biasa relatif sama.
Kyatmaja setuju kendaraan dengan muatan atau ukuran berlebih ditertibkan. Menurut Kyatmaja, hasil survei oleh sebuah lembaga survei beberapa waktu lalu menyebutkan bahwa angka pelanggaran kendaraan dengan muatan atau ukuran berlebih yang masuk ke jembatan timbang mencapai 80 persen. Hal ini belum mencakup kendaraan yang tidak masuk ke jembatan timbang.
Namun, jika penanganannya parsial, Kyatmaja khawatir justru menimbulkan celah lain yang kemudian akan dimanfaatkan oleh oknum tertentu. ”Penanganan kendaraan seperti ini mesti komprehensif,” kata Kyatmaja. (NAD)