Pasar modal Indonesia ambruk dalam empat hari perdagangan beruntun. Indikasi pelemahan ekonomi Amerika Serikat serta meningkatnya risiko gagal bayar utang korporasi Indonesia jadi sentimen negatif.
Oleh
Dimas Waraditya Nugraha
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pasar modal Indonesia ambruk dalam empat hari perdagangan beruntun. Indikasi pelemahan ekonomi Amerika Serikat serta meningkatnya risiko gagal bayar utang korporasi Indonesia menjadi bauran sentimen yang sebabkan Indeks Harga Saham Gabungan terjerembab hingga lebih dari 1 persen.
Pada penutupan perdagangan Rabu (2/10/2019), Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) melorot 1,35 persen atau 82,82 poin. Dalam tiga hari perdagangan sebelumnya, IHSG terus mengalami pelemahan. Pada perdagangan hari terakhir, investor asing catatkan aksi beli senilai Rp 788,98 miliar. Namun, apabila diakumulasi dalam sepekan, investor asing masih catatkan aksi jual senilai Rp 50,08 miliar.
Bursa saham utama kawasan Asia yang juga berada di zona merah pada penutupan perdagangan di antaranya adalah indeks Nikkei 225 di Jepang turun 0,49 persen ke level 21.788,61, indeks Hang Seng Hong Kong terdepresiasi 0,19 persen di level 26.042,69, serta indeks Kospi Korea Selatan dengan koreksi terdalam mencapai 1,95 persen ke level 2,031.91.
Kepala Riset Samuel Sekuritas Indonesia Suria Dharma mengatakan, IHSG terkoreksi mengikuti pergerakan bursa saham regional. Salah satu sentimen negatif bursa global adalah meningkatnya kekhawatiran perlambatan ekonomi Amerika Serikat (AS), setelah rilis data manufaktur negara ini.
”Aktivitas manufaktur AS yang turun menjadi salah satu penyebab koreksi pasar saham global. Bursa saham di AS, Eropa, dan Asia kompak melemah, termasuk Indonesia,” ujarnya di Jakarta.
Institute for Supply Management (ISM) melaporkan, aktivitas manufaktur AS pada September 2019 jatuh ke level terlemah dalam satu dekade terakhir. Perlambatan itu terjadi di tengah kekhawatiran perang dagang antara AS dan China.
ISM memaparkan, indeks aktivitas pabrik nasional AS pada September 2019 turun ke level 47,8. Sementara pada Agustus 2019, ISM berada di level 49,1.
Hasil ISM pada September 2019 jauh di bawah ekspektasi para ekonom, sebesar 50,1. Rilis data tersebut menambah kerisauan investor karena pelemahan ini menjadi yang terdalam selama hampir 10 tahun terakhir.
”Data tersebut juga meningkatkan kekhawatiran tentang perlambatan pertumbuhan dunia di tengah perang perdagangan AS-China sehingga memicu spekulasi baru mengenai penurunan suku bunga oleh bank sentral AS (The Federal Reserve) tahun ini,” kata Suria.
Dia melanjutkan, sentimen pasar modal masih akan bergantung pada rencana negosiasi dagang AS-China pada pekan depan. Jika negosiasi berjalan baik, bisa terjadi pemulihan pada data manufaktur AS dalam beberapa bulan ke depan. Pemulihan ini akan berimplikasi juga pada pertumbuhan ekonomi dan bisa mencegah kemungkinan resesi.
Sementara itu, analis pasar modal sekaligus pendiri LBP Institute, Lucky Bayu Purnomo, menilai bursa saham di Asia juga rontok karena terpapar isu bahwa otoritas bursa AS melakukan delisting perusahaan-perusahaan China yang tercatat di AS. Langkah delisting dari bursa AS ini merupakan bagian dari upaya membatasi investasi AS di perusahaan China.
Sentimen pasar modal masih akan bergantung pada rencana negosiasi dagang AS-China pada pekan depan.
”Jika benar-benar diterapkan, hal ini tidak baik bagi persaingan pasar terbuka, apalagi Nasdaq (indeks saham AS) juga menjadi acuan investor asing saat ingin melakukan transaksi saham di bursa Asia, termasuk Indonesia,” ujarnya.
Risiko utang
Kepala Riset Valbury Sekuritas Alfiansyah mengatakan, laju IHSG juga tertekan oleh sentimen laporan lembaga pemeringkat Moody’s yang menyebut korporasi di Indonesia paling rentan terpapar risiko gagal bayar. Hal ini seiring dengan penurunan tingkat pendapatan perusahaan yang berimbas pada pelemahan kemampuan membayar cicilan utang.
”Pernyataan dari Moody’s itu dapat menjadi sinyalemen kurang baik di mata investor dan menjadi pertimbangan pelaku pasar dalam berinvestasi, terutama emiten-emiten yang memiliki tingkat utang yang besar,” katanya.
Lembaga pemeringkat investasi Internasional Moody’s Investor Service dalam laporan bertajuk Risk from leverage corporates grow as macroeconomics condition worsen, yang dikutip pada Selasa (1/10/2019), menyebutkan, utang korporasi di negara-negara kawasan Asia Pasifik berpotensi meningkat pada era suku bunga rendah sepanjang 2019.
Dari 13 negara di kawasan Asia Pasifik, Indonesia dan India memiliki risiko gagal bayar utang tertinggi. Sekitar 53 persen utang korporasi di Indonesia memiliki rasio utang terhadap pendapatan perusahaan sebelum pajak, bunga, depresiasi, dan amortisasi (EBITDA) di atas 4, yang berarti beban utang semakin berat.
Selain itu, profil utang korporasi Indonesia dinilai mengkhawatirkan karena memiliki rasio bunga yang harus dibayarkan (interest coverage ratio/ICR) sangat kecil. Sekitar 41 persen utang korporasi memiliki skor ICR di bawah 2. Semakin rendah ICR berarti kemampuan korporasi membayar utang dinilai rendah.
Merujuk laporan statistik utang luar negeri yang dirilis Bank Indonesia, posisi utang luar negeri sektor swasta pada Juli 2019 sebesar 197,8 miliar dolar AS atau sekitar Rp 2.787,99 triliun. Posisi utang luar negeri swasta itu tumbuh 11,5 persen dibandingkan dengan posisi pada Juli 2018. Pertumbuhan tahunan pada Juli lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan tahunan bulan sebelumnya sebesar 11,1 persen.