Penyebab jatuhnya korban jiwa dalam bencana gempa di Pulau Ambon dan Pulau Seram adalah tertimpa reruntuhan bangunan.
Oleh
FRANSISKUS PATI HERIN
·3 menit baca
MASOHI, KOMPAS — Penyebab jatuhnya korban jiwa dalam bencana gempa di Pulau Ambon dan Pulau Seram, Maluku, adalah tertimpa reruntuhan bangunan. Korban diduga tidak menerapkan standar penyelamatan diri saat kondisi darurat lantaran panik dan minim pengetahuan. Konstruksi bangunan rumah penduduk juga terlalu rapuh sehingga rawan roboh saat gempa.
Kurangnya sosialisasi itu diakui oleh Gubernur Maluku Murad Ismail seusai mendampingi Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Letnan Jenderal Doni Monardo meninjau lokasi yang terdampak gempa di Kabupaten Maluku Tengah, Jumat (27/9/2019). ”Nanti setelah (penanganan bencana) ini selesai, kami akan sosialisasi lagi,” ujarnya.
Sehari sebelumnya, Kamis (26/9/2019), gempa bermagnitudo 6,5 mengguncang daerah itu. Gempa menyebabkan 19 orang meninggal, bukan 23 orang seperti yang dilaporkan oleh Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Provinsi Maluku pada Kamis malam. Sebanyak 19 orang itu tersebar di Kabupaten Maluku Tengah, Kota Ambon, dan Kabupaten Seram Bagian Barat.
Mereka panik dan kurang pengetahuan tentang penyelamatan diri.
Menurut Murad, saat ini tim penanggulangan bencana fokus pada penanganan korban luka yang hampir semuanya tertimpa reruntuhan bangunan. Dokter dari sejumlah rumah sakit pemerintah dikerahkan untuk membantu di sejumlah pos pengungsian. Pos di Desa Tulehu, Kabupaten Maluku Tengah, misalnya, terdapat 17 korban. Satu di antaranya patah tulang.
Mansyur (56), warga Desa Liang, Kabupaten Maluku Tengah, mengatakan, puluhan orang di desa itu tertimpa reruntuhan. Saat gempa, mereka tidak mencari tempat perlindungan seperti kolong tempat tidur ataupun kolong meja yang kuat. ”Banyak yang tertimpa beton rumah. Padahal, di dalam rumah ada meja. Mereka panik dan kurang pengetahuan tentang penyelamatan diri,” katanya.
Ia menuturkan, di desa yang berjarak sekitar 38 kilometer dari pusat kota Ambon itu belum pernah mendapatkan sosialisasi tentang cara penyelamatan diri saat gempa dan tsunami. Desa itu berada dekat pesisir dan terhubung langsung dengan Laut Banda. ”Kami biasanya dapat informasi itu dari media massa,” katanya.
Selain itu, Kompas juga menemukan banyak rumah yang roboh, rata dengan tanah. Hampir semua rumah itu tidak dibangun dengan standar konstruksi yang ideal. Banyak rumah beton menggunakan tiang yang hanya diisi satu hingga dua besi. Kondisi itu sangat rapuh. Jika terjadi guncangan, dinding dan tiang rawan runtuh.
Doni Monardo mengharapkan para pemangku kepentingan di daerah, mulai dari provinsi hingga kabupaten/kota, bekerja sama melakukan sosialisasi. Lewat sosialisasi, warga dididik menjadi sadar bencana. Terlebih, Maluku merupakan daerah rawan bencana gempa dan tsunami. Maluku masuk dalam wilayah dengan indeks bencana 179 atau tergolong tinggi.
Doni memuji mitigasi dan evakuasi mandiri yang dilakukan korban gempa di Halmahera Selatan, Maluku Utara, Juli lalu. Di tengah ribuan rumah yang roboh, warga yang meninggal dua orang. Hal ini menandakan masyarakat setempat sudah mulai sadar bencana dan menerapkan standar penyelamatan diri.
Masih khawatir
Hingga Jumat pukul 20.00 WIT, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Stasiun Geofisika Ambon mencatat, gempa susulan terjadi 298 kali. Kejadian gempa yang dirasakan sebanyak 46 kali. Gempa susulan itu membuat warga memilih tinggal di luar rumah. Banyak pula yang mengungsi ke dataran tinggi.
Kepala Seksi Data dan Informasi BMKG Stasiun Geofisika Ambon Andi Azhar Rusdin mengimbau warga agar tidak percaya dengan isu bahwa akan terjadi gempa besar pada waktu tertentu yang diikuti dengan tsunami. ”Itu hoaks,” ujarnya. Klarifikasi itu disebarkan melalui tim di lapangan, selebaran, dan media massa.