Pemerintah berupaya meningkatkan kontribusi sektor properti terhadap pertumbuhan ekonomi nasional. Untuk itu, hal yang menghambat sektor properti akan dituntaskan.
Oleh
Erika Kurnia
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah berencana mengkaji ulang izin mendirikan bangunan yang dinilai kerap bermasalah. Sistem perizinan yang lebih baik diperlukan untuk mendukung industri properti berkontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi nasional.
Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Sofyan Djalil, dalam pembukaan Indonesia International Property Expo 2019 di Jakarta Convention Center, Rabu (25/9/2049), mengatakan, IMB menyulitkan masyarakat karena kerap disalahgunakan.
Di sisi lain, pengawasan terhadap IMB cenderung tidak efektif. Ia mencontohkan, ketika pengembang diberi izin mendirikan bangunan seluas 100 meter persegi, ternyata luas bangunan yang didirikan melebihi luas yang diizinkan itu.
”Makanya, sekarang pemerintah mengulas sistem izin yang terbaik. Kalau perlu izin, dalam bentuk apa? Yang penting tujuan tercapai dan memudahkan warga,” tuturnya.
Sofyan menambahkan, pengkajian IMB tersebut diharapkan dapat meningkatkan pertumbuhan investasi Indonesia.
Pemerintah, tambah Sofyan, mempertimbangkan untuk meniadakan izin dengan ketentuan tertentu dan memperketat pengawasan di bawah Kementerian ATR/BPN. Dengan cara itu, pertumbuhan investasi di sektor properti diharapkan meningkat.
Berdasarkan data Badan Koordinasi Penanaman Modal, realisasi penanaman modal dalam negeri di sektor perumahan, kawasan industri, dan perkantoran pada Januari-Juni 2019 sebesar Rp 7,374 triliun pada 738 proyek. Adapun realisasi penanaman modal asing sebesar 1,57 miliar dollar AS pada 967 proyek
Ketua Umum Persatuan Perusahaan Real Estat Indonesia Soelaeman Soemawinata mengatakan, pengembang akan mendukung kebijakan pemerintah yang dinilai baik untuk perkembangan industri properti.
”Kebijakan pertanahan menjadi salah satu kebijakan yang berpengaruh langsung terhadap industri properti. Kebijakan pendukung lain, antara lain tata ruang, infrastruktur, regulasi, dan perbankan,” katanya.
Ia berpendapat, beberapa revolusi kebijakan mengenai pertanahan yang dibuat Kementerian ATR/BPN belakangan ini sudah cukup baik dalam mendukung industri properti. Yang terbaru, sistem Hak Tanggungan Elektronik (HT-el), yakni layanan untuk pemeliharaan data pendaftaran tanah secara terintegrasi melalui sistem elektronik. Sistem ini menggantikan sistem manual yang semula berbulan-bulan menjadi tujuh hari.
Soelaeman menambahkan, industri properti dalam negeri tumbuh rata-rata 3,5 persen sejak 2015.
Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia pada pekan lalu melonggarkan rasio pinjaman terhadap aset (LTV) dan rasio pembiayaan terhadap aset (FTV) untuk sektor properti sebesar 5 persen. Ketentuan yang berlaku efektif sejak 2 Desember 2019 itu diharapkan bisa meningkatkan daya tarik pembiayaan properti. Langkah itu juga diharapkan bisa memicu konsumsi domestik. (ERK)