Dikepung Mahasiswa, DPR Baru Mau Menunda Pengesahan Empat RUU Kontroversial
Sekalipun pengesahan sejumlah RUU kontroversial sudah diputuskan ditunda, mahasiswa tetap berunjuk rasa. Mahasiswa menuntut Presiden mengeluarkan perppu untuk membatalkan revisi UU KPK yang bakal melumpuhkan KPK.
Oleh
Dhanang David Aritonang
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Setelah massa mahasiswa berunjuk rasa dan mengepung Kompleks Parlemen, Jakarta, hari ini, DPR baru mau menunda pengesahan empat rancangan undang-undang yang kontroversial. Namun, mahasiswa akan tetap berunjuk rasa mendesak Presiden Joko Widodo mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang untuk membatalkan revisi UU KPK yang telah disahkan beberapa waktu lalu.
Ketua DPR Bambang Soesatyo, Selasa (24/9/2019), di Jakarta, mengatakan, DPR melalui forum Badan Musyawarah kemarin dan forum lobi hari ini sepakat untuk menunda Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) dan Rancangan Undang-Undang Pemasyarakatan.
Penundaan untuk memberikan waktu, baik kepada DPR maupun pemerintah, untuk mengkaji dan menyosialisasikan kembali secara masif isi dari kedua RUU tersebut kepada masyarakat.
”Sedangkan RUU Pertanahan dan RUU Minerba masih dalam pembahasan di tingkat I dan belum masuk dalam tahap pengambilan keputusan,” katanya.
Penundaan ini selaras dengan permintaan Presiden Joko Widodo, kemarin. Dia pun melihat masih perlu ada pendalaman kajian tentang sejumlah materi krusial dalam keempat RUU itu. ”Saya meminta agar RUU Minerba, RUU Pertanahan, RUU Pemasyarakatan, dan RUU KUHP itu ditunda pengesahannya,” kata Presiden seusai rapat konsultasi dengan pimpinan DPR dan pimpinan fraksi di DPR di Istana Negara, Jakarta, Senin (23/9/2019).
Terkait RKUHP, sosialisasi yang lebih masif tentang materi-materi di dalamnya, menurut Bambang, penting agar masyarakat bisa mendapatkan penjelasan yang utuh. Dia menampik jika DPR bersama pemerintah ingin mengebiri hak-hak rakyat dengan pasal-pasal yang ada dalam RKUHP itu.
Bambang pun berdalih penyusunan RKUHP selama ini sudah melibatkan profesor hukum dari berbagai universitas, praktisi hukum, ataupun lembaga swadaya dan organisasi kemasyarakatan. Dengan demikian, keberadaan setiap pasal diklaim bisa menjawab berbagai permasalahan yang ada dalam masyarakat Indonesia.
”Pembahasan RUU KUHP yang dimulai sejak tahun 1963 sudah melewati masa tujuh kepemimpinan Presiden dengan 19 Menteri Hukum dan HAM. Kita sebenarnya sudah berada di ujung. Jika saat ini terjadi berbagai dinamika di masyarakat, sepertinya ini lebih karena sosialisasi yang belum masif. Walaupun pada kenyataannya selama ini DPR melalui Komisi III telah membuka pintu selebarnya dalam menampung aspirasi. Para anggota DPR juga membawa aspirasi dari konstituennya. Memang tidak semua aspirasi bisa diterima. Karena itu, kita libatkan profesor hukum dengan berbagai kepakaran untuk meramu formulasi terbaik,” papar Bambang.
Sekalipun ditunda, ia berharap RKUHP tetap menjadi catatan sejarah dalam perjalanan bangsa ini.
”RUU KUHP sebenarnya akan menjadi momentum terlepasnya Indonesia dari penjajahan hukum peninggalan kolonial selama lebih kurang 101 tahun. Bukan hanya berdikari, namun sebagai sebuah bangsa, kita punya martabat karena bisa melahirkan RUU KUHP yang terdiri atas 626 pasal yang merupakan hasil karya anak bangsa,” katanya.
Lobi masih berjalan
Pernyataan Bambang beda dengan anggota Panitia Kerja RKUHP dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, Nasir Djamil. Dia mengatakan, belum ada keputusan resmi DPR menanggapi permintaan Presiden untuk menunda pengesahan RKUHP. Hingga saat ini, ruang lobi masih terbuka bagi kedua pihak.
”Kami masih mencari titik temu di antara kedua pihak,” ujar Nasir.
Dia mengatakan, belum tertutup kemungkinan RKUHP tetap disahkan oleh DPR dan pemerintah periode 2014-2019. Sebab, DPR pun merencanakan masih akan menggelar dua rapat paripurna hingga masa jabatan berakhir pada 30 September.
Selain itu, kata Nasir, mengacu pada UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, tak ada ketentuan yang membolehkan penarikan RUU yang sudah disepakati pada pembahasan tingkat pertama. Penundaan pengesahan RUU di tingkat kedua hanya bisa dilakukan jika pada tingkat pertama terdapat penolakan dari sejumlah fraksi. Namun, hal itu tak terjadi saat forum pengambilan keputusan tingkat pertama RKUHP.
Sementara itu, Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly, seusai Rapat Paripurna DPR hari ini, mengatakan, sesuai pernyataan Presiden sebelumnya, pemerintah meminta agar pengesahan RKUHP ditunda ke periode DPR dan pemerintah 2019-2024.
Yasonna tidak membantah, ruang lobi antara DPR dan pemerintah masih terbuka. Namun, ia menegaskan, sikap pemerintah tidak berubah, yaitu tetap meminta penundaan pengesahan.
Presiden keluarkan perppu
Massa mahasiswa dan masyarakat yang tergabung dalam elemen masyarakat sipil kembali berunjuk rasa menolak pengesahan sejumlah RUU yang bermasalah. Menjelang sore hari, jumlahnya terus bertambah, bahkan lautan massa terlihat telah mengepung Kompleks Parlemen.
Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Negeri Jakarta Muhamad Abdul Basir atau Abas meminta massa bergerak dalam satu komando. ”Kalau hanya untuk merusak Gedung DPR gampang, perjuangan itu tidak sekadar membobol pagar DPR,” katanya.
Abas mengatakan, mahasiswa sepakat bergabung dengan petani dan buruh yang memperingati Hari Tani 2019. Sejak awal, mahasiswa menuntut agar pengesahan lima RUU ditunda, yaitu RUU Pemasyarakatan, RUU Minerba, RUU Pertanahan, RKUHP, dan RUU Ketenagakerjaan. Terkait RUU Ketenagakerjaan, hingga saat ini belum ada pernyataan dari pemerintah dan DPR untuk menunda RUU tersebut.
Mahasiswa juga tetap menuntut Presiden mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) untuk membatalkan revisi UU KPK. Revisi UU KPK yang sudah disetujui disahkan menjadi undang-undang beberapa waktu lalu dinilai banyak kalangan bakal melumpuhkan KPK.
Pengajar Sekolah Tinggi Hukum Jentera, Bivitri Susanti, mengingatkan DPR dan pemerintah untuk tidak bermain-main dengan massa mahasiswa yang berunjuk rasa di banyak wilayah di Indonesia.
”Kami ingin pemerintah betul-betul mendengar dan mengabulkan aspirasi dari masyarakat yang melakukan aksi demonstrasi. Jangan sampai, setelah aksi demo mereda, pemerintah dan DPR langsung sepakat mengesahkan sejumlah RUU yang bermasalah. Hal tersebut sama saja dengan mempermainkan aspirasi rakyat,” kata Bivitri.