RANAI, KOMPAS — Sekolah satu atap merupakan jalan keluar bagi anak-anak di wilayah terdepan, terluar, dan tertinggal untuk mendapat pendidikan yang layak. Namun, perjuangan memenuhi kebutuhan itu masih mengalami banyak rintangan, mulai dari kekurangan guru hingga kurangnya perhatian pemerintah daerah.
Berdasarkan data Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, terdapat 4.172 sekolah satu atap di Indonesia yang terdiri dari SD dan SMP. Untuk SMA tidak termasuk ke dalam skema ini. Direktur PAUD dan Pendidikan Masyarakat Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Harris Iskandar mengatakan, untuk sekolah satu atap pendidikan lanjutan yang cocok diterapkan di daerah 3T adalah pendidikan kesetaraan seperti Paket C.
Di Kabupaten Natuna, Kepulauan Riau, misalnya, sudah beroperasi beberapa sekolah satu atap. Kepala Dinas Pendidikan, Pemuda, dan Olahraga Natuna Suherman mengatakan, di tahun 2018 ada penambahan empat sekolah satu atap. "Di tahun 2019 baru diresmikan sekolah satu atap di Dusun Segeram, Kelurahan Sedanau, Kecamatan Bunguran Barat," katanya di Ranai, Kabupaten Natuna, Jumat (20/9/2019).
Sejauh ini ia menilai kinerja sekolah satu atap cukup baik karena memastikan warga yang rumahnya di pelosok tetap mendapat pendidikan. Kendala yang dihadapi adalah kekurangan guru berstatus pegawai negeri sipil sehingga harus diisi oleh guru honorer. Meskipun begitu, Disdikpora Natuna mengupayakan agar guru-guru honorer tetap berpendidikan S1 atau setingkat S1.
Kendala yang dihadapi adalah kekurangan guru berstatus pegawai negeri sipil sehingga harus diisi oleh guru honorer.
Dari sisi pendidikan, lanjutan, Suherman, mayoritas anak yang lulus sekolah satu atap memutuskan melanjutkan pendidikan ke SMA, SMK, dan madradah aliyah. "Untuk itu mereka memang harus pindah ke wilayah yang lebih besar seperti Ranai atau pusat kecamatan," ujarnya.
Guru tak bertahan lama
Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Ubaid Matraji ketika dihubungi di Jakarta mengatakan menemukan banyak kasus sekolah satu atap yang kualitas gurunya tidak memadai. Penyebabnya antara lain karena guru-guru yang dikirim pemerintah pusat ke wilayah 3T tidak bisa bertahan lama. Alasannya karena tidak betah akibat sarana dan prasarana dasar yang tidak kunjung dibenahi.
"Slot-slot kosong ini harus segera diisi agar siswa tidak telantar. Pengisinya bisa dari warga lokal atau wilayah sekitar yang secara kompetensi tidak sesuai standar dasar pendidikan, misalnya banyak guru pengganti ini yang hanya tamatan SMA sederajat," kata Ubaid.
Apalagi, banyak sekolah satu atap yang satu guru harus mengajar di tingkat SD sekaligus SMP. Jika gurunya tidak kompeten, guru tersebut tidak bisa membaca dan mengembangkan potensi siswa sesuai tahap perkembangan mereka. Di saat yang sama, guru menjadi kewalahan dan tidak bisa mengajar dengan baik.
Banyak sekolah satu atap yang satu guru harus mengajar di tingkat SD sekaligus SMP.
Oleh karena itu, Ubaid menganjurkan agar pemerintah pusat dan daerah bisa memberi fasilitas tambahan kepada guru-guru yang mengajar di wilayah 3T. Setidaknya memastikan kebutuhan dasar mereka terpenuhi sehingga tidak menjadi beban pikiran.
Perjuangan
Selain sekolah satu atap, sekolah-sekolah di daerah terpencil juga sangat membutuhkan bantuan pemerintah. Pemelajaran di Sekolah Peradaban Papua di Merauke, misalnya, terkendala minimnya uluran tangan pemerintah daerah. Sekolah yang berdiri pada tahun 2010 ini merupakan binaan Kemdikbud dan menerapkan sistem berasrama. Tercatat ada 1.000 siswa yang ditangani sekolah ini. Sebanyak 200 orang tinggal di asrama.
"Kami menerima anak berbagai usia dengan berbagai kemampuan. Ada yang dulunya putus sekolah, ada yang berhadapan dengan hukum, ada yang mengalami kehamilan tidak diinginkan. Semuanya diberi hak mendapat pendidikan," kata Kepala Sekolah Peradaban Papua di Merauke, Sergius Wonsiwar, ketika dihubungi Kompas.
Pada siswa tersebut, kata Sergius, dibagi sesuai kemampuan akademik dengan kurikulum nasional yang diadaptasi sesuai kebutuhan setiap kelompok siswa. Penekanan pemelajaran lebih kepada pendidikan karakter dan kemampuan nonakademik kepada mereka yang performa akademiknya terkendala. Pengetahuan yang diberikan adalah cara bertahan hidup melalui keterampilan berkewarganegaraan dan berwirausaha.
"Masalahnya, sekolah kekurangan guru karena perekrutan dari pemerintah daeran tidak konsisten dan sekolah tidak bisa merekrut guru sendiri," ucapnya.